Minggu, 31 Juli 2011

Kenapa Nelayan Bengkulu Miskin?

Perikanan Tangkap Provinsi Bengkulu
Perikanan tangkap di Prov Bengkulu, sebenarnya memiliki potensi yang cukup besar. Dalam klasifikasi Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) sesuai Permen KP No.Per.01/MEN/09 tentang WPP, perairan Prov Bengkulu masuk dalam WPP 2 dengan kode WPP-RI 572. WPP-RI 572 atau WPP 2 itu sendiri adalah perairan Samudera Hindia sebelah barat Sumatera dan Selat Sunda, yaitu terdiri dari perairan laut Prov Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung dan sebagian perairan Banten. Produksi perikanan tangkap secara keseluruhan di WPP 2 ini sekitar 510.215 ton (Statistik Perikanan Tangkap. 2008) yang didominasi oleh ikan pelagis kecil (selar, layang, bawal hitam, japuh, tembang, lemuru, kembung, teri dll) sebanyak 204.602 ton atau sekitar 40,10%, kemudian dari jenis ikan demersal (kuwe, bawal putih, kakap putih, peperek, lencam, layur, pari dll) sebesar 133.029 ton atau sekitar 26,07%, disusul dari jenis ikan pelagis besar (setuhuk/marlin, tongkol, cakalang, tenggiri, albakor, cucut, dll) sebesar 126.899 ton atau sekitar 24,87% dan sisanya terdiri dari jenis udang-udangan, ikan karang, cumi-cumi, kerang-kerangan, dll.
Menurut data statistik perikanan tangkap 2009 sendiri, provinsi Bengkulu memiliki statistik sebagai berikut:
Potensi perikanan tangkap Prov Bengkulu adalah =126.217 ton/tahun yang terdiri dari potensi perikanan pesisir = 46.145 ton/tahun dan potensi perikanan tangkap di ZEE sebesar 80.072 ton. Saat ini produksi perikanan tangkap Prov bengkulu (statistik perikanan tangkap.2009) sebanyak 44.209 ton atau tingkat pemanfaatannya sebesar 35,02% saja. Nilai hasil tangkapan ikan itu adalah sebesar Rp 600,609 Milyar. Jumlah nelayan di Prov Bengkulu tercatat 15.929 orang (?). Artinya pendapatan seorang nelayan yang nota bene adalah kepala keluarga adalah sebesar =Rp 37,705 juta/tahun. Kalau diasumsikan dari nilai tersebut sebesar 70% nya untuk biaya melaut termasuk over head cost seperti bunga dan penyusutan aset dan 30% nya merupakan pendapatan nelayan, maka nelayan tersebut mendapat setara Rp 11,32 juta/nelayan/tahun. dan itu berada di bawah Garis kemiskinan yang berlaku saat ini yaitu pendapatan tidak kurang dari Rp 233.740/kapita/bulan atau Rp 2,8 juta/kap/tahun. Atau pendapatan untuk satu rumah tangga dengan asumsi terdiri 5 anggota keluarga, adalah sebesar Rp 14,4 juta/keluarga/bulan. Cukup menarik dari data-data tersebut.

Kemiskinan Nelayan Bengkulu
Menurut data BPS 2010 menunjukkan bahwa persentase nelayan dan pembudidaya ikan yang miskin di Bengkulu adalah terbesar di Indonesia yaitu sebesar 42,80%. Artinya dari sejumlah nelayan dan petani ikan Prov Bengkulu sebanyak 39.301 orang (terdiri dari nelayan 15.929 orang dan pembudidaya ikan 23.372 orang) maka jumlah yang nelayan dan pembudidaya ikan yang miskin itu ada sebanyak 16.820 jiwa. Kalau nelayan dan pembudidaya ikan ini sebagai kepala rumah tangga dengan jumlah anggota keluarga secara keseluruhan sebanyak 5 orang, berarti di lapangan usaha perikanan tangkap ada sebanyak 84.100 orang miskin, dan angka tersebut adalah angka persentase terbesar dari seluruh provinsi yang ada (lihat tabel berikut).

Persentase orang miskin berdasarkan
Lapangan usaha perikanan (sumber: BPS 2010)
No
Provinsi
% Miskin
1
Bengkulu
42,80
2
Papua
40,79
3
Papua Barat
40,17
4
Maluku
37,14
5
DI Yogyakarta
30,08

Data data: (1) Hasil perhitungan BPS 2010 bahwa persentase masyarakat miskin yang berusaha di bidang perikanan adalah sebanyak 42,80%, (2) pendapatan keluarga nelayan sebesar Rp11,32 juta/kk/tahun dibandingkan dengan garis kemiskinan Rp 14,4 juta/kk/tahun dan (3) harga rata-rata ikan sebesar Rp 13,6/kg (nilai produksi dibagi jumlah produksi). Dari angka-angka tersebut secara empiris kita dapat menarik kesimpulan bahwa: (1) struktur pendapatan antar nelayan sendiri di Provinsi Bengkulu adalah timpang. Di satu sisi ada nelayan-nelayan yang mempunyai penghasilan sangat besar, namun di sisi lain ada nelayan yang sangat miskin. Hal tersebut dapat terjadi karena sistem nagi hasil yang kurang baik  (2) Kemiskinan disini bukan karena keterbatasan sumberdaya yang ada, karena tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan baru 35% saja, tetapi lebih kepada terbatasnya teknologi yang dimiliki nelayan, sehingga nelayan Bengkulu tidak dapat menjangkau sumberdaya ikan di wilayah ZEE, (3) terbatasnya permodalan, (4) rendahnya akses terhadap informasi terutama pasar, sehingga ikan yang didapat nelayan hanya dihargai Rp13,6/kg, dan (5) keterbatasan infrastruktur perikanan yang dimiliki Prov Bengkulu seperti pelabuhan perikanan, TPI, pabrik pengolahan ikan dll..

h   Hal tersebut di atas hampir sejalan dengan hasil penelitiannya Said Ali Harahap di komunitas nelayan di Kota Medan yang menyimpulkan bahwa kemiskinan nelayan disebabkan oleh: (1) tingginya jumlah tanggungan keluarga, (2) pengeluaran konsumsi tinggi, (3) ketimpangan pendapatan antar nelayan, (4) jumlah jam melaut, dan (5) faktor permodalan dan biaya operasional. 
     
