Jumat, 24 Juni 2011

Dusun Sade: Rumah Tradisional Suku Sasak di Lombok

Dusun Sade berada sekitar 65 km dari Kota Mataram atau dapat ditempuh sekitar satu jam lebih sedikit dengan kendaraan pribadi. Sekeluar dari kota Mataram, sepanjang perjalanan kita akan disuguhi pemandangan persawahan dan kebun-kebun yang terus terusik oleh desakan pemukiman dan bangunan bangunan lainnya.
Dusun Sade adalah salah satu dari sedikit pemukiman tradisonal dari suku Sasak yang masih ada yang dicirikan oleh bentuk dan material bangunan rumah yang terbuat dari bilik bambu dan atap ilalang. Dusun Sade sendiri masuk wilayah administrasi Kabupaten Lombok Tengah menempati lahan seluas 6 ha dengan jumlah rumah sebanyak 150 buah dan dihuni oleh 700 penduduk. Mata pencaharian penduduknya dalah bertani di sawah tadah hujan yang panennya sekali setahun. Hasil padi dari panen sekali setahun itu digunakan hanya untuk makan sehari hari tidak dijual. Sehingga perlu bangunan tersendiri untuk menyimpan padi sepanjang setahun itu yaitu dibangunan yang disebut alang. Umumnya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi lainnya ditutupi oleh penjualan kain tenun yang diproduksi oleh kaum perempuannya.
Sekarang mari kita liat sedikit tentang rumah tradisonal suku sasak itu. Rumah atau bali tani atau rumah petani untuk sebutan lokal mereka, arsitekturnya mirip rumah joglo di Jawa. Material dindingnya dari bilik bambu dan bentuk atap seperti rumah joglo namun dibuat dari ilalang dengan ketebalan tertentu. Atap ilalang ini diganti setiap 10 tahun atau sesuai kondisinya.
Rata-rata luasan satu rumah adalah 40 m2 yang terdiri dari ruang tamu sekaligus ruang tidur untuk orang tua dan dibelakangnya hanya terdiri dua ruangan kecil. Satu ruangan untuk tempat tidur anak gadisnya sekaligus sebagai dapur dan di sebelah ruang tidur ini adalah kamar untuk melahirkan. Anak gadisnya diberi kamar khusus karena terkait dengan adat perkawinan suku Sasak yang menerapkan adat ‘culik’, sehingga anak gadis itu perlu perlindungan tersendiri. Anak laki-laki tidak diberi kamar dan tidurnya di bale-bale yang berada di luar rumah bersama sama teman teman laki laki lainnya. Kalau di Jawa, hal tersebut diistilahkan dengan ‘ngenger’. Yang masih menjadi pertanyaan saya, kenapa untuk melahirkan perlu diberi kamar khusus? Apakah perempuan suku Sasak sering melahirkan?
Pintu rumah dibuat pendek, hal ini dimaksudkan sebagai cara penghormatan dari tamu kepada pemilik rumah. Karena setiap tamu yang masuk rumah pasti akan menundukan kepala akibat pintunya yang pendek. Rumah-rumah Suku Sasak tidak berjendela. Sirkulasi udara hanya mengharapkan dari celah celah kecil dinding diantara anyaman bilik bambu. Tentu saja tidak akan optimal. Kesan yang timbulpun adalah gelap dan kurang segar.
Hal lain yang menarik adalah lantai rumah yang terbuat dari tanah liat dicampur dengan kotoran kerbau. Memang sih lantainya keliatan seperti lantai semen, baik dari segi kekerasan maupun warnanya.
Kita bicara dari segi pariwisatanya. Dusun Tradisonal Suku Sasak, cukup menarik dan unik namun kurang atraktif. Padahal unsur atraktif dalam pariwisata memegang peranan utama. Pengunjung sudah dibuat senang dengan suguhan arsitektur rumah yang menarik ditambah kaum ibunya yang sedang bekerja menenun dan bagi beberapa nenek sepuh sedang duduk-duduk sambil makan buah pinang kemudian ada bapak-bapak yang sedang ngurusi ayam peliharaannya yang berada disamping rumah tinggalnya, dll. Sayangnya adalah hampir semua rumah-rumah yang dilewati menjajakan dagangan kain tenun, songket, dan batik serta berbagai asesoris seperti gelang dan kalung, yang tidak semuanya itu adalah produk mereka sendiri. Kenapa tidak diatur disuatu tempat? Kemudian yang lebih penting lagi adalah kita mengunjungi komunitas ini tanpa ada informasi tertulis sehelaipun. Kita hanya mengandalkan kepada pengetahuan sang pemandu, kalau kita menggunakan jasanya. Kalau kita jalan sendiri, ya informasinya hanya dari persepsi kita sendiri saja, yang tentu banyak salahnya.
Lalu bagaimana ke depan? Mau dikomersilkan kah atau mau dibangun? Kita lihat beberapa pendapat dari ahlinya.
Nyoman S Pendit (1999) menyatakan: Manusia selalu memiliki rasa keingintahuan (curiosity). Perasaan ingin tahu inilah yang mendorong manusia untuk pergi mengadakan perjalanan (keluar rumah atau keluar kota). Inilah asal muasal adanya pariwisata. Kemudian berkembang berkembang dan terus berkembang tentang keparisataan ini maka jadilah sebuah industri.
Umar Kayam (1980): Industri pariwisata seperti kita ketahui tidak hanya mendatangkan dan membawa pergi wisatawan. Ia juga mendatangkan dan membawa pergi hal-hal lain. Sebagai industri modern, industri pariwisata tidak bisa lepas dari kaidah dan aturan industri modern lainnya. Ia harus efisisien, kompetitif bahkan ekspansionis. Dan itu akan berdampak kepada masyarakat dan daerah yang menjadi objek wisata dimana umumnya masyarakatnya masih berorientasi kepada nilai-nilai agraris-tradisional. Konteks efisiensi, kompetitif dan ekspansionisme yang dipahami olehnya adalah berpusat kepada kepentingan harmoni kolektif dari masyarakat itu.
Astrid Susanto (1986): perlu dipertimbangkan unsur-unsur mana yang dapat dimasukan kedalam paket wisata. Apabila social cost-nya lebih tinggi dibandingkan economic benefid-nya, maka model pariwisata seperti itu perlu dihindari.
Kesimpulannya, saya menyimak Frans seda (1980): kadang kita begitu asik mendandani alam, kebudayaan dan adat istiadat sekedar ‘to please the tourist’, sehingga justru merusak keaslian alam, budaya, dan adat istiadat itu sendiri. Padahal turis-turis itu hanya mempunyai keinginan untuk melihat alam, budaya, dan adat istiadat sebagaimana aslinya. Kalau itu dirubah, belum tentu turis akan datang lagi.
Selamat Datang
di Dusun Sade, Dusun Tradisional
Suku Sasak di Lombok
Arsitektur Rumah Tradisional
Suku Sasak

Pintunya Pendek
agar Tamu Menghormati Tuan Rumah
Lantainya dibuat dari 
Campuran Tanah Liat dan tahi Kerbau
Terdiri Dua Kamar
untuk Anak Gadisnya dan untuk 
Melahirkan
Kamar Anak Gadisnya
Merangkap Dapur
Arsitektur Rumah
Lumbung Padi atau Alang

Pekerjaan Perempuan Sasak

2 komentar:

  1. Ngiring, Sanak.
    Kita kadang terlalu fokus pada raga, bukan pada jiwanya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju Mas. Itulah duniawi yang kadang terdapat kepalsuan dan tidak mesti menjadikan bahagia.

      Hapus