Minggu, 20 Februari 2011

Betapa Pentingnya Penataan Ruang Laut Pesisir

Pendahuluan
            Pembangunan yang dilakukan di wilayah pesisir laut dan pulau-pulau kecil sering memicu munculnya berbagai persoalan. Semuanya ini terkait erat dengan penataan ruang di kawasan pesisir laut dan pulau-pulau kecil. Sebut saja misalnya beberapa kasus seperti penambangan pasir laut, rusaknya prasarana dan sarana wisata di kawasan pantai akibat terjangan gelombang besar, pencemaran sampai pada konflik pemanfaatan ruang. Pertanyaan yang patut diajukan melihat contoh-contoh kasus itu adalah, “Mengapa itu semua dapat terjadi? Apakah tidak ada aturan tentang perencanaan, pemanfaatan dan pegendalian pemanfaatan ruang? Mengapa prasarana dan sarana wisata di pantai dibangun di tempat yang jaraknya sangat dekat dengan bibir pantai? Kenapa masyarakat pesisir khususnya nelayan masih kurang sejahtera?”       Pertanyaan lain yang juga muncul adalah, “Apakah rencana tata ruang dapat meminimalkan akibat negatif tersebut dan dapat meminimalkan konflik kepentingan yang terjadi?” Oleh karena itu, beberapa hal yang perlu dicermati dalam menata ruang laut pesisir dan pulau-pulau kecil yaitu:
1.      Adanya perbedaan kepentingan yang dapat menimbulkan conflict of interest antar sektor dan atau antar stakeholders
2.      Lemahnya kerangka hukum dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
3.      Rendahnya peran serta masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
Kompleksitas Pengaturan
            Sebuah aturan dibuat tentu dengan maksud agar semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) dapat terjamin kebutuhan dan kelangsungan kegiatan atau usahanya. Mengingat kawasan pesisir laut dan pulau-pulau kecil di Indonesia sudah semakin sarat penggunaan dan pemanfaatannya, maka sudah selayaknya bila kawasan ini memiliki aturan yang disepakati para pihak yang berkepentingan. Keberadaan tata ruang di kawasan ini dapat mengurangi dampak buruk pengelolaan sumber daya yang tidak terkendali dan dapat mengoptimalisasikan pemanfaatan sumberdaya yang ada. Mengingat keragaman pemanfaatan sumber daya di kawasan ini yang amat besar, mulai dari aspek pariwisata, spiritual, penangkapan ikan (dan produk perikanan lainnya), konservasi sumber daya biososiofisik dan pendidikan hingga aspek pertahanan-keamanan. Segala macam kepentingan itu, bila tidak diatur dengan jelas, maka suatu saat akan menimbulkan pergesekan kepentingan yang tidak jarang akan mengakibatkan konflik.          Tingginya tingkat keragaman penggunaan kawasan pesisir laut dan pulau-pulau kecil, sebagaimana disebutkan di atas turut meningkatkan pula kompleksitas pengaturan tata ruang di kawasan ini. Apakah sudah disiapkan suatu rencana tata ruang yang komprehensif dan terpadu sehingga dapat mengakomodasi kepentingan seluruh pihak di kawasan pesisir laut dan pulau-pulau kecil?
Pesimis vs Optimis
            Satu sisi pesimis atau dampak negatif dari pengaturan tata ruang di kawasan pesisir laut dan pulau-pulau kecil, seperti disebutkan di atas, adalah timbulnya konflik kepentingan. Namun demikian, sisi optimis atau untungnya antara lain menyangkut efektivitas pengaturan, efisiensi ekonomi, dan pemerataan distribusi (bdk Fauzi, 2005).
Pertimbangan negatif-positif atau untung-rugi (cost benefit analysis) sudah sangat biasa diterapkan dalam proses pengambilan keputusan di masa kini. Model yang sama tentu dapat diterapkan untuk menyusun master plan tata ruang di kawasan pesisir laut dan pulau-pulau kecil. Rencana tata ruang pesisir laut dan pulau-pulau kecil merupakan sebuah cetak biru (blue print) arahan pembangunan dalam kurun waktu tertentu yang tidak saja memberi ruang gerak dan usaha yang semakin jelas bagi para stakeholders, tapi juga memberi peluang untuk pengembangan kawasan di masa datang. Produk tata ruang ini juga dapat menjadi nilai jual yang menarik bagi investor yang berminat menanamkan modal di kawasan pesisir laut dan pulau-pulau kecil. Secara khusus, tata ruang pesisir laut dan pulau-pulau kecil penting untuk dikaji secara lebih mendalam, karena pembangunan kawasan pesisir laut dan pulau-pulau kecil sarat dengan berbagai kepentingan yang sudah tumpang-tindih dan tidak jelas skala prioritasnya. Di lain pihak, keberadaan tata ruang kawasan pesisir laut dan pulau-pulau kecil juga akan sangat membantu proses pembangunan sumber daya yang ada, utamanya pemberdayaan sumber daya manusianya (baca: nelayan) yang umumnya miskin dan terbelakang.