     Bahan Bacaan:
     Harahap, Said Ali. 2003. Analisis Masalah Kemiskinan dana Tingkat Pendapatan Nelayan Tradisonal di Kec Medan Labuhan, Kota Medan. Thesis Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. 
     Statistik Perikanan Tangkap Indonesia. 2009. Kementrian Kelautan dan Perikanan 2010
     Statistik Perikanan Tangkap di Laut Menurut Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 2004-2008. Kementrian Kelautan dan Perikanan 2010
     Ritonga, Hamonangan. 2011. Statistik Kemiskinan KP3K. Makalah disampaikan pada Workshop Kemiskinan Kp3k pada 29 Juli 2011 di Jakarta
Perahu Kecil Milik Nelayan Bengkulu yang Banyak Nganggurnya
Kondisi Rumah Nelayan Miskin
Nelayan yang kini banyak menganggurnya, baik karena musim maupun permodalan
  
  


Sabtu, 30 Juli 2011

Kemiskinan Masyarakat Pesisir adalah Kemiskinan Nelayan



Kita sudah mahfum semua bahwa masyarakat nelayan masih banyak yang hidup dengan status miskin. Sehingga tidak heran banyak program pusat maupun daerah yang digelontorkan agar dapat mngentaskan dari kemiskinan itu. Beberapa program yang berkaitan dengan pengentasan kemiskinan antara lain:
-Peningkatan Kelembagaan
-Target Global: MDG’s GOAL # 1
- Target Nasional penurunan angka kemiskinan
Pengentasan Kemiskinan 4 Klaster (sumber: Hamonangan Ritonga 2011)

- kini yang baru diperkenalkan Bappenas 2011 adalah Program Pengentasan Kemiskinan 4 Klaster. Dimana pengentasan kemiskinan nelayan termasuk dalam klaster 4 bersama-sama dengan perumahan, tranportasi, air bersih, listrik untuk rakyat miskin, dan keluarga rentan di perkotaan.
walaupun kompleksitas kemiskinan nelayan dan pembudidaya ikan itu tinggi, mudah-mudahan program pengentasan kemiskinan 4 klaster tersebut bisa berhasil.
Kemiskinan yang diartikan sebagai ketidak berdayaan untuk memenuhi kebutuhan dasar kehidupannya (konsep BPS: basic needs approach), dimana BPS telah menetapkan garis kemiskinan  dengan pendapatan setidaknya sebesar = Rp 233.740/kapita/bln atau setara Rp 1,2 juta/kk/bln dengan asumsi jumlah keluarganya terdiri dari 5 jiwa.  Dengan besaran garis kemiskinan tersebut kini di Indonesia ada 30,02 juta orang miskin dari populasi penduduk Indonesia sebanyak 236 juta jiwa atau sekitar 12,49%. Bagaimana kalau menerapkan standar garis kemiskinan Bank Dunia yaitu dengan pendapatan setidaknya =US$ 2/kapita/hari ? Mungkin penduduk miskin di Indonesia sebanyak 100 jutaan jiwa.
Persentasi Miskin Berdasar Lapangan Usaha (Hamonangan Ritonga 2011)

populasi masyarakat miskin yang berusaha dalam bidang perikanan adalah yang paling terendah, angka persentasenya setingkat dengan perkebunan, justru persentasi masyarakat miskinnya yang terbesar ada di bidang usaha pertanian padi, palawija, dan perkebunan. Dari data tersebut, mSekarang mari kita lihat kemiskinan makro berdasarkan lapangan usaha lingkup pertanian dalam arti luas. Data BPS 2010 memperlihatkan bahwa emperlihatkan bahwa jumlah persentasi yang orang miskin yang berlapangan kerja perikanan (sebagai nelayan dan pembudidaya ikan) adalah sebesar 16,93% atau sekitar 906.421 jiwa (jumlah penduduk yang bermata pencaharian nelayan dan petani ikan = 5.353.936 jiwa. BPS 2010), bandingkan persentase orang miskin yang berusaha di pertanian padi dan palawija yaitu sekitar 22,60%.

