Sabtu, 26 Januari 2013

Batas Wilayah Pesisir di Beberapa Negara

Berdasar kepentingan dan fungsinya, batas wilayah dibagi menjadi 3 katagori, yaitu: (1) batas wilayah administrasi, seperti batas desa, kecamatan, kabupaten, dan provinsi, (2) batas wilayah ekologis, seperti: bioekoregion, DAS, hutan, dan pesisir. Batas ekologis wilayah pesisir adalah ke arah darat sampai batas pengaruh ekosistem laut dan ke arah laut sampai batas pengaruh ekosistem darat, dan (3) batas wilayah perencanaan. Dalam konteks perencanaan wilayah, batas wilayah pesisir antara satu negara dengan negara lainnya dapat berbeda-beda tergantung dari: biogeografi, karakteristik sumberdaya, karakteristik lingkungan, sosial ekonomi budaya, dan sistem / kebijakan pemerintahannya masing-masing. Indonesia menetapkan batas wilayah pesisirnya adalah ke arah darat sejauh wilayah administrasi kecamatan yang berbatasan dengan laut dan ke arah laut sejauh 12 mil. Di negara bagian California, Amerika Serikat, batas wilayah pesisirnya adalah; ke arah darat sejauh 1 km yang diukur dari garis RPT (Rata-rata Pasang Tinggi atau Mean High Tide) dan ke arah lautnya sejauh 3 mil laut yang diukur dari Garis Dasar (GD atau Coastal Baseline). Di negara China lain lagi, batas wilayah pesisirnya ke arah darat adalah 10 km dari RPT  dan ke arah laut adalah sampai kedalaman 10 meter. Berikut ini adalah contoh batas wilayah pesisir di beberapa negara:
1)    Indonesia
i)       Batas ke arah darat = batas wilayah administrasi kecamatan
ii)    Batas ke arah laut = 12 mil
2)    California
i)       Batas ke arah darat = 1 km
ii)    Batas ke arah laut    = 3 mil dari Coastal Baseline
3)    Washington State
i)       Batas ke arah darat = 61 meter
ii)    Batas ke arah laut = 3 mil dari Coastal Baseline
4)    China
i)       Batas ke arah darat = 10 km dari Rata-rata Pasang Tinggi
ii)    Batas ke arah laut = sampai kedalaman 15 meter
5)    Quennsland Australia
i)       Batas ke arah darat = 400 m dari garis Rata-rata Pasang Tinggi
ii)    Batas ke arah laut = 3 mil dari coastal Baseline
6)    Brazil
i)       Batas ke arah darat = 2 km dari Rata-rata Pasang Tinggi
ii)    Batas ke arah laut = 12 km dari Rata-rata Pasang Tinggi
7)     Ekuador
i)       Batas ke arah darat = tergantung kepentingan dan isu       pengelolaaannya 
ii)    Batas ke arah laut = belum ditentukan
8)     Costa Rica
i)       Batas ke arah darat = 200 m dari Rata-rata Pasang Tinggi
ii)    Batas ke arah laut = Garis Pantai pada Rata-rata Surut Rendah
9)    Spanyol
i)       Batas ke arah darat = 500 m dari Rata-rata Pasang Tinggi
ii)    Batas ke arah laut = 12 mil = batas teritorial
10)          Washington State
i)       Batas ke darat = 61 m
ii)    Batas ke arah laut = 3 mil dari Garis Dasar/Coastal Baseline.
Di Indonesia sendiri dengan penetapan batas wilayah perencanaan untuk wilayah pesisir ke arah darat sejauh batas administrasi kecamatan pesisir dan ke laut sejauh 12 mil memerlukan koordinasi dengan kegiatan perencanaan lainnya. Misalnya saja kabupaten Klungkung di Bali, dimana wilayah Kab Klungkung ini hanya terdiri dari kecamatan-kecamatan pesisir, yang artinya juga seluruh wilayah kab Klungkung ini adalah wilayah pesisir, apakah apabila kab Klungkung ini sudah menyusun RTRW-nya, berarti pula ‘tidak perlu’ lagi menyusun RZWP3K (Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil)-nya?
Wilayah Pesisir di Indonesia
 
Batas Wilayah Pesisir
 
Wilayah Perencanaan dan Wilayah Pesisir
 

  

 

Minggu, 20 Januari 2013

Banjir Jakarta, Penanggulangannya Melalui Penataan Ruang di Wilayah Hulu dan Rehabilitasi Wilayah Pesisirnya