Konsep Penataan Ruang Laut Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

            Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merupakan negara kepulauan berciri Nusantara, baik sebagai kesatuan wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi, maupun sebagai sumber daya, perlu ditingkatkan upaya pengelolaannya secara bijaksana, berdaya guna, dan berhasil guna dengan berpedoman pada kaidah penataan ruang sehingga kualitas ruang wilayah nasional dapat terjaga keberlanjutannya demi terwujudnya kesejahteraan umum dan keadilan sosial sesuai dengan landasan konstitusional Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UU No. 26 thn 2007).

Pentingnya Penataan Ruang Laut Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil


            Sumberdaya pesisir dan lautan, merupakan salah satu modal dasar pembangunan bangsa saat ini, disamping sumberdaya alam darat. Tetapi sumberdaya alam darat seperti minyak dan gas bumi serta mineral-mineral tertentu dan hasil-hasil perkebunan dan pertanian, semakin berkurang akibat eksploitasi yang berlangsung sejak lama dan akibat menurunnya kualitas lingkungan. Melihat keterbatasan sumberdaya alam darat, sudah saatnya melirik dan memanfaatkan potensi sumberdaya lautan. Didalam lautan terkandung sumber pangan yang sangat besar seperti  ikan, rumput laut, dll. Sumberdaya laut lainnya adalah bahan tambang lepas pantai yang berperan penting untuk menyuplai energi, serta masih banyak lagi potensi sumberdaya hayati dan non hayati laut lainnya sehingga peranan sumberdaya pesisir dan laut semakin penting untuk memicu pertumbuhan ekonomi dan kebutuhan masyarakat.
            Kekayaan alam kelautan dan sumberdaya pesisir yang dimiliki Indonesia antara lain berupa sumberdaya perikanan, sumberdaya hayati seperti mangrove (hutan bakau), terumbu karang, padang lamun, serta sumberdaya mineral seperti minyak bumi dan gas alam (yang masih dalam penelitian) termasuk bahan tambang lainnya yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Disamping itu, kini banyak terungkap bahwa wilayah lautan memiliki banyak harta karun yang melimpah di dasar laut akibat kapal-kapal pelayaran niaga yang karam pada masa lalu, selain itu juga wilayah pesisir memiliki potensi keindahan dan kenyamanan sebagai tempat rekreasi dan pariwisata.
            Dengan karakteristik wilayah pesisir seperti di atas, maka pemanfaatan sumberdaya pesisir secara optimal dan berkesinambungan hanya dapat terwujud jika pengelolaannya dilakukan secara terpadu, menerapkan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan serta pendekatan pembangunan secara hati-hati. Pada sisi lain, luasnya sumberdaya lautan dan pesisir menimbulkan permasalahan, berupa ketidak terpaduan pemanfaatan ruang di wilayah pesisir. Pada skala tertentu hal ini dapat menyebabkan dan memicu konflik antar kepentingan sektor, swasta dan masyarakat. Kegiatan yang tidak terpadu itu selain kurang bersinergi juga sering saling mengganggu dan merugikan antar kepentingan, seperti kegiatan industri yang polutif dengan kegiatan budidaya perikanan yang berdampingan.
            Permasalahan lain yang merupakan permasalahan klasik meliputi keterbatasan sumber dana pembangunan, rendahnya kualitas sumberdaya manusia, kemiskinan masyarakat pesisir, kurangnya koordinasi antar pelaku pembangunan dan lemahnya penegakan hukum. Untuk mengatasi permasalahan dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir diperlukan prinsip penataan ruang secara terpadu, termasuk tata ruang pesisir dan lautan.