Kita lihat persentase orang miskin yang berusaha di bidang perikanan per provinsi (data BPS 2010). Terlihat provinsi yang memiliki jumlah persentase nelayan dan petani ikan miskin yang tertinggi adalah (lihat gambar 1  di bawah):
1.    Prov Bengkulu = 42,80%
2.    Prov Papua = 40,79%
3.    Prov Papua Barat = 40,17%
4.    Prov Maluku = 37,14%
5.    DI Yogyakarta = 33,60%
6.    Aceh = 30,08%
D Data tersebut menunjukkan bahwa masyarakat nelayan dan pembudidaya ikan miskin di Prov Bengkulu, Papua Barat, dan Papua hampir mencapai setengahnya dari masyarakat nelayan dan pembudidaya ikan yang ada di daerah-daerah provinsi tersebut. Dan untuk Prov Maluku, Yogyakarta, dan Aceh jumlah nelayan dan pembudidaya ikan miskin adalah  kurang lebih sepertiga dari populasi nelayan dan pembudidaya ikan yang ada di wilayah tersebut. Yang menarik dari data tersebut adalah nelayan dan pembudidaya ikan yang miskin justru berada di wilayah-wilayah yang memiliki sumberdaya ikan yang melimpah. Bengkulu, Papua, Papua Barat, apalagi Maluku adalah wilayah penangkapan /lumbung ikan.  Kemudian Aceh dan Yogyakarta yang dikenal sebagai sentra penghasil ikan dan udang tambak maupun ikan air tawar. Jadi kenapa mereka miskin? Mari kita bandingkan dengan provinsi yang memiliki angka persentase masyarakat nelayan dan pembudidaya ikan miskinnya yang rendah, yaitu:
1.    Prov Bali = 3,59%
2.    Prov Banten = 4,37%
3.    Prov Kalimantan Barat = 4,60% (Lihat Gambar 1). Data-data tersebut menunjukkan jumlah nelayan atau pembudidaya ikan miskin di populasinya di provinsi-provinsi bersangkutan adalah sangat rendah dan itu artinya selain nelayan dan pembudidaya ikan di tempat tersebut tidak miskin, juga disparitas pendapatan diantara para nelayan atau pembudidaya ikan itu sendiri tidak jomplang. 
     Atau kita lihat angka persentase masyarakat nelayan dan pembudidaya ikan miskin di kab/kota pesisir di tiap provinsi (Lihat Gambar 3 dan 4 di bawah):
Data dari gambar 3 dan 4 di bawah, menjadi menarik lagi karena kemiskinan dan ketimpangan pendapatan nelayan dan pembudidaya ikan justru berada di wilayah suatu kabupaten bukan kota, padahal seharusnya perikanan lebih maju yang berada di wilayah suatu kabupaten bukan di wilayah kota, karena sesuai dengan karakteristik suatu kabupaten yang memiliki wilayah yang relatif luas dengan struktur sosial ekonomi bersifat agraris dimana mata pencaharian penduduknya sebagian besar sebagai petani, pekebun, peternak, pembudidaya ikan, dan nelayan. Berbeda dengan karakteristik kota, dimana luasnya relatif sempit, padat penduduk, dan perekonomian lebih mengandalkan kepada jasa, perdagangan, dan industri, sehingga sebagian besar mata pencaharian penduduknya adalah sebagai pedagang, pengusaha, jasa, dan pegawai negri (Chosin, Hanif. 2009). Namun seperti kita ketahui bahwa infrastruktur pendukung untuk usaha perikanan di perkotaan lebih maju dibanding keberadaan infrastruktur perikanan di wilayah kabupaten. Akses ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di wilayah kota pasti lebih bagus dan mudah, jika dibandingkan dengan yang ada di wilayah suatu kabupaten. Begitu juga dengan kondisi infrastruktur perikanan pada skala provinsi. Infrastruktur perikanan di Prov Papua walaupun sumberdaya ikannya besar, namun tidak akan sebagus infrastrutur perikanan yang ada di Provinsi Bali.  Sehingga mungkin sekali, aktifitas illegal fishing (antara lain jual beli ikan di tengah laut dengan harga murah, sehingga bisa memiskinkan nelayan) akan lebih banyak terjadi Provinsi Papua, dibandingkan terjadi di Prov Bali. Kira kira itulah salah satu penyebab tingginya persentase jumlah nelayan dan pembudidaya ikan miskin di banyak propinsi dan di banyak kab/kota pesisir.
Tetapi perlu direnungkan juga, karena kemiskinan di pesisir khususnya nelayan itu sangat komplek, tidak ada salahnya untuk menyitir pendapatnya Panoyatou (1982): kemiskinan nelayan adalah disebabkan bahwa mereka (nelayan) tetap mau tinggal dalam kemiskinan karena kehendaknya untuk menjalani kehidupan seperti itu (preference for a particular way of live) atau lebih ditegaskan oleh Subade dan Abdulah (1993) yang menekankan bahwa nelayan lebih senang memiliki kepuasan hidup yang bisa diperoleh dari menangkap ikan dan bukan berlaku sebagai pelaku yang semata-mata berorientasi pada peningkatan pendapatan. Saya mengamini pendapat tersebut, artinya untuk mengentaskan kemiskinan masyarakat pesisir selain melalui penerapan kebijakan yang tepat melalui salah satunya -peningkatan infrastruktur- juga harus dibarengi dengan pola kegiatan terintegrasi baik secara sektor, antar wilayah, elemen masyarakat, maupun keilmuan dan tentunya juga pembangunan itu harus merata. Karena melalui itu, jalan pengentasan kemiskinan dapat dilakukan. Semoga 
Bacaan:
Nurcholis, Hanif. 2009. Perencanaan Partisipatif Pemerintah Daerah. Grasindo. Jakarta. 173 hal
Ritonga, Hamonangan. 2011. Data Kemiskinan Masyarakat Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Makalah Disampaikan pada Workshop Data Statistika KP3K di Jakarta, 29 Juli 2011
Subade, R.F and Nik Mustafa R. Abdulah. 1993. Are Fishermen Profit Maximizers? The Case of Gillnetters in Negros Occidental and Iloilo. Philippines. Asian Fisheries Science. Vol 6: 34-49
Panayotou, T. 1982. Management Concept for Small Scale Fisheries. FAO Fish Tech Pap no 228.53p
Gambar 1. Tingkat kemiskinan Nelayan dan Petani Ikan (BPS 2011)




Gambar 2: Persentase Jumlah Nelayan Miskin di Kab Kota Pesisir di Prov Papua (Sumber: H Ritonga 2011)
Gambar 3: Persentase Jumlah Nelayan dan Pembudidaya Ikan Miskin di Kab Kota di Prov Banten (Ritonga 2011)
Gambar 4: Kondisi Keluarga Nelayan di DI Yogyakarta
Gambar 5: Kondisi Tambak Udang di Aceh

