Rabu, 31 Agustus 2011

Pak Suwarsono, Profil Nelayan Desa Jatimalang, Purworejo yang Tidak Mau Miskin

Panas membara dari pasir hitam yang diinjak adalah ciri khas lingkungan pantai Selatan Jawa utamanya di sekitaran Jogjakarta dan Purworejo, tidak menyurutkan nelayan desa Jatimalang, Purworejo untuk giat beraktifitas, mungkin hanya ketika datang musim gelombang tinggi yang menyurutkan nelayan untuk pergi melaut. Di Desa Jatimalang terdapat sekitar 30-an perahu kecil yang berukuran panjang x lebar = 5m x 1,10m. Perahu ‘kecil’ adalah sebutan masyarakat setempat untuk perahu yang terbuat dari bahan fiber, sedangkan perahu yang terbuat dari kayu dengan ukuran yang sama, disebut perahu compreng. Namun saat ini untuk mendapatkan kayu menjadi sulit maka perahu-perahu dibuat dari bahan fiber. Toch tidak kalah kekuatannya dibanding kayu. Perahu-perahu kecil ini tidak bisa melaut terlalu jauh, hanya di sekitaran pantai saja atau paling jauh 1 mil laut karena mesinnya hanya 5 pk saja. Ikan target tangkapan tergantung dari alat tangkap yang digunakan. Kalau jaring serang atau gill net, itu untuk menangkap ikan bawal, jenis rawe atau pancing biasanya untuk nangkap ikan pari. Ada lagi jaring untuk menangkap lobster, dll.
Pak Suwarsono memiliki satu unit perahu kecil yang dibeli dari baru dua tahun lalu. Harganya total sekitar 33 juta, yang terdiri dari harga perahuna sendiri Rp 12 juta, harga mesin tempelnya Rp 16 juta dan alat tangkapnya berupa jaring ‘serang’ atau gill net ukuran 40 pis komplit senilai Rp 5 juta. Pak Suwarsono giat melaut tiap hari berangkat jam 6 pagi dan pulang sekitar jam 01 siang. Satu perahu terdiri 3 nelayan atau dalam perahu Pak Suwarsono , selain Pak Suwarsononya sendiri juga dibantu 2 orang nelayan lainnya sebagai anak buahnya.  Setiap melaut membutuhkan biaya untuk bensin dan lauk pauk sekitar Rp 150 rb. Bagaimana dengan hasilnya? P Suwasono menjelaskan: ‘sulit memperhitungkannya’. Tapi yang jelas hasil ikan melaut itu dikurangi biaya melaut kemudian sisanya 50% untuk pemilik perahu (P Suwarsono) dan sisanya 50% dibagi dua untuk anak buahnya. Hasil melaut satu minggu lalu, perahu P Suwarsono mendapat menangkap 200 kg ikan pari dan dijual Rp 10 rb/kg atau mendapatkan Rp 2 juta, dan biasanya setiap melaut mendapatkan hasil Rp 500 rb s/d Rp 750 rb, namun pernah juga tidak dapat ikan sama sekali, yang artinya harus nombok untuk beli bensin dan lauk pauk. Tapi itu jarang terjadi. Jelas P Suwarsono yang sudah melaut sebagai nelayan sejak tahun 1999: ‘kalau mau berusaha, rejeki itu pasti ada’. Ekonomi keluarga Pak Suwarsono dibantu istrinya yang menjadi bakul ikan di dekat TPI mempunyai 2 anak. Mereka semuanya sekolah dengan baik. Rumah sudah layak huni, kendaraan roda dua juga mereka miliki dan walaupun tidak luas, keluarga Pak Suwarsono memiliki lahan sawah di desanya.  Pak Suwarsono sangat bersyukur karena laut dapat menghidupi keluarganya dengan layak
Perahu Kecil Milik Nelayan Jatimalang, Purworejo
Ikan Hasil Tangkapan Perahu P Suwarsono, Jatimalang, Purworejo
P Suwarsono beserta istrinya yang bersyukur karena laut masih menghidupinya