Prinsip Penataan Ruang Laut Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

1. Peran serta Masyarakat dan Pelaku Pembangunan

Penataan ruang dapat dilihat sebagai kebijakan publik yang mengoptimalisasikan kepentingan antar pelaku pembangunan (pemerintah, swasta dan masyarakat) dalam pemanfaatan ruang, sehingga di dalam proses perencanaan tata ruang yang demokratis dan akomodatif, semua kepentingan pelaku pembangunan dapat diintegrasikan. Pengalaman-pengalaman masa lalu banyak menunjukkan bahwa perencanaan yang prosedural, normatif dan kurang mengakomodasikan kepentingan para pelaku pembangunan yang ada di dalam proses penyusunannya, menjadi kurang dapat diimplentasikan karena menghadapi berbagai kendala di lapangan. Rencana-rencana seperti itu selain kurang aspiratif juga cenderung tidak diakui, tidak diterima dan tidak ditaati didalam pelaksanaannya.

2. Kompensasi

Masyarakat selama ini tidak mengetahui ataupun diberi hak untuk menegosiasikan penyelesaian konflik, ataupun aspek kompensasi terhadap konsekuensi-konsekuensi biaya dampak yang ditimbulkan oleh akibat diberlakukannya rencana tata ruang pada suatu kawasan, baik terhadap timbulnya dampak lingkungan fisik ataupun sosial-ekonomi.

3. Otonomi Daerah dan Desentralisasi

Undang-Undang No.32/2004 tentang pemerintah daerah memberi peluang kepada daerah agar leluasa mengatur dan melaksanakan kewenangan atas dasar prakarsa sendiri sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat dan potensi setiap daerah. Kewenangan daerah tersebut dilaksanakan secara luas, utuh dan bulat yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi pada semua bidang. Dalam kerangka negara kesatuan, meskipun daerah diberikan otonomi secara luas, tetapi tetap diperlukan adanya konsistensi baik hal keterpaduan substansi maupun kesamaan visi-misi secara nasional. Oleh karena itu sesuai dengan kewenangannya, pemerintah pusat berkepentingan dalam merumuskan kebijakan-kebijakan strategis dan pedoman-pedoman teknis yang berlaku secara umum.

4.Pembangunan yang terpadu dan berkelanjutan

Prinsip pembangunan berkelanjutan yang diterapkan pada penataan ruang laut pesisir dan pulau-pulau kecil memerlukan pemahaman bahwa ruang harus tetap dilihat sebagai satu kesatuan sistem yang perencanaannya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Prinsip penataan Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan salah satu dasar pemikiran bahwa penataan ruang dilakukan secara terpadu khususnya antara darat dan laut. Aktivitas yang dilakukan di laut berakibat pada laut itu sendiri, tetapi belum tentu berakibat pada wilayah daratannya. Sebaliknya aktivitas yang dilakukan di wilayah darat akan berpengaruh pada daratan itu sendiri dan juga akan berpengaruh pada wilayah lautannya. Hal lain yang perlu dicermati sebagai dasar penyusunan perencanaan terpadu adalah jangkauan skala pelayanan yang harus dipandang secara utuh. Satu daerah, misalnya kabupaten pesisir tertentu yang akan menentukan sentra-sentra aktivitasnya atau dalam UU Penataan Ruang dikenal sebagai istilah pusat-pusat permukiman yang membentuk struktur ruang, maka variabel ekonomi yang diperhitungkan merupakan keseluruhan variabel sumberdaya yang ada di darat dan di laut, sudut pandang ini tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Hal ini dapat berimplikasi pada penentuan lokasi pusat-pusat permukiman yang tidak terdominasi di wilayah daratannya, tetapi mayoritas dapat berlokasi di wilayah pesisir-nya.

5. Penentuan Sektor Unggulan

Sektor unggulan merupakan sektor potensial untuk dikembangkang pada wilayah pesisir laut dan pulau-pulau kecil. Sektor tersebut memiliki kriteria, yaitu: penghasil devisa, menyerap tenaga kerja banyak dan yang terpenting dalam perencanaan tata ruang laut pesisir dan pulau-pulau kecil, sektor potensial harus seminimal mungkin mengganggu keberlangsungan ekosistem pesisir dan laut yang ada.