Rabu, 27 Juli 2011

Kedudukan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN)

Salah satu pendekatan pembangunan yang saat ini sedang populer adalah pendekatan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan adalah paradigma pembangunan baru yang menyepakati suatu pendekatan yang terintegrasi/terpadu, yang menggabungkan sekaligus tiga pilar pembangunan, yaitu pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan pembangunan lingkungan hidup. Istilah pembangunan berkelanjutan sendiri, begitu menjadi sangat terkenal setelah diterbitkannya laporan mengenai pembangunan dan lingkungan hidup serta sumberdaya alam oleh Komisi Dunia untuk Lingkungan hidup dan Pembangunan PBB (UN-World Commission on Environment and development-WCED), yang diketuai oleh Harlem Brundland, pada tahun 1984. Pembangunan berekelanjutan (sustainable development) adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang. Pertanyaan berikutnya, lalu bagaimana keterkaitan pembangunan berkelanjutan dengan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil?
Wilayah pesisir dan pulau pulau kecil yang tersusun dari berbagai macam ekosistem dimana satu sama lain saling terkait dan tidak berdiri sendiri. Adanya perubahan atau degradasi yang menimpa salah satu ekosistem, tentu akan berdampak negatif kepada ekosistem lainnya. Kondisi empiris seperti itu mensyaratkan bahwa pengelolaan wilayah harus dilakukan secara terpadu, yaitu harus memperhatikan segenap keterlibatan ekologis (ecological linkage) yang dapat mempengaruhi suatu wilayah pesisir. Pengelolaan wilayah pesisir terpadu (Integrated Coastal Zone Management/ICZM) adalah suatu proses keterpaduan yang diterapkan sejak perencanaan dimulai, kemudian pada waktu implementasi sampai di tahap monev sekalipun dengan pelaksanaannya secara terstruktur berdasarkan hirarkinya. Intrumen perencanaan dalam kaitannya dengan pengelolaan pesisir terpadu, diawali dengan penyusunan Rencana Strategis (RSWP-3-K), diikuti Rencana Zonasi (RZWP-3-K), kemudian rencana Pengelolaan (RPWP-3-K) dan Rencana Aksi (RAWP-3-K). Khusus RZWP-3-K yang didefinisikan sebagai rencana yang menentukan arah penggunaan sumberdaya tiap tiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah mendapat ijin atau dalam kalimat lain: rencana zonasi berperan dalam pengelolaan ruang, memilah kegiatan yang sinergis dalam satu ruang dan kegiatan yang tidak sinergis di ruang lainnya.
Pertanyaan berikutnya yang sering muncul adalah bagaimana kedudukannya RZWP-3-K dengan RTRW atau hubungannya dengan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) ? mari kita tinjau satu persatu.
Landasan Hukum
Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Undang-undang ini terkait denga RZWP-3-K
Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Undang-undang ini terkait dengan RTRW
Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN)

Perencanaan Pembangunan
Sistem Perencanaan Pembangunan diatur oleh Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang SPPN. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasioanal (SPPN) adalah suatu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP Nasional), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM Nasional), dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara pemerintahan di pusat dan daerah dengan melibatkan masyarakat. 
RPJP-Nasional
RPJP Nasional dituangkan dalam bentuk visi, misi, dan arah pembangunan nasional. RPJP Nasional memberi gambaran apa yang hendak dicapai dalam jangka waktu 20 tahun ke depan.

RPJM Nasional
RPJM Nasional merupakan penjabaran visi, misi, dan program presiden yang penyusunannya berpedoman kepada RPJP Naional. RPJM Nasional memuat strategi pembangunan nasional, kebijakan umum, program kementrian/lembaga dan lintas kementrian/lembaga, kewilayah, dan lintas kewilayahan, serta kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal dalam rencana kerja yang berupa kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. RPJM Nasional memberikan gambaran apa yang hendak dicapai dalam dalam jangka waktu 5 tahun ke depan.
Rencana Kerja Pemerintah (RKP)
RKP Nasional merupakan penjabaran dari RPJM Nasional yang memuat prioritas pembangunan, rancangan kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal, program kementrian/lembaga, lintas kementrian/lembaga, kewilayahan dalam bentuk kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. RKP memberikan gambaran apa yang dicapai pada tahun berjalan (1 tahun).

RPJP Provinsi
RPJP Prov memuat visi, misi, dan arah pembangunan provinsi yang mengacu kepada RPJP Nasional. RPJP Prov memberikan gambaran apa hendak dicapai dalam 20 tahun ke depan.

RPJM Provinsi
RPJM Prov merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program gubernur yang penyusunannya berpedoman kepada RPJP Prov dan memperhatikan RPJP Naional. RPJP Prov memuat kebijakan keuangan prov, strategi pembangunan prov, kebijakan umum, dan program Satuan Kerja Perangkat Daerah Provinsi (SKPD Prov), dan program kewilayahan disertai dengan dengan rencana kerja dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifatindikatif. RPJM Prov memberikan gambaran apa yang dicapai dalam 5 tahun ke depan.

RKP Provinsi
RKP Prov merupakan penjabaran dari RPJM Prov dan mengacu kepada RKP Nasional. RKP provinsi memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas pembangunan daerah, rencana kerja, dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan pemerintah daerah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat. RKP Prov memberikan gambaran apa yang hendak dicapai dalam tahun berjalan.

RPJP Kab/Kota, RPJM Kab/kota, RKP Kab/kota
RPJP kab/kota, RPJM kab/kota, RKP kab/kota logikanya adalah sama dengan RPJP Prov, RPJM Prov dan RKP Prov, hanya berbeda di skala nya saja.