Selasa, 30 Agustus 2011

Sedapnya, Soto ‘Asli Lama’ Sokaraja

Kami setiap melewati Kabupaten Banyumas di jalur selatan Jawa Tengah, tidak lupa untuk mampir di warung soto khas Sokaraja yang banyak bertebaran disana. Warung soto yang rata-rata memiliki label yang sama antara satu dengan yang lainnya, yaitu warung soto ‘asli lama’. Kemudian untuk merk dagang masing-masing tinggal ditambahkan; Pak Suradi, Pak Marwadi, Kecik, dll. Memang, agak membingungkan warung soto mana yang ‘asli dan lama’ itu yang sebenarnya? Tapi itu tidak menjadi masalah, yang penting kami dapat menikmati soto Sokaraja.
Soto Sokaraja sangat khas dibanding soto-soto lainnya yang banyak dihidangkan di daerah Jawa Tengah ini. Soto Sokaraja adalah soto bening bukan soto santan seperti soto Betawi. Jadi tidak terlalu berat dan lebih segar. Daging sotonya ada dua acam, daging sapi atau daging ayam, tetapi soal bumbu dan kuahnya menggunakan racikan yang sama. Kami lebih suka dengan soto daging sapinya. Rasa daging sapi akan menyatu dengan rasa bumbu dari soto ini. Berbeda kalau menggunakan daging ayam, dimana antara rasa daging ayam dan bumbunya seolah kurang ‘menyatu’. Soto Sokaraja diramu dari bumbu-bumbu yang dihaluskan dan ada juga yang cara ditumis. Bumbu-bumbu itu adalah bawang putih, bawang merah, merica, kemiri, kunyit, jahe lengkuas, serai dan kecap manis. Bahan utama lainnya adalah soun yang telah lunak, kecambah/toge pendek, seledri, krupuk udang warna warni, dan sambal kacang. Soto Sokaraja disajikan dengan ketupat namun ada juga yang memilih dengan nasi. Kami pilih yang ‘asli dan lama’ saja yaitu dengan ketupat.
Ketika kami cicipi soto Sokaraja ini yang segera muncul di lidah ini adalah rasa segar dan rasa manis yang kuat dari kecap ditambah sensasi rasa dari kecambahnya yang ukuran porsinya cukup banyak dan sensasi rasa kerupuk yang sudah melepuh karena tenggelam dalam kuah soto kemudian ditambah rasa pedas dari sambal kacang.
Sungguh sedap soto Sokaraja yang seporsinya cukup 
Rp 12 ribu saja ini. Jangan lupa untuk mampir mencicipi soto Sokaraja, apabila melewati Banyumas.
Deretan Warung Soto 'Asli Lama' di Sokaraja,Banyumas
Salah Satu Warung Soto 'Asli Lama' di Sokaraja,Banyumas
Bahan Soto Sokaraja; Kecambah, Daging sapi/ayam, bumbu kacang dan kerupuk
Seporsi Soto Sokaraja =Rp 12 rb

Apa Perlunya Mudik?

Terutama mudik lebaran Idul Fitri, mudik dalam dekade terahir sudah menjadi fenomena tahunan. Pasar tradisonal maupun pusat-pusat perbelanjaan modern diserbu pembeli, permintaan akan barang-barang konsumsi meningkat sangat tajam, infrastruktur mudik seperti jalan raya dan lainnya, dibenahi secara besar-besaran dengan anggaran yang tidak sedikit, keamanan dan ketertiban masyarakat diperkuat di segala lini dengan pengerahan kekuatan kepolisian dan unsur lainnya, dan tidak kalah bergairahnya adalah berbagai liputan di bermacam media massa terhadap mudik ini. Seolah hidup ini hanya untuk memenuhi beberapa hari moment lebaran. Lebaran tu penting tapi jangan hanya untuk kemeriahannya semata.

Penomena Mudik
Mudik secara sosio-antropologi berasal dari kata ‘menuju udik’. Udik disini menunjukkan tempat tinggal yang jauh berada di desa-desa pedalaman.  Di Indonesia, mudik diawali oleh masyarakat suku Jawa dan Minang, dimana dari dua suku tersebut memiliki sistem budaya kekerabatan dan kekeluargaan yang sangat kuat. Bahkan bagi suku Jawa, sistem kekerabatan itu menjadi luas (Kindred) tidak hanya terbatas berdasar garis keturunan dari pihak bapak atau ibu saja. Tapi bisa dari pihak keluarga mertua atau dari saudara jauh. Setiap ada kesempatan, siapapun dia atau tidak/menjadi apapun (somebody or not), apabila dia menjadi urban maka dia tidak akan lupa akan keluarga besar dan kampung halamannya.
Mudik juga sangat terkait erat dengan proses industrialisasi yang terjadi di perkotaan Indonesia pada tahun 1970-an. Dengan berdampak terhadap munculnya dikotomi ‘kota-desa’. Pusat-pusat industri memilih basisnya di perkotaan dengan pertimbangan dari aspek infrastruktur dan administrasi yang memadai. Perkembangan seperti ini bisa mengambil contoh di kawasan Jabodetabek. Hal itu menjadikan kota menjadi sangat ekonomi dan membutuhkan banyak tenaga kerja serta membuka lapangan kerja baru terutama di sektor informal. Tenaga kerja ini banyak didatangkan dari desa-desa sekitaran Jawa dan Sumatera. Sayangnya, kecepatan pembangunan di perdesaan sangat lambat, tidak dapat mengimbangi pertumbuhan angkatan tenaga kerjanya. Sedangkan sektor pertanian desa yang menjadi basis ekonomi desa, memperlihatkan trend nilai tukar hasil pertanian kian tahun kian mernurun. Angkatan kerja baru tidak memiliki minat lagi untuk berkecimpung di sektor pertanian. Berbondong-bondonglah masyarakat perdesaan mengadu nasib di perkotaan.