6. Hak Adat/ Tradisional

Keputusan terhadap konflik kepentingan dalam kegiatan pemanfaatan ruang yang terjadi antara para pelaku pembangunan diselesaikan melalui pendekatan musyawarah, dan media partisipatif lainnya. Penataan ruang laut pesisir dan pulau-pulau kecil sangat penting memperhatikan dan mengadopsi akan adanya hak adat/tradisional dan hak-hak lainnya yang sudah hidup dan berlaku dalam sistem tatanan sosial setempat. Hak adat atau ulayat di wilayah pesisir laut dan pulau-pulau kecil di Indonesia sudah berkembang sejak lama, seperti sasi di Maluku, panglima laot di Aceh, awig-awig di Bali-Nusa Tenggara. Eksistensi hak adat ini tetap menjadi perhatian utama dalam perencanaan tata ruang laut pesisir dan pulau-pulau kecil.

Pendekatan Perencanaan Ruang Laut Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

            Penataan ruang merupakan kebijakan publik yang bermaksud mengoptimalisasikan kepentingan antar pelaku pembangunan dalam kegiatan pemanfaatan ruang. Penataan ruang juga menterpadukan secara spatial fungsi-fungsi kegiatan pemanfaatan ruang, baik antar sektor maupun antar wilayah administrasi pemerintahan agar bersinergi positif dan tidak mengganggu. Penataan ruang meliputi proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam perencanaan tata ruang perlu memperhatikan faktor-faktor yang menentukan terjadinya produk rencana, yaitu :

- Konsensus, adanya peran serta aktif dan kesepakatan-kesepakatan antar pelaku pembangunnan
  di dalam penyusunan rencana
- Konsistensi, secara teknis ada kesamaan materi dengan rencana-rencana pada tingkat makro
- Legitimasi, produk rencana diakui, dapat diterima dan ditaati oleh semua pelaku pembangunan
  (karena memperhatikan faktor konsensus di atas)
- Legal aspek, produk rencana mempunyai kekuatan dan kepastian hukum
- Kompensasi, memperhatikan konsekuensi-konsekuensi biaya dampak yang ditimbulkan oleh
  akibat rencana tata ruang dilaksanakan, baik terhadap biaya dampak lingkungan fisik maupun      
  sosial-ekonomi.

            Dalam konteks perencanaan ruang laut pesisir dan pulau-pulau kecil, khususnya di wilayah laut (perairan), dimensi ruang laut perlu dipandang lebih kompleks, ada layer permukaan laut, layer kolom laut dan dasar laut. Ketiga layer ini dapat memiliki beragam potensi sumberdaya yang bisa dikembangkan. Skala prioritas harus dipandang sebagai suatu konsensus, yang tidak harus mematikan salah satu potensi sumber daya. Melalui penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin berkembang, optimalisasi ini dapat dilakukan dengan mengeksploitasi potensi sumberdaya-sumberdaya yang ada secara bersamaan, melalui pengaturan-pengaturan pemanfaatan yang terintegrasi.

Pemanfaatan dan Pengendalian dalam Penataan Ruang Laut Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

            Pemerintah, dalam hal ini termasuk sebagai pelaku pembangunan, sebaiknya bukan hanya sebagai pengambil keputusan kebijakan tata ruang, tetapi dituntut peranannya sebagai fasilitator dalam kegiatan penataan ruang, sehingga pemanfaatan dan pengendalian ruang dapat lebih didekatkan kepada masyarakat ataupun pelaku pembangunan. Pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan dalam penataan ruang laut pesisir dan pulau-pulau kecil akan melibatkan berbagai sektor yang berkompeten. Lebih dari 5 (lima) sektor yang memiliki kepentingan dalam pembangunan pesisir laut dan pulau-pulau kecil, diantaranya: kementerian kebudayaan dan pariwisata, departemen perhubungan, departemen kelautan dan perikanan, departemen dalam negeri, departemen, pekerjaan umum, departemen perindustrian, departemen perdagangan, departemen kehutanan, TNI-AL, dll. Sinkronisasi program dan kegiatan menjadi kunci utama dalam penyelenggaraan pemanfaatan ruang laut pesisir dan pulau-pulau kecil yang efektif dan efisien.

Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman,  produktif dan berkelanjutan

            Bagaimana penataan ruang dapat mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan? Dalam konteks penataan ruang laut pesisir dan pulau-pulau kecil, hal ini dapat diwujudkan melalui upaya-upaya seluruh pihak yang berkompeten untuk berkomitmen menyelenggarakan pembangunan sesuai dengan rencana tata ruang yang sudah disepakati dan ditetapkan. Beberapa hal diantaranya adalah:

1.    Bagaimana agar antar sektor dapat menghilangkan konflik kepentingan yang ada
2.    Bagaimana agar masyarakat dapat memahami dan menyepakati perencanaan tata ruang, sehingga masyarakat dan seluruh stakeholders akan mengawal konsistensi rencana tata ruang yang ada
3.    Bagaimana agar pemerintah dapat mensinkronkan segala program dan kegiatan yang dilakukan oleh semua pihak yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat
4.    Bagaimana agar pelanggaran terhadap arahan rencana tata ruang yang sudah ditetapkan dapat dihilangkan.

Meningkatkan Ekonomi Bangsa Melalui Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Pesisir
Luas laut kita yang merupakan 70 persen dari luas keseluruhan total dengan panjang pantai sepanjang 81.000 km beserta jumlah pulau-pulau kecil sebesar 17.408 pulau merupakan potensi yang sangat besar yang dapat dikelola dan dimanfaatkan. Selain itu diketahui pula bahwa potensi sumber daya kelautan Indonesia terutama potensi sumber daya ikan laut di seluruh perairan Indonesia (tidak termasuk ikan hias) diperkirakan mencapai sebesar 6,26 juta ton per tahun, (Budiharsono S., 2001), hal ini belum dihitung besarnya akumulasi ekonomi yang dapat diciptakan oleh sektor pariwisata, perhubungan laut, pertambangan dan energy kelautan yang sebagian besar memanfaatkan potensi sumberdaya laut dan pesisir nusantara.
Besarnya peluang-peluang ekonomi kita dari pemanfaatan potensi sumberdaya laut dan pesisir yang sedemikian besar ini sudah sepatutnya memberikan kontribusi yang besar pula bagi peningkatan perekonomian bangsa, bahkan sudah sepatutnya pula menjadi sektor pengerak ekonomi nasional yang dominan. Namun pada kenyataannya sektor perikanan dan kelautan nasional masih belum dimanfaatkan secara optimal, hal ini diperlihatkan dari data secara kasat mata bahwa masyarakat pesisir yang merupakan masyarakat yang paling dekat dengan sumberdaya pesisir dan laut umumnya masih tergolong pada masyarakat miskin atau dikategorikan sebagai masyarakat dengan tingkat kesejahteraan rendah. Kondisi ini juga dapat kita tarik kesimpulan bahwa arahan pembangunan nasional belum atau masih sangat minim menyentuh wilayah pesisir dan laut kita, karena paradigma pembangunan kita umumnya masih memusatkan perhatiannya untuk mengalokasikan sumberdaya pembangunan yang ada kepada sektor-sektor atau wilayah-wilayah yang berpotensi besar dalam menyumbang kepada pertumbuhan ekonomi, yang pada umumnya berlokasi di kawasan darat.
Dalam rangka peningkatan ekonomi nasional, pemanfaatan sumberdaya pesisir laut dan pulau-pulau kecil perlu menjadi perhatian lebih melalui perencanaan, pemanfaatan dan pengelolaan yang optimal. Salah satu upaya yang dapat ditempuh dalam rangka peningkatan ekonomi nasional adalah melalui peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir. Hal ini dilakukan sebagai indikator dasar bahwa peningkatan ekonomi masyarakat pesisir sudah tentu merupakan indikasi bahwa adanya perkembangan ekonomi yang sangat signifikan melalui pemanfaatan sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil secara nasional yang sudah tentu memberikan kontribusi yang besar pula kepada struktur dan skema ekonomi nasional.