Kedudukan RTRW dalam Sistem Perencanaan Pembangunan
Perencanaan keruangan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, dimana dengan Undang-Undang ini secara administratif Perencanaan Tata Ruang diklasifikasikan menjadi Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRW-N), Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRW-P) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRW-K/K). Dalam Undang-Undang ini, khususnya pada penjelasan pasal 20 ayat 3 dan pasal 23 ayat 3, dinyatakan bahwa Rencana Tata Ruang merupakan matra spasial dari rencana pembangunan jangka panjang. Hubungan antara rencana tata ruang dan rencana pembangunan dinyatakan dalam beberapa pasal yang mendeskripsikan keterkaitan antara keduanya dalam logika yang inkonsisten, misalnya pasal 20 ayat 2 yang menyatakan bahwa RTRW-N menjadi pedoman penyusunan RPJP-N dan RPJM-N, sementara pasal 19 menyatakan bahwa RTRW-N memperhatikan RPJP-N. Inkonsistensi keterkaitan ini berlanjut pada pasal 22 dan 23 (hubungan antara RTRW-P dan RPJP-P dan RPJM-P) serta pasal 25 dan 26 (hubungan antara RTRW-K/K dan RPJP-K/K dan RPJM-K/K).
Implikasinya, meskipun seringkali dinyatakan bahwa perencanaan tata ruang merupakan matra spasial dari perencanaan pembangunan, dalam praktiknya sering ditemui potensi jarak / gap bahkan potensi distorsi antara perencanaan keruangan dan perencanaan pembangunan. Fakta mengenai hal ini seringkali ditemui pada saat diskusi pembahasan mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi/Kabupaten/Kota serta Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, dimana pembahasan tentang hubungan antara rencana pembangunan dan rencana tata ruang tidak dapat dijelaskan dengan memuaskan. Ketidakjelasan ini mengakibatkan sulitnya memberikan jawaban atas pertanyaan seberapa jauh rencana tata ruang dapat dioperasionalisasikan.
Persoalan lain yang timbul adalah bagaimana "teknik" untuk mengoperasikan kata "memperhatikan" dan "mengacu" sedemikian rupa sehingga terjadi keselarasan atau harmonisasi antara RPJP dan RPJM dengan RTRW. Harapannya adalah bahwa RPJP dapat bermetamorfosa dalam matra spasial dalam kurun 20 (dua puluh) tahun dalam bentuk RTRW. Peluang semacam ini menjadi semakin lebih besar jika RPJP memuat substansi sektoral sekaligus juga implikasi keruangannya dalam potongan-potongan skenario 5 (lima) tahunan. Hemat saya, bahwa RTRW adalah derivasi matra keruangan dari Rencana Pembangunan (RPJP dan RPJM), sehingga seyogyanyalah apabila pada tataran nasional maupun daerah harus terlebih dahulu menyusun RPJP dan RPJM, baru kemudian ditindaklanjuti dengan RTRW nya.

Hubungan RZWP-3-K dengan RTRW
Penyusunan RZWP-3-K diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Banyak yang berpendapat bahwa RZWP-3-K adalah setara dengan RTRW, dimana kalau RTRW lebih kepada urusan di daratan sedangkan RZWP-3-K berkaitan dengan keruangan di perairan lautnya (lex specialis). Lebih lanjut logika tersebut dijabarkan dalam implementasinya dimana sesuai definisinya yang tercantum dalam UU no 27 tahun 2007 dimana RZWP-3-K juga mensyaratkan dibuat struktur dan pola ruangnya, namun dengan pertimbangan sinergitas maka struktur dan pola ruang di bagian daratnya dari wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil disarankan untuk memakai struktur dan pola ruang yang sudah ada di dalam perda RTRW setempat. Baru struktur dan pola ruang untuk bagian perairannya disusun tersendiri dalam bentuk perda RZWP-3-K. Itupun pada kenyataan di lapangannya, adalah sangat sulit untuk menetapkan struktur ruang di perairan lautnya. Sehingga otomatis berkonsekuensi bahwa RZWP-3-K itu hanya memuat tentang pola ruangnya saja.
Pendapat hijau saya, bahwa RZWP-3-K yang merupakan perangkat pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah satu kesatuan dengan RTRW atau penyusunan RZWP-3-K ini akan mengacu kepada RTRW setempat, dimana akan berimplikasi terhadap peraturan daerah yang akan ditetapkan, yaitu walaupun dalam UU no 26 tahun 2007 dan UU no 27 tahun 2007 yang masing masing memerintahkan RZWP-3-K dan RTRW ditetapkan dalam bentuk peraturan daerah namun tetap lebih efisien dan efektif kalau ditetapkan dalam satu peraturan daerah saja. Persoalan yang akan mengemuka kalau Perda RZWP-3-K disatukan dengan Perda RTRW adalah dalam hal ketentuan umum atau pengertian-pengertian, karena ada beberapa ketentuan umum yang sama kata-katanya tetapi berbeda pengertiannya tergantung memakai pengertian yang disebutkan di dalam Undang-Undang No 27 tahun 2007 atau akan mengacu kepada Undang-Undang No 26 tahun 2007. Contoh substansi yang memiliki pengertian berbeda, salah satunya adalah untuk zonasi. Namun itu tidak akan menimbulkan masalah berarti, tinggal melengkapi kata zonasi itu sesuai konteksnya saja, misalnya ketika bicara zonasi menurut Undang-Undang no 26 tahun 2007, tinggal disebut lengkap menjadi zonasi daratan, begitu juga kalau berbicara zonasi menurut Undang-Undang no 27 tahun 2007, maka penyebutannya menjadi zonasi perairan.  