Urbanisasi ke Kota
Ketimpangan ekonomi desa-kota, menciptakan arus urbanisasi yang tinggi. Allan Gilbert dan Josef Gugler (2007) mengklasifikasikan urbanisasi menjadi urbanisasi semu (pseudo-urbanization) dan urbanisasi berlebih (hyper-urbanization). Urbanisasi semu terjadi apabila individu pindah ke kota namun secara administratif masih terkait dengan wilayah asalnya sedangkan urbanisasi berlebih adalah kepindahan penduduk ke kota secara besar-besaran dan meninggalkan asesoris yang melekat dengan daerah asalnya. Pendapat tersebut kurang dapat menjelaskan fenomena urbanisasi yang terjadi di Jawa utamanya. Perpindahan penduduk dari desa ke kota secara besar-besaran namun tidak dapat meninggalkan sama sekali riwayat kedaerahannya. Castells dan Harvey (1973) memberi arahan bahwa untuk memahami dinamika perkotaan sebagai tujuan urbanisasi, perkotaan harus dipahami melalui konteks konflik kelas yang merupakan akibat langsung dari beroperasinya cara produksi kapitalis. Bentuk perkotaan, persoalan perkotaan, pemerintahan dan ideologi kota hanya dapat dipahami dalam dinamika sistem kapitalis. Lagi-lagi pendapat itupun belum dapat menjelaskan secara sempurna arti urbanisasi atau kontek mudik di Indonesia. Ketika individu berurbanisasi ke kota, artinya ekonomi kapitalis sudah melekat di perilaku kesehariannya namun secara sosiologis, individu tersebut tidak dapat sepenuhnya lepas dari budaya tradisional desa yang lebih bersifat agraris dengan sifat pemahaman yang tinggi terhadap budaya kekerabatan dan kekeluargaannya. Bagaimanapun ini akan sedikit membantu terhadapa kajian fenomena mudik di Indonesia.

Manfaat Mudik
Secara individual, mudik berarti memelihara silaturahmi kekeluargaan dengan handai taulan yang berada di desa. Komunikasi timbal balik dapat tersalur dengan baik antara persoalan kehidupan di desa maupun di kota baik secara individual maupun komunitas. Semua dapat didiskusikan dengan ‘adem’ karena terkat waktu puasa. Hasil silaturahmi ini adalah energi baru bagi kehidupannya untuk ‘bertempur’ kembali untuk mencapai kemajuan ekonominya apabila kembali lagi ke kota.
Secara perwilayahan, mudik memberi dampak positif yang besar bagi perkembangan ekonomi desa. Ekonomi desa menjadi bergairah dimana permintaan akan produk dan jasa dari desa tersebut meningkat tajam. Walau perlu disadari bahwa hal itu hanya bersifat insidental.

Jadi Bagaimana Dengan Mudik
Data terahir memperlihatkan bahwa jumlah pemudik dari kota-kota besar di Indonesia tahun 2011 mencapai sekitar 20 juta jiwa, terbanyak dari wilayah Jabodetabek dan Bandung. Kendaraan yang mudik mencapai 2 juta unit dimana tahun 2011 ini jumah pemudik yang menggunakan sepeda motor meningkat 13%. Jumlah yang tewas akibat kecelakaan saat mudik, tercatat 345 jiwa. Sungguh data-data yang mencengangkan, jumlah pemudik itu setara dengan jumlah total penduduk negara Malaysia atau 5 kali lipat jumlah penduduk negara Singapura. Angka yang tak terkira dibanding dengan moment ‘mudik’ di negara manapun. Lebih-lebih jumlah itu akan berjejal mudik secara berbarengan pada seminggu sebelum lebaran (H-7) dan seminggu sesudah lebaran (H +7). Sepertinya trend ke depan, pemudik akan semakin meningkat saja. Tahun 2011 ini meningkat 12% dari tahun sebelumnya, begitu juga akan terjadi kenaikan pada mudik lebaran tahun 2012 dan seterusnya. Saya bukan pesimis, melihat angka-angka tersebut, sampai kapanpun, persoalan mudik tidak akan bisa terpecahkan. Tidak mungkin dapat mengatur jumlah 20 juta pemudik pada mnggu yang sama. Tidak mungkin dapat menyiapkan infrastruktur jalan, jembatan dan moda angkutan seperti kereta api, kapal laut, pesawat terbang, bus dll untuk melayani sejumlah besar pemudik tersebut.
Benar mudik itu penting dan banyak manfaatnya namun perlu tidak memaksakan ego dengan ‘mesti’ mudik. Lihat sikonnya dulu.
Mudik dengan sepeda motor menjadi pilihan favorit karena 'murah'
Menumpang pickup-pun tidak masalah, yang penting bisa mudik
Mudik bareng lebih efisien, aman, dan murah