Pembangunan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang Berkelanjutan
Upaya pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil perlu memperhatikan karakteristik sumberdayanya. Perhatian terhadap kondisi fisik dan karakteristik ekosistem sumberdaya di wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil merupakan faktor yang paling penting menjadi perhatian dalam setiap keputusan pembangunan yang akan diambil. Hal ini dilakukan karena karakteristik sumberdaya di wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil sangat unik. Secara ekologis sumberdaya di wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil memiliki keterkaitan antar ekosistem yang erat, sehingga perlakuan pada satu ekosistem akan mempengaruhi ekosistem lainnya, dengan dampak yang sangat signifikan bagi masing-masing ekosistem.
Berkiblat pada kondisi ini, upaya pembangunan yang dilakukan berbasis pada konsep pembangunan berkelanjutan dimana pada konteks pembangunan di wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil, konsentrasi pertimbangan lingkungan perlu lebih kental menjadi perhatian, sebab inti pemanfaatan dan pembangunan di wilayah pesisir dan laut lebih dominan melakukan eksplorasi pemanfaatan sumberdaya hayati dibandingkan non hayati, sehingga keberlanjutan sumberdaya itu sendiri menjadi hal yang perlu dijaga. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa membahayakan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Hal yang paling krusial pada konsep ini adalah menemukan cara meningkatkan kesejahteraan masyarakat sambil menggunakan sumber daya alam secara bijaksana, sehingga sumber daya alam terbarukan dapat dilindungi, dan penggunaan sumber alam yang dapat habis (tidak terbarukan) pada tingkat di mana kebutuhan generasi mendatang masih tetap akan terpenuhi.

Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Laut dan Pulau-Pulau Kecil

Peningkatan optimalisasi pembangunan sektor ekonomi berbasis sumberdaya pada wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil merupakan upaya yang dapat meningkatkan pendapatan nasional secara besar. Pemanfaatan yang dilakukan hendaklah secara bijaksana yang berarti bahwa bagaimana mengelola segenap kegiatan pembangunan yang terdapat di suatu wilayah yang berhubungan dengan wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil agar total dampaknya tidak melebihi kapasitas fungsionalnya. Dimensi ini memberikan suatu informasi tentang daya dukung (kemampuan suplai) sistem alam di wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil dalam menopang segenap kegiatan pembangunan dan kehidupan manusia. Dengan demikian, agar pembangunan di wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil dapat berkelanjutan, maka pola dan laju pembangunan harus dikelola sedemikian rupa, sehingga total permintaan (demand) terhadap sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan tidak melampaui kemampuan suplainya.
Dalam rangka optimalisasi pemanfaatan sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil, perlu adanya arahan-arahan pemanfaatan yang sesuai dengan karakteristik fisik dan peluang yang akan dikembangkan. Dalam hal ini perlu adanya perencanaan dan pengelolaan yang komprehensif yang dapat mendefinisikan arahan pembangunan pada setiap pemanfaatan yang akan dilakukan. Salah satu upaya pemerintah dalam rangka optimalisasi pemanfaatan sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil adalah dengan terbitnya UU No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Undang-undang ini merupakan langkah awal dari pemerintah pusat dalam rangka mengoperasionalkan, mengatur dan mengoptimalkan segala kegiatan di wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil. Dalam undang-undang ini dituangkan upaya pemanfaatan sumberdaya melalui rencana strategis, rencana zonasi, rencana pengeloaan dan rencana aksi di wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil. Melalui konsep perencanaan yang komprehensif, terarah, terpadu dan berkelanjutan diharapkan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil dapat terwujud, sehingga tujuan kita semua dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir pada khususnya dan ekonomi nasional pada umumnya dapat terjadi.

Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Penataan Ruang Laut Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

          Salah satu faktor yang menjadi stimulan pembangunan adalah peran masyarakat dalam setiap kegiatan pembangunan. Peran serta masyarakat dalam penataan ruang baik dalam tahap perencanaan, pemanfaatan, maupun pengendalian pemanfaatan tata ruang menjadi sangat relevan dalam rangka menciptakan wilayah yang humanopolis yaitu suatu wilayah yang dibangun dengan mengacu secara inovatif pada penataan ruang yang mengutamakan dan melibatkan kepentingan masyarakat.
            Melalui peningkatan peran serta masyarakat dalam penataan ruang pesisir, laut dan pulua-pulau kecil diharapkan sertiap perencanaan yang dilakukan dapat mengakomodir kepentingan masyarakat sebagai obyek pembangunan. Perlibatan ini diharapkan juga dapat meningkatkan pengawasan setiap pelaksanaan pembangunan oleh masyarakat sendiri agar sesuai dengan rencana.