Bacaan:
Diposaptono, Subandono. 2011. Rencana Strategis WP3K. Makalah disampaikan pada acara Bimtek RZWP3K di Bandung, 02 Maret 2011
Nurcholis, Hanif. 2009. Perencanaan Partisipatif Pemerintah Daerah. Grasindo Jakarta. 173 hal


Sumber Hukum Kebijakan Perencanaan
Kedudukan RZWP3K dalam Undang-Undang No 27 tahun 2007
Kedudukan RZWP3K dalam Perencanaan Spasial dan Non Spasial


Jumat, 22 Juli 2011

Mencoba Steam Scallop Tausi di Jalan Pacenongan Jakarta

Sebelum masuk pintu salah satu restoran di Jln Pacenongan, kami dihadang aquarium berukuran panjang 1,5 meteran yang berisi seratusan scallop hidup atau orang kita ada yang menyebutnya kerang simping atau kerang kampak, kalau nama internasionalnya adalah Asian Moon Scallop atau latinnya Amusium pleuronectes, tentu langsung timbul bayangan bahwa di restoran ini menu spesialnya adalah menu dari scallop, tentu selain menu buburnya yang sudah terkenal lebih dahulu.
Kami pesan steam scallop tausi. Kalau tausi tentu kita kita sudah mengenalnya apalagi yang berasal dari kota Cianjur, tausi adalah tauco. Tidak berselang lama keluarlah menu yang kami pesan tersebut. Daging scallop sebesar kelereng berwarna keputihan disajikan di atas cangkang kerangnya. Untuk ukuran saya, ini artinya kalau makan scallop cuma untuk sekali suap saja. Tentu persoalannya adalah saya tidak bisa berlama lama memainkan lidah untuk mengecap bagaimana rasa sejadi dari menu scallop ini.
Scallop atau kerang kampak ini didapat dari perairan Kepulauan Seribu dan dari perairan sekitar Lampung, yang tidak jauh jauh amat dari Kota Jakarta. Sebelum dimasak, scallop ditempatkan disuatu tempat dengan air mengalir, dimana dengan metoda ini diharapkan segala kotoran yang menempel maupun yang ada di dalam tubuh scallop bisa terbuang keluar. Kemudian dimasak sesuai menu pesanan. Pesanan kami adalah steam scallop tausi, maka daging scallop itu dicampur dulu dengan tausi atau tauco dan sedikit minyak serta bumbu bumbu standar lainnya kemudian di steam bersamaan. Setelah masak, daging scallop ditaruh di atas cangkangnya kemudian ditaburi irisan cabe dan daun bawang serta bumbu-bumbu lainnya.
Nah, setelah saya suap dan rasakan di lidah dalam hitungan detik, yang dirasakan saya adalah sensasi rasa tauco dan pedasnya, kalau rasa scallopnya, itu sudah tidak tertinggal, hilang tertutup cabe dan tausi. Ohh... sayang, scallop seharga Rp 20 ribu per bijinya itu hanya terasa cabai dan tauconya saja.
Scallop atau Kerang Kampak atau Kerang Simping
Scallop ini Didatangkan dari Perairan Kep Seribu dan Lampung
Saya Pilih Menu Steam Scallop Tausi
Satu Porsi Steam Scallop Tausi, hanya untuk satu suapan saja

Rabu, 20 Juli 2011

Setelah Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) Dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK), Bagaimana Dengan ‘Izin Lokasi’ Penanaman Modal di Wilayah Perairan Laut?

Kita ketahui bersama bahwa Mahkamah Konstitusi melalui amar putusannya Nomor: 3/PUU-VIII/2010 tentang pembatalan pasal pasal yang terkait HP3 dalam Undang Undang No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil, lalu bagaimana dengan pengaturan lebih lanjut dari pemanfaatan ruang perairan/lautnya?
Di daratan, investor/penanam modal dimana sebelum menjalankan aktifitas usahanya memerlukan sebidang tanah, maka yang bersangkutan harus mengantongi izin lokasi terlebih dahulu. Izin Lokasi adalah izin yang diberikan kepada perusahaan auntuk memperoleh tanah yang diperlukan dalam rangka penanaman modalnya, yang berlaku pula sebagai izin pemindahan hak, dan untuk menggunakan tanah tersebut guna keperluan usaha penanaman modalnya. Izin lokasi ini diperlukan oleh suatu perusahaan untuk memperoleh tanah dalam rangka melaksanakan rencana penanaman modal yang dimilikinya.
Izin lokasi diberikan dengan menimbang bahwa pemberian izin lokasi tersebut pada dasarnya merupakan pengarahan lokasi penanaman modal sebagai pelaksanaan penataan ruang dalam aspek pertanahannya (Kepmen Agraria/Kep BPN No: 02 tahun 1999 tentang Izin Lokasi).
Di perairan laut sudah ada aturan dalam pengalokasian ruang sesuai peruntukannya yaitu dalam bentuk Rencana Zonasi Prov/Kab/Kota yang legalitasnya dalam bentuk Peraturan Daerah (tercantum dalam Undang-Undang No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau kecil). Alokasi ruang perairan laut tersebut dibagi menjadi: (1) Kawasan Pemanfaatan Umum, (2) Kawasan Konservasi, (3) Alur Laut, dan (4) Kawasan Strategis Nasional Tertentu (KSNT). Pembagian ruang perairan laut di atas dapat disetarakan dengan Pola Ruang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Prov/Kab/Kota. Pertanyaan berikutnya adalah apakah ada aturan setara izin lokasi bagi penanam modal yang akan melaksanakan usahanya di ruang perairan laut tersebut? Menurut hemat saya, setelah Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) dibatalkan, ‘izin lokasi’ untuk usaha di ruang perairan laut sudah tidak ada lagi. Padahal HP3 ini padanannya adalah ‘izin lokasi’ yang pada dasarnya merupakan pengarahan lokasi penanaman modal sebagai implementasi penataan ruang dalam aspek pemanfaatan perairannya. Yang ada kini, tinggal izin sektoral sesuai jenis usahanya yang ‘tidak berurusan’ dengan izin pemanfaatan ruangnya.
Izin lokasi ini sejatinya adalah garansi keamanan dan legal bagi pelaku usaha untuk dapat berkembang secara kontinyu, karena yang bersangkutan sudah menempati ruang sesuai dengan peruntukannya. Bagaimana kalau HP3 ini dimetamorfosa menjadi Izin Pemanfaatan Perairan Pesisir (IP3)?