Banjir di Jakarta ternyata sudah berlangsung sejak lama. Tahun 1654 tercatat Jakarta sudah dilanda banjir hebat padahal pada waktu itu wilayah Jakarta dan wilayah yang berada di atasnya masih berupa hutan dan perkebunan tanaman keras yang mana tidak perlu dipertanyakan lagi akan kemampuannya menyerap air hujan. Berbeda dengan saat ini, terjadi hujan kecil saja di dalam kota Jakarta, sudah pasti menimbulkan genangan-genangan air menyerupai banjir yang akan sangat mengganggu trasportasi, bisnis dan lainnya di ibu kota ini. Apalagi kalau terjadi curah hujan yang tinggi di Jakarta dan di wilayah di atasnya seperti di Bogor, Puncak, dan Cianjur, seperti yang terjadi pada bulan Januari 2013 ini.
Ada 13 sungai yang akan membawa limpasan air hujan (run off) menuju jakarta. Dan Jakarta tidak akan mampu menampungnya, ditambah lagi banjir di wilayah pesisirnya yang terjadi karena luapan air pasang laut atau rob. Banjir Januari 2013 khusus yang terjadi di Pluit dan wilayah pesisir sekitarnya adalah juga karena rob. Tidak heran pada waktu yang sama, apabila di wilayah lainnya di Jakarta, air banjirnya sudah mulai surut tetapi di Pluit malah semakin meninggi (Detik.Com, 20 Januari 2013). Jadi penyebab banjir Jakarta 2013 terjadi akibat:
1. Berkurangnya wilayah serapan air akibat konversi lahan pepohonan keras ke lahan terbuka dan bangunan-bangunan. Hal ini terjadi mulai dari wilayah muara sampai di hulu yang berada di kawasan Puncak,
2. Adanya penurunan muka tanah (land subsidence) Jakarta secara terus menerus,
3. Sedimentasi berat di 13 sungai yang melewati Jakarta,
4. Tekanan ledakan penduduk yang membutuhkan sarana prasarana dan sandang pangan yang kian meningkat, dan
5. Perubahan signifikan ekosistem pesisir di pantai utara Jakarta.

Sebagai contoh semakin menyusutnya daerah resapan air di wilayah Puncak (lihat gambar. 1) dimana pada tahun 1995, hutan primer, hutan skunder, dan perkebunan masih terlihat luas, namun 10 tahun berikutnya yaitu pada tahun 2005, luasan hutan primer, skunder, dan perkebunan sudah –berkurang banyak- yang beralih fungsi diantaranya menjadi pemukiman. Persoalan lain adalah adanya fenomena penurunan muka tanah (land subsidence) sekitar 4 - 6 cm/tahun ditambah lagi kenaikan paras muka air laut sekitar 0,8 cm/tahun, menjadikan wilayah Jakarta seperti cekungan besar yang menjadi genangan air raksasa. Sedimentasi hebat di 13 sungai yang semakin membuat dangkal sungai-sungai tersebut selain oleh mateil bawaan dari hulu dan tengah DAS, seperti lumpur dan pasir, ditambah lagi oleh sampah dan limbah padat dan cair yang dibuang sembarangan oleh masyarakat. sehingga sungai-sungai tersebut tidak dapat menampung debit air yang ada. Dan jangan lupa juga, bahwa adanya perubahan kondisi ekosistem pesisir yang terjadi di wilayah pantai utara Jakarta, akan menambah persoalan Jakarta seperti banjir. Tutupan mangrove di wilayah jakarta kini tinggal 20 hektar saja jauh dari ideal sebagai sabuk pengaman wilayah pesisirnya.
Persoalan banjir di Jakarta lebih kompleks dibanding dengan di Amsterdam. Banjir di Amsterdam hanya karena air pasang laut semata. Sehingga dengan membuat tanggul laut raksasa yang membentengi kota Amsterdam, selesai sudah persoalan banjir yang mengancam kota itu.
Jakarta memang mempunyai rencana untuk membuat tanggul raksasa yang disebut Jakarta Coastal Defence Strategy (JCDS) yang memanjang mulai Marunda sampai Dadap di Tanggerang, namun proyek ini perlu kajian lebih mendalam lagi terkait kebiasaan masyarakat kita yang suka membuang sampah sembarangan, mata pencaharian masyarakat pesisir dan ekosistem pesisirnya. Jangan sampai perairan dalam tanggul yang direncanakan, yang nantinya akan seperti laguna dimana air akan terperangkap yang tidak dapat leluasa keluar masuk, maka perairan dalam ‘laguna’ tersebut  akan mengalami sedimentasi yang luar biasa karena akan menjadi perangkap polutan padat maupun cair yang dibuang sembarangan oleh masyarakat dan tentunya dengan adanya tanggul raksasa tersebut juga merubah ekosistem pesisir yang akan mempengaruhi mata pencaharian nelayan dan pembudidaya ikan setempat. Pendapat saya, lebih praktis dan murah namun efektif dengan merahabilitasi hutan mangrove-nya saja. Jadi kalau mau mengurangi banjir di Jakarta secara signifikan, setidaknya harus memperhatikan:
1. RTRW di wilayah prov. Jawa Barat dan Prov.Banten, serta RTRW DKI Jakarta sendiri,
2. Daerah resapan air, dengan cara memperluas Ruang Terbuka Hijau atau RTH,
3. Merubah kebiasaan masyarakat dari kebiasaan buruk  dalam membuang sampah secara sembarangan,
4. Merehabilitasi ekosistem pesisir melalui rehabilitasi ekosistem mangrove.