Pengembangan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Berbasis Ekosistem Pesisir dan Laut

Konsep yang akan dikembangkan dalam Pengembangan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil kemudian secara garis besar akan secara dominan berbasis pada pendekatan ekosistem pesisir dan laut. Hal ini dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa keberadaan sumberdaya hayati di pesisir dan laut merupakan sumberdaya yang paling potensial dan dominan dikembangkan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi pada wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka eksistensi sumberdaya di wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil haruslah dijaga dan di pertahankan kelestarian agar keberlanjutan ekonomi juga dapat berlangsung.

Pendekatan Perencanaan Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Berbasis pada Ekosistem Pesisir

Kegiatan pembangunan yang akan di kembangkan di wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil secara garis besar berbeda dengan konsep pembangunan yang diterapkan pada di wilayah darat. Konsep pembangunan di wilayah darat lebih dikenal dengan pengembangan wilayah, dimana pendekatan ekonomi sangat kental dalam setiap keputusan pembangunan yang akan dilakukan. Terkadang, akibat pendekatan ekonomi yang cenderung ekspansif, seringkali melupakan pertimbangan lingkungan atau dinomor duakan bahkan di lupakan.
Lain halnya dengan konsep perencanaan tata ruang dan pembangunan yang akan di lakukan di wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil, pertimbangan ekosistem merupakan hal yang paling krusial di perhatikan. Seperti yang telah di bahas sebelumnya, bahwa pertimbangan ini dilakukan karena secara ekologi keterkaitan ekosistem pada wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil sangatlah erat satu sama lain, sehingga setiap perlakuan pembangunan yang akan diterapkan perlu memperhatikan aspek ekosistem pada wilayah pesisir dan laut. Oleh karena itu pengelolaan yang dilakukan perlu memperhatikan aspek lingkungan dan keterkaitan ekosistem yang ada untuk menghindari dampak kerusakan lingkungan yang akan mengganggu keseimbangan dan keberadaan sumberdaya dan keanekaragaman hayati di laut. Jadi kegiatan yang dihasilkan harus saling terintegrasi satu sama lain. Selain itu arahan kebijakannya seoptimal mungkin lebih ditekankan pada aspek konservasi dengan pemanfaatan terbatas dan berkelanjutan.
Berangkat dari konsep yang dikembangkan ini berarti setiap perencanaan ruang dan arahan pemanfaatan sumberdaya yang akan dilakukan adalah bagaimana merencanakan dan mengelola segenap kegiatan pembangunan yang terdapat di suatu wilayah yang berhubungan dengan wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil agar setiap kegiatan yang dikembangkan maupun yang akan dikembangkan sesuai atau tidak bertentangan dengan karakterisitk fisik dan ekosistemnya dengan batasan kegiatan dimana total dampaknya tidak melebihi kapasitas fungsionalnya.

Perencanaan Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Berbasis Mitigasi Bencana

Wilayah pesisir laut dan pulau-pulau kecil kita secara garis besar memiliki karakteristik fisik yang unik. Dari beberapa hasil penelitian, sebagian besar wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil kita memiliki potensi besar terhadap bencana, terutama bencana gempa bumi bahkan tsunami seperti di wilayah lepas pantai Selatan Indonesia dari Sumatera, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara serta Laut Sulawesi di Utara. Selain potensi bencana gempa dan tsunami, wilayah pesisir kita juga sangat rawan terhadap bencana lainnya yang perlu menjadi perhatian besar baik akibat dampak dari pembangunan maupun yang terjadi akibat faktor alam seperti banjir akibat pasang air laut, abrasi dan akresi, longsor, sedimentasi, penurunan permukaan tanah, intrusi air laut dan lain sebagainya.
Berdasarkan kondisi dan karakteristik yang umumnya terjadi pada kawasan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil, maka dalam perencanaan selanjutnya pertimbangan fisik kawasan dan pertimbangan dan pendekatan aspek mitigasi bencana kemudian perlu menjadi perhatian dalam melakukan setiap perencanaan di wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil dalam rangka mengeliminasi dampak lingkungan yang akan muncul di kemudian hari.