Pengeboran Minyak Lepas Pantai yang Memanfaatkan Ruang Laut
Pengembangan Salah Satu Resort Bahari Di Papua, butuh izin lokasi?
Wisata Bahari Membutuhkan Ruang Laut
Resort yang Menempati Ruang Laut

Selasa, 19 Juli 2011

Apakah Diperlukan Penyusunan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Dalam Pelaksanaan Program MINAPOLITAN ?

Apabila kita lihat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan, Nonor : KEP.18/MEN/2011 tentang Pedoman Umum Minapolitan, maka ada banyak pasal dan ayat baik secara eksplisit maupun implisit yang menyatakan tentang perlunya Rencana Zonasi.  Yang menyatakan secara eksplisit adalah pada Bab IV huruf B, dimana disebutkan bahwa Rencana Zonasi sebagai prasyarat pelaksanaan Minapolitan, sedangkan yang implisit tentunya banyak pasal dan turunannya yang menyatakan tentang perlunya rencana Zonasi, seperti pada pengertian: pengembangan wilayah, pembangunan  berkelanjutan, keamanan investasi, pembangunan terintegrasi, dll.
Mari kita lihat bab dan pasal yang terkait dengan perlunya penyusunan Rencana Zonasi dalam Pedoman Umum Minapolitan.

Menimbang                    : a. …………dst
                               b. ………...dst

Mengingat            : 1. …………dst
2. …………dst
3. …………dst
4. …………dst
5.  Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739)
6.   …………dst
7.   …………dst
8.   …………dst
9.   …………dst
10. …………dst
11. …………dst
12. …………dst
13. …………dst

MEMUTUSKAN :

Menetapkan           : KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN TENTANG
                                PEDOMAN  UMUM MINAPOLITAN

KESATU               : …………dst

KEDUA                 : …………dst

KETIGA                : …………dst

KEEMPAT            : …………dst



BAB I PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
…………………………….……dst

B.   Tujuan
…………………………….……dst


C.   Pengertian
1.     …………………………….……dst
2.     Minapolitan adalah konsepsi pembangunan ekonomi kelautan dan perikanan berbasis kawasan berdasarkan prinsip-prinsip terintegrasi, efisiensi, berkualitas dan percepatan.
3.     …………………………….……dst
4.     …………………………….……dst
5.     …………………………….……dst
6.     …………………………….……dst
7.     …………………………….……dst
8.     …………………………….……dst

BAB II REVOLUSI BIRU DAN MINAPOLITAN
A.   REVOLUSI BIRU
…………………………….……dst

B.   MINAPOLITAN
…………………………….……dst

Dengan konsep Minapolitan diharapkan pembangunan sektor kelautan dan perikanan dapat dilaksanakan secara terintegrasi, efisien, berkualitas, dan berakselerasi tinggi.
1.     prinsip integrasi, diharapkan dapat mendorong agar pengalokasian sumberdaya pembangunan direncanakan dan dilaksanakan secara menyeluruh atau holistik dengan mempertimbangkan kepentingan dan dukungan stakeholders, baik instansi sektoral, pemerintahan pusat dan daerah, kalangan dunia usaha maupun masyarakat. Kepentingan dan dukungan tersebut dibutuhkan agar program dan kegiatan percepatan peningkatan produksi didukung dengan sarana produksi, permodalan, teknologi, sumberdaya manusia, prasarana yang memadai, dan system manajemen yang baik.
2.     prinsip efisiensi, pembangunan sektor kelautan dan perikanan harus dilaksanakan secara efisien agar pembangunan dapat dilaksanakan dengan biaya murah namun mempunyai daya guna yang tinggi. Dengan konsep minapolitan pembangunan infrastruktur dapat dilakukan secara efisien dan pemanfaatannya pun diharapkan akan lebih optimal. Selain itu prinsip efisiensi diterapkan untuk mendorong agar sistem produksi dapat berjalan dengan biaya murah, seperti memperpendek mata rantai produksi, efisiensi, dan didukung keberadaan faktor-faktor produksi sesuai kebutuhan, sehingga menghasilkan produk-produk yang secara ekonomi kompetitif.
3.     prinsip berkualitas, pelaksanaan pembangunan sektor kelautan dan perikanan harus berorientasi pada kualitas, baik sistem produksi secara keseluruhan, hasil produksi, teknologi maupun sumberdaya manusia. Dengan konsep minapolitan pembinaan kualitas sistem produksi dan produknya dapat dilakukan secara lebih intensif.
4.     prinsip berakselerasi tinggi, percepatan diperlukan untuk mendorong agar target produksi dapat dicapai dalam waktu cepat, melalui inovasi dan kebijakan terobosan. Prinsip percepatan juga diperlukan untuk mengejar ketinggalan dari negara-negara kompetitor, melalui peningkatan market share produk-produk kelautan dan perikanan Indonesia tingkat dunia.
…………………………….……dst