Selasa, 23 Agustus 2011

Peraturan Bupati Kubu Raya No 23 Tahun 2011 tentang Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP-3-K) Kabupaten Kubu Raya


SALINAN
PERATURAN BUPATI KUBU RAYA
NOMOR 23 TAHUN 2011


TENTANG
RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL (RSWP-3-K) KABUPATEN KUBU RAYA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI KUBU RAYA,

Menimbang






















Mengingat
:






















:
a.         Bahwa Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil 
       Kabupaten Kubu Raya memiliki keragaman 
       potensi sumber daya alam yang tinggi dan 
       sangat penting bagi pengembangan social ekonomi, 
       budaya dan lingkungan yang perlu dikelola 
     secara berkelanjutan berwawasan lingkungan dengan 
    tetap memperhatikan aspirasi dan partisipasi masyarakat
     dan tata nilai bangsa yang berdasarkan norma hukum;
b.         Bahwa untuk melaksanakan pengelolaan 
     secara berkelanjutan berwawasan lingkungan dengan 
    tetap memperhatikan aspirasi dan partisipasi masyarakat
      dan tata nilai bangsa yang berdasarkan norma hukum 
    dimaksud diperlukan adanya Rencana Strategis 
      sebagai arah kebijakan lintas sector dalam Pengelolaan 
     Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kabupaten 
     Kubu Raya;
c.         Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana 
       dimaksud pada huruf a dan huruf b di atas, 
      perlu ditetapkan Peraturan Bupati Kubu Raya 
   tentang Rencana Strategis Wilayah Pesisir 
   dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP-3-K) 
    Kabupaten Kubu Raya;

1.         Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419);
2.         Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);
3.         Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang  Nomor 32 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
4.         Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
5.         Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739);
6.         Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Kubu Raya di Provinsi Kalimantan Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 4751);
7.         Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);
8.         Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
9.         Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 16/MEN/2008 tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
10.     Peraturan Daerah Kabupaten Kubu Raya Nomor 2 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan Pemerintahan Kabupaten Kubu Raya (Lembaran Daerah Tahun 2008 Nomor 2);
11.     Peraturan Daerah Kabupaten Kubu Raya Nomor 8 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten Kubu Raya Tahun 2009 - 2014 (Berita Daerah Tahun 2009 Nomor 8);


MEMUTUSKAN :
 




Menetapkan

:


PERATURAN BUPATI TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL (RSWP-3-K) KABUPATEN KUBU RAYA



BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Bupati ini yang dimaksud dengan :
·       Daerah adalah Kabupaten Kubu Raya.
·       Pemerintah Daerah adalah Bupati dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
·       Bupati adalah Bupati Kubu Raya.
·       Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang tersedia.
·       Rencana Strategis adalah rencana yang memuat arah kebijakan lintas sektor untuk Kawasan perencanaan pembangunan melalui penetapan tujuan, sasaran dan strategi yang luas, serta target pelaksanaan dengan indikator yang tepat untuk memantau rencana tingkat nasional.
·       Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.
·       Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan ekosistemnya.
·       Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumber daya hayati, sumber daya nonhayati; sumber daya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lain; sumber daya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut; sumber daya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di wilayah pesisir.
·       Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disingkat (RSWP-3K) adalah rencana yang memuat arah kebijakan lintas sektor untuk Kawasanperencanaan pembangunan melalui penetapan tujuan, sasaran dan strategi yang luas, serta target pelaksanaan dengan indikator yang tepat untuk memantau rencana tingkat nasional.
0.    Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
1.    Ekosistem adalah kesatuan komunitas tumbuhtumbuhan, hewan, organisme dan non organisme lain serta proses yang menghubungkannya dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas.
2.    Perairan Laut adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh 4 (empat) mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, dan laguna.
3.    Kawasan adalah bagian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang memiliki fungsi tertentu yang ditetapkan berdasarkan kriteria karakteristik fisik, biologi, sosial, dan ekonomi untuk dipertahankan keberadaannya.
4.    Keterpaduan adalah proses pengelolaan sumberdaya pesisir yang mengintegrasikan antara kegiatan pemerintah, dunia usaha dan masyarakat, perencanaan horizontal dan vertical, ekosistem darat dan laut; pengetahuan/sains dan manajemen serta peraturan perundang-undangan.
5.    Berkelanjutan adalah pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan secara berkesinambungan berwawasan lingkungan dari generasi ke generasi.