Namun saya lebih dikhawatirkan dengan kebiasaan masyarakat kita yang cepat melupakan suatu kejadian. Jangan-jangan 2 minggu lagi persoalan banjir Jakarta sudah dilupakan dengan juga melupakan segala program pengendalian banjirnya karena masyarakat sudah harus menghadapi persoalan lain lagi. Jangan sampai persoalan banjir ditunda dulu baru tahun depan di buka lagi saat banjir yang lebih besar datang mernerjang Jakarta. Semoga tidak.
Gambar 1. Penyusutan Luasan Hutan dan Perkebunan sebagai daerah resapan air di Puncak
Land Subsidence di Jakarta
Rencana tanggul raksasa Pantura Jakarta atau Jakarta Coastal Defence Strategy
Luas Wilayah Banjir di Jakarta yang semakin meningkat
Simulasi wilayah Jakarta yang tenggelam pada 2040 akibat kenaikan paras muka air laut

Jumat, 18 Januari 2013

Banjir Jakarta 15 – 17 Januari 2013, akibat konversi dan Kerusakan lahan di Wilayah Serapan Air di Daerah Hulunya

Saya merasakan sendiri ketika pagi-pagi berangkat kerja di Jakarta dan setelah menempuh perjalanan dari Bogor ke Cawang Jakarta selama 4 jam dalam keadaan hujan ringan dan sedang, dan sesampainya di sekitaran Kebon Nanas Tol Wijoto Wiyono kendaraan banyak yang menepi ditambah lagi banyak motor yang masuk jalan tol, wah ada apa ini? Ternyata Jakarta dilanda banjir hebat, beruntung saya berada di jalan tol layang kalau berada di jalan arteri mungkin kejadian Februari 2007 dimana kami terjebak banjir di sekitaran Cempaka Mas sampai larut malam bisa terulang kembali.
Ada yang mengatakan banjir Jakarta tanggal 17 Januari 2013 ini lebih hebat dari banjir tahun 2007, setidaknya pendapat itu didukung dengan kenyataan bahwa Bundaran Hotel Indonesia yang menjadi landmark ibu kota DKI Jakarta sudah terendam banjir.
Kenapa bisa terjadi banjir seperti ini, salah satu faktor penyebabnya adalah konversi lahan serapan air yang berupa hutan, tegalan, sawah, dan perkebunan di daerah hulu sungai yang mengalir ke Jakarta atau di sekitaran Bogor telah berubah menjadi bangunan-bangunan beton, baik itu sebagai perumahan, pabrik atau bangunan infrastruktur lainnya. Bendung Katulampa di Bogor yang merupkan DAS Ciliwung yang dulunya berfungsi untuk membagi atau mendistribusikan air ke persawahan yang ada di sekitarnya yang mana berarti air yang akan mengalir ke hilir atau ke Jakarta akan berkurang karena digunakan untuk irigasi persawahan, kini air itu mengalir langsung ke Jakarta, belum lagi sungai-sungai itu yang harus menampung air limpasan air hujan (run off) dan limbah cair maupun padat dari perumahan, pabrik, dan bangunan yang menutupi tanah di sekitaran sepanjang sungai-sungai tersebut. Sehingga debit air di sungai-sungai itu semakin ke hilir sudah pasti akan semakin membesar tetapi tambah dangkal akibat sedimentasi. Ditambah lagi sempadan sungainya yang tidak terkelola dengan baik, jadilah banjir hebat di Jakarta.
hal yang harus diperhatikan agar banjir  di Jakarta tidak selalu terjadi setiap tahun adalah komitmen terhadap RTRW di daerah hulu (Puncak dan Bogor), daerah tengah (Cibinong sampai perbatasan Jakarta), dan di hilirnya sendiri (DKI Jakarta). Kalau tidak? Setiap tahun akan mengalami banjir terus bahkan akan semakin hebat.

(Sumber diantaranya: Kebijakan Jawa Barat dalam mendukung Pengelolaan Hulu-Hilir Teluk Jakarta. Forum Pimpinan Daerah dalam Pembangunan)
Banjir di Jakarta tahun 2007
Kondisi DAS Ciliwung, dari hulu ke hilir
Kondisi eksisting di DAS Ciliwing
Tutupan lahan di Jakarta
Konversi lahan di daerah Puncak
Faktor kerentanan wilayah DKI Jakarta
Selain komitmen terhadap RTRW juga perlu dilihat faktor lainnya

Rabu, 16 Januari 2013

Di Bogor, Anda Bisa Menginap di Rumah Tua Peninggalan Belanda

Sudah lama saya berkeinginan untuk bernostalgia menikmati suasana siang atau sore hari dengan ditemani hujan dengan suasana alam yang segar dan sunyi seperti halnya ketika kecil tinggal di kampung halaman. Bagaimana tidak? Kini hidup di kota dengan keseharian yang penuh ke hingar bingaran dan kesibukan. Suasana tenang dan tentram adalah sesuatu barang yang mahal dan susah didapatkan. Beruntung suatu hari, kami ada kesempatan untuk menginap di rumah tua peninggalan Belanda di Kota Bogor yang suasana lingkungannya seperti suasana nostalgia waktu di kampung dulu. Rumah tua yang dimaksud jangan dikonotasikan ke hal yang seram-seram, tapi rumah tua peninggalan jaman Belanda ini sudah dikelola secara profesional.
Siang menjelang sore dimana hujan turun dengan derasnya, kami duduk di teras rumah tua ini sambil ditemani secangkir teh manis panas. Di jalan depan rumah terasa sunyi hanya sesekali saja ada kendaraan lewat, kemudian di kanan kiri rumah tempat kami menginap-pun tak ada suara keramaian, malah suara kokok ayam yang sering terdengar. Suasananya benar-benar membuat jiwa ini sumringah. Nikmat sekali.
Rumah-rumah tua yang disewakan ini adalah peninggalan jaman Belanda sebagai tempat tinggal bagi para petinggi perusahaan perkebunan Belanda. Dibangun pada tahun 1800-an dengan gaya art deco yang tersebar berada di Jalan Sanggabuana, Jalan Ciremai, dan di jalan lainnya. Sebenarnya untuk ukuran kota Bogor, bangunan-bangunan rumah ini dapat dijadikan sebagai bangunan cagar budaya. Sebelum tergerus oleh kepentingan ekonomi. Karena kini sudah banyak bangunan-bangunan rumah art deco seperti ini yang berubah fungsi menjadi cafe, restorant, salon kecantikan, dan hotel dengan membongkar habis bangunan aslinya.
Untuk menginap di rumah Belanda ini dikenakan tarif Rp 650 ribu/kamar/malam. Saya kira sebanding dengan perasaan nostalgia dan senang yang didapat. Yuk ke Bogor

 

Senin, 14 Januari 2013

Peraturan Presiden No. 121 Tahun 2012 tentang Rehabilitasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil kaitannya dengan Konservasi Jenis Ikan

Dengan telah diterbitkannya Perpres No. 121 Tahun 2012 tentang Rehabilitasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setidaknya akan lebih menguatkan lagi tentang perlunya konservasi jenis ikan karena substansi dari Perpres ini tidak saja berurusan dengan rehabilitasi kewilayahan (daratan maupun laut) tetapi juga tentang rehabilitasi hayati. Konservasi jenis ikan sendiri, perlu dilakukan terkait dengan kelestarian lingkungan, keseimbangan alam, dan keberlanjutan sebagai penyedia pangan. Dalam Perpres tersebut banyak sekali pasal yang menyatakan perlunya rehabilitasi populasi ikan walaupun tidak secara spesifik menyebut jenis ikan. Pengertian ikan disini adalah pengertian yang digunakan dalam Undang-Undang Perikanan, yaitu: segala jenis organisma yang seluruh atau sebagian siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan. Sedangkan konservasi jenis ikan adalah upaya melindungi, melestarikan, dan memanfaatkan fungsi ekosistem sebagai habitat penyangga kehidupan sumber daya ikan pada waktu sekarang dan yang akan datang.

Pasal 2 dan seterusnya dalam Perpres No 121 Tahun 2012 tersebut dinyatakan sebagai berikut; Rehabilitasi dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan orang yang memanfaatkan secara langsung atau tidak langsung wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilakukan terhadap (salah satunya) populasi ikan.  Rehabilitasi dilakukan berdasarkan kriteria:  kerusakan ekosistem dan populasi dan kerusakan populasi ditentukan berdasarkan kerusakan hayati sedangkan kerusakan hayati yang dimaksud meliputi laju penurunan populasi melebihi kemampuan alam untuk pulih, bisa juga dengan adanya penurunan dan/atau hilangnya daerah pemijahan (spawning ground), daerah pembesaran (nursery ground), serta daerah pencarian ikan (feeding ground).

Pelaksanaan rehabilitasi dilakukan dengan cara: (1) pengayaan sumber daya hayati, (2) perbaikan habitat, dan (3) perlindungan spesies biota laut agar tumbuh dan berkembang secara alami. Pengayaan sumber daya hayati dilakukan melalui: (1) penebaran benih atau restocking dan (2) pembuatan habitat buatan. Sedangkan perlindungan spesies biota dilakukan dengan cara: (1) penyediaan dan/atau perlindungan daerah pemijahan (spawning ground), daerah pembesaran (nursery ground), serta daerah pencarian makan (feeding ground), (2) penyuluhan dan penyadaran masyarakat, (3) pengawasan, dan (4) penegakan hukum terhadap pelaku kerusakan.

Berbicara rehabilitasi populasi ‘ikan’, tentu yang sudah banyak dilakukan adalah terhadap terumbu karang, mangrove dan lainnya. Sedangkan kajian tentang populasi bambu laut (Iris hippuris) masih sedikit, padahal tingkat kerusakan populasi bambu laut  terutama di wilayah Sulawesi sudah pada tahap menghawatirkan.

Bambu laut (Iris hippuris) yang penyebarannya banyak di daerah Sulawesi, hidupnya secara berkoloni dan berasosiasi dengan terumbu karang. Sekarang populasi bambu laut sudah menurun drastis akibat dari permintaan yang naik tajam. Saat ini Sulawesi dapat memenuhi permintaan bambu laut sekitar 5000 ton per tahun. Bambu laut banyak diekspor ke China, Jepang, Eropa, dan amerika untuk bahan kosmetika, obat-obatan, dan perhiasan. Bambu laut basah nilainya Rp 3000/kg di tingkat nelayan. Pengambilan bambu laut yang berasosiasi dengan karang dilakukan secara sembrono dengan cara dicungkil memakai linggis atau parang, sehingga tidak saja merusak bambu lautnya tetapi juga terhadap terumbu karang tempat dimana bambu laut berasosiasi.

Langkah pertama tindakan rehabilitasi terhadap populasi bambu laut ini adalah menetapkan status perlindungannya. Sebagaimana diketahui, bambu laut sampai saat ini belum memiliki status perlindungan baik secara nasional maupun internasional (CITES dan IUCN). Memang ada beberapa daerah yang sudah memiliki peraturan pelarangan pengambilan bambu laut, seperti Pemda Prov Gorontalo dengan Perda No. 01 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Pesisir secara Terpadu. Bambu laut dapat diberikan status perlindungan secara terbatas, yang artinya masih boleh diperdagangkan kalau bambu laut-nya merupakan hasil budidaya atau F2-nya. Setelah diberikan status perlindungannya, baru bambu laut direncanakan dan dilaksanakan rehabilitasinya dengan memperhatikan tahapan-tahapan seperti yang dimuat dalam Perpres No. 121 Tahun 2012 tersebut. Dengan demikian pemanfaatan bambu laut dapat dilakukan secara lestari.
Bambu laut atau Iris hippuris


Iris hippuris hidup berkoloni
Bambu laut hidup berasosiasi dengan terumbu karang

Habitat bambu laut yang perlu direhabilitasi

Sabtu, 12 Januari 2013

Neraca Sumberdaya Alam dan Jasa Lingkungan Sebagai Instrumen Utama Pengambilan Keputusan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil

Berapapun luasan dari pulau kecil, dipastikan disana memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan. Perhitungan neraca sumberdaya alam dan jasa lingkungan (NSAL) atau valuasi ekonomi atau Natural Resources and Environmental Accounting (NREA) perlu dilakukan sehingga secara politis dan ekonomi akan mampu membuat rencana pengelolaan pulau-pulau kecil tersebut lebih baik dan akurat. Neraca sumberdaya alam dan lingkungan atau NSAL adalah penilaian ekonomi SDA dan lingkungannya secara menyeluruh yang disusun secara stock dan flow untuk pengelolaannya secara berkelanjutan. Dengan NSAL akan diketahui berapa kapasitas volume SDA dan lingkungannya di suatu gugusan pulau-pulau kecil sehingga pengelolaannya dapat berkelanjutan atau terhindar dari diplisi atau juga salah satu contohnya adalah tidak terjadi over fishing di daerah tersebut yang pada ahirnya akan dapat menjaga kesejahteraan masyarakatnya.
NSAL sendiri dimulai tahun 1980-an oleh Robert Reppeto dan kini negara Norwegia sudah mengaplikasikannya dalam perencanaan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan yang dimilikinya bahkan Kantor Statistik PBB (United Nations Statistical Office) sudah mengaplikasikannya.
Kajian NSAL pulau-pulau kecil seyogyanya dilakukan terhadap gugusan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya atau secara clustering tidak hanya terhadap satu pulau (single island) sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. PER.20/MEN/2008 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan Perairan sekitarnya. Pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya adalah kumpulan pulau kecil beserta perairannya yang memiliki kesatuan ekologis dan/atau ekonomis. Kemudian dalam pasal 2 dst disebutkan bahwa pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya dilakukan dengan memperhatikan aspek:
a.    Keterpaduan antara kegiatan Pemerintah an pemerintah daerah, antar pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat dalam perencananaan dan pemanfaatan ruang pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya;
b.    Kepekaan/kerentanan ekosistem suatu kawasan yang berupa daya dukung lingkungan, dan sistem tata air suatu pulau kecil;
c.    Ekologis yang mencakup fungsi perlindungan dan konservasi;
d.    Kondisi sosial dan ekonomi masyarakat;
e.    Politik yang mencakup fungsi pertahanan, keamanan, dan kedaulatan NKRI;
f.    Teknologi ramah lingkungan; dan
g.    Budaya dan hak masyarakat adat, masyarakat lokal, serta masyarakat tradisional.

Sebagai sebuah kajian ekonomi komprehensif terhadap sumberdaya alam dan jasa lingkungan pulau-pulau kecil, seharusnya dilakukan valuasi ekonomi terhadap seluruh nilai ekonomi yang menjadi atributnya. Namun, perhitungan NSAL secara komprehensif memerlukan biaya, tenaga, dan waktu yang sangat besar. Untuk itu kajian NSAL dapat menggunakan pendekatan secara sederhana yang bersifat praktis, langsung, dan sederhana. Secara sederhana formulasi perhitungan Nilai Ekonomi Total (NET) dari SDA dan jasa lingkungannya pulau-pulau kecil adalah:
NET = (NGL + NGTL + NP) + (NW +NK) atau
NET = (Nilai Guna Langsung) + (Nilai Non Guna Langsung atau pasif)
Dimana:
NET    =  Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value)
NGL   =  Nilai Guna Langsung (Direct Use Value)
NGTL =  Nilai Guna Tidak Langsung (Indirect Use Value)
NP      =  Nilai Pilihan (Option Value)
NW    =  Nilai Warisan (Bequest Value)
NK     =   Nilai Keberadaan (Existence Value)

Secara umum satuan-satuan tersebut dapat diberi penjelasan sbb;
Nilai Guna Langsung sumberdaya alam dan jasa lingkungan pulau-pulau kecil seperti: perikanan, tanaman, kayu, peternakan, perburuan, wisata, research, pendidikan, pertahanan keamanan,
Nilai Guna Tidak Langsung, seperti: pelestarian untuk terumbu karang, mangrove, hutan, spesies endemik; pengatur iklim; pengatur hidrologi, pengendali abrasi pulau besarnya; pemrosesan limbah; penyedia bahan makanan; penyedia bahan baku; penyedia sumberdaya genetik; budaya; perekat NKRI.
Nilai Pilihan (NP), seperti: keaneka ragaman hayati (biodiversity)
Nilai Keberadaan, seperti: legal fishing, illegal fishing, legal logging, illegal logging, smuggling, trafficking, akses masyarakat ke pulau kecil

Penyusunan NSAL pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya dapat disajikan dalam dua cara yaitu: (1) neraca fisik yang menggambarkan perubahan kuantitas setiap jenis SDA dan jasa-jasa lingkungan yang dimiliki pulau kecil tersebut, tingkat diplisi dan rasio stock terhadap diplisi guna mengetahui umur pemanfaatannya, dan (2) neraca moneter untuk penerimaan dari SDA dan jasa lingkungan yang dimiliki pulau kecil tersebut. Sementara itu secara nasional, neraca moneter apabila diintegrasikan dengan neraca ekonomi akan dapat diukur dampak diplisi dan degradasi lingkungan tehadap pendapatan nasional.
Daerah-daerah kepulauan atau yang memiliki gugusan pulau-pulau kecil disarankan untuk menyusun NSAL-nya agar memiliki informasi stock kapital sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungannya, tingkat eksploitasi/pemanfaatannya dan tingkat perubahannya, informasi tersebut dibutuhkan untuk perhitungan umur pemakaian sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungannya dan pengelolaan secara berkelanjutan dari pulau-pulau kecil tersebut.
Kajian NSAL pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya tidak hanya digunakan sebagai dasar perencanaan pengelolaan ppk dan perairan di sekitarnya jangka panjang, tetapi juga untuk memecahkan masalah-masalah jangka pendek yang mendesak. Namun perlu disadari bahwa kajian NSAL tidak akan secara langsung memecahkan masalah sumberdaya alam dan lingkungannya, tetapi akan memberikan informasi dasar dan kriteria penilaian serta alat operasional untuk memecahkan masalah sumberdaya alam dan lingkungannya sehingga pengelolaan yang salah satunya adalah aspek pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya akan lebih efisisen dan bijaksana.

Berapapun luasnya pulau kecil, pasti memiliki potensi SDA
Potensi jasa jasa lingkungan seperti untuk pariwisata
Potensi sumberdaya alam hayati
Lingkungan pulau kecil
Budaya di pulau kecil
Jasa transportasi di pulau kecil
Pemukiman di pulau kecil
Infrastruktur di pulau kecil
Perhitungan jasa lingkungan di pulau kecil
banyak pulau pulau kecil yang menunggu dikelola secara efisien, bijaksana, berkelanjutan

 

Jumat, 11 Januari 2013

Rencana Zonasi Wilayah Pesisir harus Mengalokasikan Ruang untuk Ruaya Mijah Ikan yang Dilindungi

-->
Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) adalah alokasi ruang di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (WP3K) sesuai peruntukannya dengan memperhatikan pola dan struktur ruangnya. Secara umum ruang di WP3K di tingkat prov/kab/kota dialokasikan untuk kawasan pemanfaatan umum, kawasan konservasi, alur laur, dan kawasan strategis nasional tertentu (KSNT). Dimana dalam KSNT lebih ditekankan untuk mengskomodir alokasi ruang untuk pertahanan –keamanan, situs warisan dunia, dan lingkungan hidup. Salah satu wilayah pesisir yang masuk katagori KSNT ini adalah pulau-pulau kecil terluar (PPKT). Berbagai aspek fungsional maupun struktur harus dipertimbangkan untuk penyusunan RZWP-3-K di tingkat prov/kab/kota, belum lagi sebagaimana kita ketahui bersama bahwa WP3K itu adalah wilayah dengan keanekaragaman hayati (biodiversity) yang tinggi. Di beberapa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, tidak sedikit yang memiliki spesies ikan endemik , seperti ikan banggai kardinal di pesisir Sulawesi Selatan, Sidat (Anguila sp) di pesisir Sulawesi Tengah, terubuk (Tenualosa macrura) di pesisir provinsi Riau dan masih banyak lainnya. Namun demikian, tidak sedikit spesies ikan di WP3K sudah katagori langka karena laju kepunahannya (extinction rate) yang tinggi. Kalau ada salah satu spesies punah, itu artinya mata rantai makanan pada level tropiknya akan terputus dan itu berarti keseimbangan alam akan terganggu yang ahirnya akan mengancam kelangsungan kehidupan kita semua.  International Union for Conservation of Nature (IUCN) sebuah organisasi dunia yang mendedikasikan diri dalam konservasi sumberdaya alam membuat katagori terhadap spesies, menjadi:
1.    Punah (Extinct; EX),
2.    Punah di alam liar (Extinct in the wild; EW),
3.    Kritis atau sangat terancam punah (Critically Endangered; CR),
4.    Terancam (Endangered; EN),
5.    Rentan (Vulnerable; VU),
6.    Resiko rendah (Low Risk; LR),
7.    Tergantung konservasi (Conservation Dependant; CD),
8.    Hampir Terancam (Near Treatened; NT),
9.    Resiko Rendah (Least Concern; LD),
10.                       Data Kurang (Data Deficient; DD),
11.                       Tidak dievaluasi (Not Evaluated; NE),
12.                       Tidak diketahui (Not Recognized; NR),
13.                       Kemungkinan punah (Possibly Extinct; PE), dan
14.                       Kemungkinan punah di alam liar (Possibly Extinct in the Wild; PE).

Salah satu spesies ikan di WP3K yang sudah katagori dilindungi dan perlu diakomodir dalam alokasi ruang wilayah pemijahan (spawning ground), wilayah ruaya mijah, dan wilayah pembesarannya / yang selalu melekat sebagai wilayah penangkapan ikannya (fishing ground),  adalah ikan terubuk (Tenualosa macrura) yang endemik provinsi Riau, khususnya di kabupaten Bengkalis, Meranti, dan Siak. Ikan terubuk ini banyak ditangkap untuk telurnya seperti halnya ikan caviar di Eropa. Status perlindungan terbatas untuk ikan terubuk sudah diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor: Per.59/Men/2011. Ikan terubuk memiliki sifat mijah anadromi. Anadromi adalah menetaskan telur di air tawar, kemudian bermigrasi ke laut untuk menjadi ukuran dewasa dan kemudian kembali lagi ke air tawar untuk bertelur. Spesies ikan yang memiliki sifat anadromi lainnya adalah ikan salmon.  Lawan anadromi adalah katadromi. Katadromi adalah sifat mijah ikan dimana bertelur di perairan laut kemudian tumbuh dewasa di perairan tawar dan kembali lagi ke perairan laut untuk bertelur. Jenis ikan yang memiliki sifat katadromi adalah salah satunya ikan sidat (Anguila sp).

Sifat-sifat biologis ikan terubuk yang membutuhkan kepastian ruang untuk ruaya, mijah, dan tumbuh jadi dewasa, perlu diakomodir dalam RZWP-3-K  provinsi Riau. Kenapa harus juga diatur di level provinsi tidak hanya dalam RZWP-3-K kab Bengkalis? Karena ikan terubuk tumbuh besar di wilayah selat Bengkalis yang masuk wilayahnya kab Bengkalis, kemudian masuk ke sungai Siak untuk bertelur. Bertelurnya sungai Siak yang masuk wilayah kab Siak, tetapi sebelumnya, ikan terubuk ini harus melewati sungai Siak yang masuk wilayahnya kab Meranti, begitu juga ketika juvenil ikan terubuk beruaya menuju perairan laut Kab bengkalis, harus melewati wilayah kab Meranti juga. Karena mencakup 3 kabupaten maka alokasi ruang dan pengaturannya selain di masing-masing 3 kabupaten tersebut juga harus diatur dalam RZWP-3-K provinsi Riau. Namun, perlu dingat juga bahwa kabupaten Meranti dan kab Siak bukan wilayah pesisir dan tentu mereka tidak punya wilayah laut,  sehingga  untuk kedua kabupaten tersebut, alokasi ruang dalam bentuk RTRW kabupaten  dan konteks konservasinya menggunakan kaidah Undang-Undang Perikanan. Wilayah-wilayah yang menjadi daerah pemijahan, ruaya, dan pembesaran ikan kerapu harus masuk dalam kawasan konservasi di masing-masing tiga kabupaten tersebut dan dalam alokasi ruang untuk kawasan konservasi dalam RZWP-3-K provinsi Riau. Sampai saat ini untuk daerah pemijahan ikan terubuk di kab Siak belum ada regulasi konservasinya begitu juga di kab Meranti, tetapi di kab Bengkalis, melalui Peraturan Bupati Bengkalis No.15 tahun 2010 telah menetapkan daerah pembesaran dan jalur ruaya ikan terubuk sebagai wilayah suaka perikanan. Memang yang dibutuhkan dalam rangka menjamin ikan terubuk ini dapat berkembang biak dengan baik adalah adanya jalur ruaya atau fish way, selain tempat pemijahan dan pembesarannya yang dituangkan dalam alokasi ruang dalam kawasan konservasi di RZWP-3-K prov Riau maupun RTRW provinsi dan kabupaten.
Kiranya regulasi perlindungan ikan terubuk akan lebih efektif kalau disertai dengan regulasi alokasi ruang untuk mengakomodir sifat-sifat biologis ikan terubuk itu sendiri.
Selat Bengkalis di Riau tempat ikan terubuk
Sungai Siak tempat ikan terubuk beruaya dan mijah
Peta Spawning Ground ikan terubuk di Sungai Siak
Hirarki RZWP-3-K
Ikan terubuk yang bersifat anadromy
Sidat yang bersifat katradomy
Kriteria red list IUCN