BAB III  KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN SEKTOR KELAUTAN DAN PERIKANAN DENGAN KONSEP MINAPOLITAN

A.   Arah Kebijakan
…………………………….……dst

B.   Asas Minapolitan
…………………………….……dst

C.   Basis Minapolitan
Minapolitan merupakan konsep pembangunan kelautan dan perikanan dengan pendekatan wilayah dengan struktur sebagai berikut:
1.     ekonomi kelautan dan perikanan berbasis wilayah di Indonesia dibagi menjadi sub-sub wilayah pengembangan ekonomi berdasarkan potensi sumber daya alam, prasarana dan geografi;
2.     kawasan ekonomi unggulan pada setiap provinsi dan kabupaten/kota dibagi menjadi beberapa kawasan ekonomi unggulan bernama minapolitan;
3.     sentra produksi pada setiap kawasan minapolitan terdiri dari sentra produksi dan perdagangan komoditas kelautan, perikanan dan kegiatan lain yang saling terkait;
4.     unit produksi/ usaha pada setiap sentra produksi terdiri dari unit-unit produksi atau pelaku usaha perikanan produktif.

D.   Tujuan Minapolitan
Minapolitan dilaksanakan dengan tujuan:
1.     meningkatkan produksi, produktivitas, dan kualitas produk kelautan dan perikanan;
2.     meningkatkan pendapatan nelayan, pembudidaya ikan, dan pengolah ikan yang adil dan merata; dan
3.     mengembangkan kawasan minapolitan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di daerah.

E.    Sasaran
1. …………………………….……dst
2.           a. …………………………….……dst
b. pemberian jaminan keamanan dan keberlanjutan usaha dan investasi
c. …………………………….……dst
d. …………………………….……dst
e. …………………………….……dst
3. …………………………….……dst

F.    Strategi Utama Pembangunan Sektor Kelautan dan Perikanan
1.   …………………………….……dst
2.   Mengelola sumberdaya kelautan dan perikanan berkelanjutan
3.   …………………………….……dst
4.   …………………………….……dst
5.    

G.   Strategi Minapolitan
1.    …………………………….……dst
2.    …………………………….……dst
3.    …………………………….……dst
4.    …………………………….……dst



5. Pengembangan sistem ekonomi kelautan dan perikanan berbasis wilayah.
Sasaran:

Sentra produksi dan kawasan-kawasan Minapolitan berkembang efisien dan berkelanjutan sesuai dengan potensi sumberdaya alam, ekonomi dan peruntukan ruang.

Kegiatan:
a.       melakukan zonasi berdasarkan potensi sumberdaya alam dan ekonomi wilayah-wilayah unggulan;
b.       penataan ruang sentra produksi dan kawasan minapolitan sebagai bagian dari tata ruang daerah dan nasional;
c.        integrasi pembangunan prasarana antar sentra produksi dan kawasan Minapolitan; dan
d.      penerapan konsep pembangunan berkelanjutan.
e.        mengembangkan konsep pembangunan berkelanjutan untuk menjamin keberlanjutan pembangunan ekonomi perikanan; dan
f.         mengembangkan dan menyalurkan paket-paket bantuan permodalan dan kegiatan pemberdayaan masyarakat.

…………………………….……dst


BAB IV PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN
A.   Karakteristik Kawasan Minapolitan
…………………………….……dst

B.   Persyaratan Kawasan Minapolitan
Suatu kawasan dapat ditetapkan sebagai kawasan minapolitan apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1.     Kesesuaian dengan Rencana Strategis, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan/atau Rencana Zonasi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) kabupaten/kota, serta Rencana Pengembangan Investasi Jangka Menengah Daerah (RPIJMD) yang telah ditetapkan;
2.     …………………………….……dst
3.     …………………………….……dst
4.     …………………………….……dst
5.     …………………………….……dst
6.     …………………………….……dst
7.     …………………………….……dst
8.     …………………………….……dst
9.     …………………………….……dst


BAB V TATA LAKSANA PENGEMBANGAN
A.   Prinsip Dasar
…………………………….……dst

B.   Peningkatan Produksi dengan Konsep Minapolitan
…………………………….……dst

C.   Pengembangan Kawasan Minapolitan
…………………………….……dst

Pengembangan Kawasan Minapolitan dilaksanakan dengan tata laksana sebagai berikut:
1.     Perencanaan
Perencanaan pengembangan Kawasan Minapolitan dilakukan berdasarkan persyaratan Kawasan Minapolitan sebagaimana diatur pada Bab IV dengan prosedur sebagai berikut:
a.  identifikasi keberadaan sentra produksi yang produktif dan mempunyai potensi untuk dikembangkan lebih lanjut melalui studi kelayakan;
b.  penetapan Kawasan Minapolitan dengan Keputusan Bupati/Walikota;
c.   penyusunan Rencana Induk Pengembangan Kawasan Minapolitan yang di dalamnya mencakup Rencana Pengusahaan dan Rencana Tindak;
d.  pengajuan Rencana Induk kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Pekerjaan Umum, tembusan kepada Gubernur dan Kementerian Dalam Negeri;
e.   proses perencaan melibatkan para pihak yang terkait, yaitu unsur-unsur pemerintahan, masyarakat, dunia usaha, dan perguruan tinggi.

2.     Pelaksanaan
…………………………….……dst

3.     Monitoring dan evaluasi
…………………………….……dst

4.     Pelaporan
…………………………….……dst


BAB VI KELEMBAGAAN
…………………………….……dst


BAB VII PENUTUP
…………………………….……dst

Jadi menurut hemat saya sih, sudah cukup jelas, bahwa rencana zonasi diperlukan untuk pelaksanaan program Minapolitan