BAB II
RUANG LINGKUP WILAYAH PERENCANAAN

Pasal 2

1)   Wilayah Perencanaan dalam Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP-3-K) Kabupaten Kubu Raya meliputi :
a.       Wilayah pesisir;
b.      Pulau-pulau kecil;
c.       Laut.
2)   Wilayah pesisir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi wilayah Kecamatan Batu Ampar, Kecamatan Kubu, Kecamatan Teluk Pakedai dan Kecamatan Sungai Kakap.
3)   Wilayah pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi pulau-pulau kecil yang berada di wilayah administrasi Kecamatan Batu Ampar, Kecamatan Kubu, Kecamatan Teluk Pakedai dan Kecamatan Sungai Kakap.
4)   Wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi perairan laut Kabupaten Kubu Raya.

BAB III
KERANGKA RENCANA STRATEGIS PEMBANGUNAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

Pasal 3

1)   Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP-3-K) ini meliputi visi dan misi, isu strategis, tujuan dan sasaran, strategis dan arah kebijakan, target dan indikator.
2)   Rencana Strategis sebagaimana dimaksud pada ayah (1) sebagaimana tercantum dalam lampiran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Bupati ini.

BAB IV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 4

Hal-hal yang belum diatur atau belum cukup diatur dalam Peraturan Bupati ini, sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Bupati.


Pasal 5

Peraturan Bupati ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bupati ini dengan  penempatannya dalam Berita Daerah Kabupaten Kubu Raya.









Ditetapkan di Sungai Raya,
Pada tanggal 2 Mei 2011


BUPATI KUBU RAYA

ttd

MUDA MAHENDRAWAN





Diundangkan di Sungai Raya,
Pada tanggal 9 Mei 2011


SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN KUBU RAYA

ttd

HUSEIN SYAUWIK

BERITA DERAH KABUPATEN KUBU RAYA
TAHUN 2011 NOMOR 23
 



Senin, 22 Agustus 2011

Pedoman Teknis Penyusunan Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil.

Latar Belakang

Undang Undang No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pada pasal 7 ayat 1 dan 3 mengamanatkan bahwa di dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus meliputi; perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian. Perencanaan itu sendiri terdiri dari 4 hirarki, yakni Rencana Strategis (RSWP-3-K), rencana Zonasi (RZWP-3-K), Rencana pengelolaan (RPWP-3-K) dan Rencana Aksi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RAWP-3-K). 

Struktur Pengelolaan Wilayah Pesisir sesuai UU no 27 th 2007

Hirarki Perencanaan Wilayah Pesisir

Rencana Strategis Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP-3-K) yang dimaksud adalah rencana yang memuat arah kebijakan lintas sektor untuk kawasan perencanaan pembangunan melalui penetapan tujuan, sasaran dan strategi yang luas, serta target pelaksanaan dengan indikator yang tepat.

RSWP-3-K merupakan dokumen perencanaan paling dasar yang harus dimiliki oleh entitas pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai panduan makro (hirarki tiga perencanaan lainnya/RZWP-3-K, RPWP-3-K, dan RAWP-3-K) bagi pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. RSWP-3-K disusun berlandaskan keterpaduan antar pemerintahan, antar instansi, swasta, dan masyarakat dengan strategi pelaksanaan rencana yang dirumuskan untuk mengarahkan implementasi rencana secara konsisten.

RSWP-3-K dalam Sistem Perencanaan Pembangunan

Untuk menjaga konsistensi pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sesuai RSWP-3-K, maka dokumen RSWP-3-K harus terintegrasi dalam sistem perencanaan pembangunan (UU no 25 tahun 2004) daerah dan dilaksanakan secara konsisten oleh masing-masing sektor, baik pusat maupun daerah.  Adopsi dan pelembagaan dokumen tersebut dilakukan dengan menjadikan dokumen RSWP-3-K sebagai input dalam penyusunan RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah), RKPD (Rencana Kerja Perangkat Daerah), Renstra SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah), dan Renja SKPD.

RSWP-3-K berlaku 20 tahun dan ditetapkan dalam Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota sesuai kewenangannya.

Sistematika Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

RSWP-3-K sedikitnya memuat dan disusun menurut sistematika sebagai berikut:
I.                  Pendahuluan
1.   Latar Belakang
2.   Maksud dan Tujuan
3.   Ruang lingkup
4.   Kedudukan RSWP-3-K dalam rencana pembangunan daerah
5.   Definisi dan Peristilahan
II.                Gambaran Umum
1.   Deskripsi Umum
2.   Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
3.   Pola Penggunaan Lahan dan Perairan
4.   Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
5.   Permasalahan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
III.            Kerangka Strategi Pengelolaan dan Pembangunan
1.   Visi dan Misi
2.   Isyu Strategis Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
3.   Tujuan dan Sasaran
4.   Strategi dan Arah kebijakan
5.   Target dan Indikator
IV.           Kaidah Pelaksanaan dan Pemantauan
V.              Daftar Pustaka
VI.           Lampiran

Prosedur Penyusunan RSWP-3-K

Tahapan penyusunan RSWP-3-K menrut Permen KP no 16 tahun 2008 tentang Perencanaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, adalah sbb:
Pembentukan kelompok kerja - Penyusunan Dokumen Awal  -  Konsultasi Publik  -  Penyusunan Dokumen Antara Konsultasi Publik  -  Perumusan Dokumen Final - Penetapan


Tahapan Penyusunan RSWP-3-K
Disarikan dari Buku:
Pedoman Teknis Penyusunan Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 2009. Direktorat Jendral Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kementrian Kelautan dan Perikanan. Jakarta

Gambar dikutip dari:
Subandono Diposaptono. 2010. Tahapan Penyusunan Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Makalah Disampaikan pada Bimtek ICM. Jakarta, Juli 2010





Minggu, 21 Agustus 2011

Heran Juga, Kok Nelayan dan Pembudidaya Ikan di Jogja Banyak yang Miskin?

Kemiskinan memang sudah menjadi fenomena. Ada hitam pasti ada putih, ada manis pasti ada rasa pahit, begitu juga kalau ada yang kaya pasti ada yang miskin. Sejak abad pertama masehi yang disebut kelompok orang miskin, itu sudah ada. Pada waktu itu ada istilah Humiliores  atau kaum rendahan yang terdiri dari orang-orang miskin karena berhutang dan orang-orang yang menjadi budak, tetapi ada sebaliknya juga, yaitu dengan istilah Honestiores atau berarti kelompok orang yang masuk strata bangsawan yang sudah pasti kelompok ini termasuk ke dalam kelompok masyarakat kaya.

Kemiskinan itu sendiri berdimensi komplek, sehingga banyak sekali pendapat tentang garis kemiskinan. Sajogyo menghitung garis kemiskinan berdasarkan kebutuhan kalori setara beras, Esmara menetapkan garis kemiskinan di perdesaan dan perkotaan dipandang dari sudut pengeluaran aktual untuk barang maupun jasa, sedangkan Bank Dunia punya hitung-hitungan sendiri untuk menentukan garis kemiskinan, dan pendapat-pendapat para ahli lainnya. Batas garis kemiskinan untuk setiap wilayah/ negara ternyata berbeda-beda, dimana sangat tergantung dari lokasi dan standar kebutuhan hidup.  Malah Soejono Soekanto  (1982) berpendapat bahwa: ‘ukuran-ukuran kemiskinan yang dirancang di pusat belum memadai sepenuhnya dalam upaya pengentasan kemiskinan secara operasional di daerah. Data-data kemiskinan di pusat tersebut malah dapat dijadikan kebijakan salah arah, karenan data tersebut tidak dapat mengidentifikasi kemiskinan sebenarnya yang terjadi di daerah dengan tataran mikro. Oleh sebab itu, selain data kemiskinan makro yang diperlukan dalam statistik nasional, perlu juga diperoleh data kemiskinan mikro yang spesifik daerah’. Namun demikian memang diperlukan standar nasional untuk menghitung garis kemiskinan, agar data kesimpulan tidak simpang siur sehingga akan menyulitkan bagi para pengambil keputusan. Badan Pusat statistik (BPS) menggunakan batas miskin dari besarnya rupiah yang dibelanjakan per kapita per bulan untuk memenuhi kebutuhan makanan (setara minimal 2100 kalori per hari) dan pengeluaran bukan makanan seperti sandang, perumahan, pendidikan dan kesehatan. Maka,  terlepas dari kelebihan dan kekurangannya,  garis kemiskinan yang kini berlaku dan menjadi acuan secara nasional adalah dari Badan Pusat statistik (BPS) yaitu sebesar Rp 233.740,- per kapita per bulan.

Pandangan kita sekarang ke arah yang lebih sempit yaitu tentang kemiskinan nelayan dan pembudidaya ikan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. D I Yogyakarta termasuk dalam kelompok lima besar dengan tingkat kemiskinan nelayan dan pembudidaya ikan (orang yang berusaha dalam bidang perikanan) tertinggi secara nasiona.  Kita lihat data dalam tabel berikut ini:

Tabel 1: Persentase orang miskin yang Berusaha di bidang perikanan. 2011
No
Provinsi
% miskin
1
Bengkulu
42,80
2
Papua
40,79
3
Papua Barat
40,17
4
Maluku
37,17
5
DI Yogyakarta
33,60
Sumber: Ritonga, 2011

Provinsi D I Yogyakarta berda di bawah Prov Bengkulu, Papua, Papua Barat, dan Maluku. Kok bisa ya? Kita lihat dulu data data perikanan dan kelautan Prov D I Yoyakarta tahun 2010 berikut ini:


Tabel 2: Statistik perikanan dan kelautan Prov D I Yogyakrata. 2009
No
Item
Satuan
1
Luas wilayah
3.185 km2
2
Jml Penduduk
1.726.664 jiwa
3
Kepadatan Penduduk
1.083,7 jiwa/
Km2
4
Produksi Perikanan Tangkap
5.100 ton
5
Jml RTP perikanan tangkap
3.543 RTP
6
Jumlah nelayan
2.224 orang
7
Pendapatan Nelayan
Rp   10.111.333 per tahun
8
Jml armada penangkap ikan
472 unit
9
Jml alat penangkap ikan
1.945 unit
10
Potensi luasan budidaya ikan
18.919,30 ha
11
Luasan Budidaya ikan
1.321,13 ha
14
Potensi produksi budidaya ikan
47.260,89 ton/th
15
Produksi budidaya ikan
20.105,46 ton
16
Pendapatan pembudidaya ikan
483.318.000
Rp/RTP/th
Sumber: Buku Pedoman Data Perikanan Dan Kelautan. DIY. 2010

Garis kemiskinan sebesar Rp 233.740/kapita/bln, dimana ybs adalah kepala rumah tangga dengan menanggung 4 orang lainnya yang terdiri dari istri dan 3 orang anak, maka garis kemiskinannya adalah setidaknya pendapatan dia harus sebesar Rp14.024.400/keluarga/tahun. Dari data pendapatan nelayan di atas menunjukkan memang rata-rata keluarga nelayan di Prov D I Yogyakarta masuk katagoro miskin, karena hanya menerima pendapatan rata-rata sebesar Rp 10.111.333/tahun.

Kita lihat lebih jauh lagi dengan data-data perikanan tangkap berdasarkan kepada kabupaten yang memiliki laut, adalah sbb:

Tabel 3: Jumlah nelayan Per kabupaten Di DIY. 2009
 No
Kabupaten
Jumlah nelayan
1
Gunung Kidul
1.490
2
Bantul
   291
3
Kulon Progo
   443

jumlah
2.22
Sumber: Statistik Perikanan Tangkap 2010


Tentang Produktifitas dan pendapatan nelayan DIY 2010

Tabel 4: Produktifitas dan pendapatan Nelayan DIY. 2009
No
Kabupaten
Produktifitas
Ton/nelayan/th
Pendapatan
Rp/nelayan/th
1
Gunung Kidul
2.180,94
6.623.000
2
Bantul
1.580,07
14.031.000
3
Kulon Progo
1.193,23
9.680.000
Sumber: Statistika Perikanan Tangkap DIY 2010

Sekarang kita lihat jenis kapal penangkap ikannya:


Tabel 5: Pendapatan Nelayan Di Kabupaten di DIY.2009
No
Kabupaten
Pendapatan Rp/nelayan/th
1
Gunung Kidul
-tanpa perahu
-perahu motor tempel
-kapal motor

   4.164.000
 19.800.000

45.120.000
2
Bantul
-tanpa perahu
-perahu motor tempel

  6.186.300

16.320.000
3
Kulon Progo
-tanpa perahu
-perahu motor tempel

  3.348.000

12.246.000
Sumber: Statistika Perikanan Tangkap DIY 2010

Dari data-data di atas menjadi sangat menarik, ternyata Kabupaten Gunung Kidul yang jumlah nelayannya hampir separuhnyanya dari jumlah nelayan Provinsi Yogyakarta, secara rata-rata masuk katagori miskin, namun pendapatan rata-rata antar nelayan Gunung Kidul sendiri disparitasnya sangat tinggi. Ini mengindikasikan bahwa jumlah nelayan ‘tanpa perahu’ di Kabupaten gunung Kidul berjumlah lebih dari separuh bahkan mendekati 75% dari jumlah nelayan yang ada di kabupaten itu. Karena jumlah nelayan kapal motor yang hanya 52 unit saja. Kondisi yang sama berlaku juga untuk Kabupaten Bantul, dimana penyumbang terbesar dari persentasi kemiskinan adalah dari nelayan tanpa perahu. Untuk Kabupaten Kulon Progo, hampir keseluruhan nelayan disana masuk dalam katagori miskin, baik nelayan tanpa perahu maupun nelayan perahu motor tempel

Sub kesimpulan untuk kemiskinan nelayan di Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sbb: 
  1. Disparitas pendapatan antar nelayan sangat tinggi 
  2. Nelayan tanpa perahu yang jumlahnya hampir 75% dari keseluruhan nelayan yang ada di Yogyakarta hampir seluruhnya masuk katagori miskin. 
  3. Pengentasan kemiskinan untuk nelayan Daerah Istimewa Yogyakarta adalah dengan cara meningkatkan kapasitas nelayan tanpa perahu menjadi nelayan perahu motor tempel atau malah menjadi nelayan kapal motor yang bisa menangkap ikan sampai di ZEE Indonesia.

Mari kita bicarakan tentang kemiskinan pembudidaya ikan di Provinsi D I Yogyakarta dengan data dasar dari statistika perikanan dan kelautan 2010:

Tabel 6: Pendapatan Pembudidaya Ikan berdasarkan jenis Kegiatannya di D.I.Y 2010
No
Jenis
kegiatannya
Rp/RTP/Th
1
Tambak
453.390.000
2
kolam
4.646.000
3
sawah
2.856.000
4
Bud Laut
-
5
Karamba
2.460.000
6
Jaring apung
14.940.000
7
Telaga
5.026.000
Sumber: Statistik Perikanan Budidaya DIY 2010

Mari kita lihat peluang pengembangan budidaya ikan di D.I Yogyakarta.

Tabel 7: Tingkat Pemanfaatan Potensi Budidaya Ikan di Prov D.I Yogyakarta.2010
No
Jenis usaha
% Pemanfaatanya
1
Tambak
10,61
2
Kolam
23,97
3
Mina padi
0,63
4
Karamba
2,50
Sumber: Statisti Perikanan Budidaya DIY 2010

Menganalisis kemiskinan di bidang usaha budidaya ikan adalah susah-susah gampang. Pasalnya para pelaku budidaya ikan ini umumnya bukan merupakan mata pencaharian utama, sehingga pendapatan dari budidaya ikan tidak dapat serta merta dijadikan ukuran untuk menentukan katagori miskin atau tidak. Namun demikian kalau diasumsikan bahwa sebagai pembudidaya ikan ini adalah mata pencaharian utama, maka para pelaku usaha perikanan budidaya tambak berada jauh sekali di atas garis kemiskinan yang baku. Tetapi pelaku jenis usaha ini di D.I Yogyakarta hanya 41 RTP saja, bandingkan dengan jumlah pembudidaya ikan yang ada di D.I Yogyakarta yang sebanyak 46.558 RTP. Artinya secara persentase tingkat kemiskinan orang yang berusaha di bidang perikanan tidak membawa pengaruh signifikan. Perikanan budidaya di D.I Yogyakarta masih cukup besar untuk dikembangkan, hal itu terlihat nyata dari tingkat pemanfaatannya yang baru mencapai 6,89% saja. Sangat kecil tingkat pemafaatannya. Namun perlu diingat pengembangan budidaya ikan yang memerlukan luasan lahan, tidak dapat dibantah lagi, pengembangannya akan bertabrakan dengan pemanfaatan lahan untuk usaha lainnya. Jalan yang terbaik adalah meningkatkan teknologi yang dapat memacu produktifitas lahan, sedangkan untuk usaha tambak, selain teknologi yang harus ditingkatkan, juga aspek permodalannya perlu mendapat dukungan dari pihak pihak yang kompeten. Jadi kesimpulan untuk kemiskinan di bidang usaha budidaya ikan di Prov D.I Yogyakarta adalah sebagai berikut:
  1. disparitas pendapatan antar pembudidaya ikan sangat tinggi sekali. Kelompok kecil sebagai petani tambak berpenghasilan jauh sekali di atas garis kemiskinan, sedangkan jensis usaha lainnya hampir seluruh pelakunya berkatagori miskin karenan pendapatannya sangat rendah. 
  2. Perlu peningkatan teknologi budidaya ikan agar produktifitasnya meningkat 
  3. Perlu dukungan permodalan terutama untuk usaha tambak karena usaha ini sangat padat modal.
Jadi bagaimana dengan persentase kemiskinan orang yang berusaha di bidang perikanan di Prov D.I Yogyakarta yang sebesar 33,60% atau sebanyak 16.391 orang dari jumlah keseluruhan nelayan dan pembudidaya ikan 48.782 orang? Kalau melihat data-data yang ada tadi, saya cukup yakin bahwa data itu benar adanya. Kita perlu kerja keras secara bersama-sama berusaha untuk mengentaskan kemiskinan mereka


Pustaka
  1. Buku Pedoman Data Perikanan dan Kelautan. Provinsi Daerah Istemewa Yogyakarta. Dinas Kelautan dan Perikanan Prov DIY. 2010. 160 hal. 
  2.  Profil Perikanan Tangkap Provinsi D.I Yogyakarta. 2009. Dinas Perikanan dan Kelautan DIY 
  3. Ritonga, Hamonangan. 2011. Data Kemiskinan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Makalah BPS pada Workshop Data Statistika Ditjen KP3K Kementrian Kelautan dan Perikanan. Jakarta 21 Juli 201 
  4. Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta 
  5. Statistik Perikanan Budidaya Tahun 2010. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi D. I Yogyakarta 
  6. Statistik Perikanan Tangkap 2010. Dinas Perikanan dan Kelautan D.I Yogyakarta