Keterkaitan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan  UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Keterkaitan antara Rencana Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Laut dan Pulau-Pulau Kecil

            Undang-Undang Penataan Ruang tahun 2007 mengamanatkan beberapa hal yang merupakan penyempurnaan dari UU Penataan Ruang sebelumnya (tahun 1992). Dalam kaitan dengan rencana tata ruang laut pesisir dan pulau-pulau kecil, undang-undang Penataan Ruang mengamanatkan bahwa ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah (UU no. 26/2007). Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Provinsi, Kabupaten dan Kota akan disahkan dengan peraturan daerah dan harus memuat arahan perencanaan untuk matra darat, laut dan udara secara terpadu.
            Faktanya keruangan kawasan lautan dan pesisir, dalam UU penataan ruang ini masih sangat terkesan land vision. Semua tahu, Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri atas 17.508 buah pulau dan memiliki pantai terpanjang kedua di dunia (kira-kira sepanjang 81 ribu Km2) setelah Canada dengan luas Zona Ekonomi Eksklusif lautan sebesar 7,.7 juta km2. Fakta tersebut seharusnya menyadarkan kita akan jati diri kita sebagai negara maritim, sehingga dalam isu tata ruang lautan dan pesisir dapat mengakomodasi operasionalisasi dari UU pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil ini dalam kerangka yang akan lebih dilihat tidak hanya dari sudut pandang continental vision.
            UU no. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengamanatkan untuk menata kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan. Operasionalisasi pengelolaan ini dituangkan dalam produk rencana zonasi yang menjadi tools dalam pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil antar sektor, antar pemerintah dan pemerintah daerah, antara ekosistemdarat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (UU no. 27/2007). Sementara itu rencana zonasi adalah rencana yang menentukan arah penggunaan sumberdaya tiap-tiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelahmemperoleh izin (UU no. 27/2007). Rencana zonasi merupakan komplementer dan sebagai satu dasar pertimbangan bagi penentuan muatan rencana tata ruang laut pesisir dan pulau-pulau kecil. UU No. 27 tahun 2007 ini merupakan dasar pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil secara optimal yang akan dikemas dalam pengaturan-pengaturan hak-hak dilaut, dalam UU ini dikenal sebagai Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3).
            Penataan kawasan pesisir laut dan pulau-pulau kecil akan terdominasi oleh isu-isu diantaranya: perbatasan negara, degradasi lingkungan, illegal fishing, dan kemiskinan masyarakat pesisir. Contohnya, persoalan penanganan dan pengawasan daerah perbatasan menjadi sesuatu yang tidak mudah. Setelah 2 (dua) peristiwa penting masing-masing lepasnya bekas propinsi Timor Timur tahun 1999 dan menjadi negara merdeka, dan menangnya pihak Malaysia dalam sidang Mahkamah Internasional di Den Haag tahun 2003 terhadap kepemilikan Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan. Pengelolaan perbatasan sebaiknya tidak melulu mengutamakan pada pendekatan keamanan (security approach) daripada pendekatan kesejahteraan (prosperity approach), sehingga telah mengakibatkan wilayah perbatasan, baik daratan maupun pulau-pulau terluar, menjadi daerah yang nyaris tidak tersentuh oleh dinamika pembangunan, kurangnya infrastruktur dan pusat-pusat pelayanan pemerintah lainnya yang menyebabkan masyarakatnya menjadi relatif miskin dan tertinggal, sehingga yang melatarbelakangi pula maraknya kegiatan-kegiatan illegal termasuk illegal fishing. Pulau-pulau yang berpotensi menimbulkan konflik adalah ; Rondo di Sabang, Berhala dan Nipah di Selat Malaka, Sekatung di Kepulauan Natuna, Marore, Miangas, Beras di Papua, serta Pasir di selatan Nusa Tenggara Timur. Inilah sebagai salah satu yang  diterjemahkan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, sehingga wilayah-wilayah perbatasan negara dikelola secara lebih optimal. Untuk cakupan yang lebih luas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diharapkan dapat menjadi wilayah yang aman, nyaman, dan tetap dikelola secara arif dan berkelanjutan. 

Penataan Ruang menurut UU26/2007 vs
Rencana Zonasi menurut UU27/2007

Hirarki Perencanaan Menurut
Undang Undang no 27 tahun 2007

Hirarki Rencana Zonasi
menurut UU27/2007

Wilayah Perencanaan Zonasi Pesisir


Empat Kawasan menurut Rencana Zonasi: Pemanfaatan Umum,
Konservasi, Alur dan Strategis Nasional Tertentu

Site Plan Budidaya Rumput Laut di Bali Timur
Yang Tidak Selaras dengan Rencana Zonasi

Sekedar Contoh Lain ttg Penataan Zonasi Yang Baik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar