Jumat, 26 Juli 2013

Ikan Napoleon Wrasse di Indonesia Sudah Berstatus Dilindungi

Regulasi tentang Penangkapan Ikan Napoleon Wrasse
Sejak tahun 1990-an, permintaan dunia akan ikan napoleon meningkat drastis dengan harga jauh di atas ikan karang lainnya. Akibatnya, segala jalan dilakukan untuk menangkap ikan napoleon sebanyak-banyaknya, bahkan dengan cara-cara penangkapan yang bersifat merusak, seperti menggunakan sianida, bom, dan lainnya. Cara-cara penangkapan seperti ini bersifat sangat merusak ekosistem terumbu karang dimana habitat ikan napoleon berada. Selain menyebabkan kerusakan terhadap ekosistem terumbu karang tu sendiri, juga merusak perikanan karang lainnya, seperti ikan kerapu, lobster, dan banyak jenis yang lainnya. Populasi ikan napoleon-pun di perbagai perairan Indonesia merosot tajam. Beberapa kejadian di atas telah menjadi sorotan dunia secara serius. Atas dasar populasi ikan napoleon yang terus menurun dan ekses kerusakan habitat yang ditimbulkan oleh cara-cara penangkapan ikan yang merusak, dikeluarkanlah Keputusan Menteri Pertanian Nomor 375/Kpts/IK.250/5/1995 tentang larangan penangkapan ikan napoleon wrasse, dimana saat itu, Direktorat Jenderal Perikanan masih berada di Departemen Pertanian. Departemen Perdagangan pada tahun yang sama pula, mengeluarkan keputusan Nomor 95/EP/V/95 tentang larangan ekspor ikan napoleon wrasse, kecuali atas seijin Menteri Pertanian. Setahun kemudian Direktorat Jenderal Perikanan mengeluarkan keputusan sebagai tindak lanjut dari Keputusan Menteri Pertanian di atas. Keputusan tersebut dengan Nomor HK.330/Dj.8259/96 tentang ukuran, lokasi dan tata cara penangkapan ikan napoleon. Keputusan-keputusan Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan, dan Keputusan Dirjen Perikanan bukanlah memberikan status perlindungan terhadap ikan napoleon.
Kasus di level internasional-pun berkecenderungan sama, yakni populasi ikan napoleon wrasse mengalami penurunan yang drastis. Sehingga pada tahun 2004, ikan napoleon wrasse (Cheilinus undulatus) atau humphead wrasse masuk dalam daftar Appendik II CITES. Dengan demikian perdagangan internasional (ekspor-import) ikan napoleon harus mengikuti ketentuan-ketentuan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) yang merupakan kesepakatan tentang perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar.

Kondisi Biologi Populasi Ikan Napoleon Wrasse
Ikan napoleon yang merupakan ikan ukuran besar (ikan napoleon bisa mencapai ukuran panjang 2 meter dengan berat 200 kg) yang hidup di perairan tropis termasuk biota yang memiliki pola reproduksi bersifat hermaphrodite, dimana saat lahir dengan kelamin jantan dan akan berubah menjadi betina ketika menjelang dewasa dan sekitar ukuran 3000 gram ke atas akan berubah kelamin lagi dari betina ke jantan. Sehingga dominasi jantan terlihat pada populasi ikan napoleon ukuran kecil, kemudian dominasi betina pada ukuran sedang dan jenis kelamin betina akan mendominasi pada populasi ikan napoleon ukuran besar. Ini adalah strategi biologi unik yang dimiliki ikan napoleon untuk dapat mempertahankan kehidupannya yang cukup panjang (ikan napoleon dapat hidup 25 – 32 tahun). Ikan napoleon matang seksual pada usia 5 sampai 7 tahun (ukuran panjang badan 40-60 cm). Walau-pun ikan napoleon dapat berumur panjang namun untuk mencapai matang sexual membutuhkan waktu yang sangat lama dan dengan tingkat reproduksi (fekunditas) yang rendah.
Akibat upaya penangkapan ikan napoleon yang masif ditambah lagi dengan sifatnya yang tingkat reproduksinya rendah, populasi ikan napoleon di beberapa perairan Indonesia ditengarai semakin menurun. Hasil survey tahun 2005 di perairan Raja Ampat, Pulau Kangean-Bali, dan di Silawesi Utara menunjukkan kepadatannya hanya di bawah 1 ekor per hektar. Begitu juga hasil penelian di perairan Kabupaten Kepulauan Banggai dan perairan Nusa Tenggara Timur, didapatkan angka kepadatan ikan napoleon hanya 1,3 – 2,5 ekor per hektar.

Pasar Ikan Napoleon
Pasar luar negeri ikan napoleon paling banyak berada di Hong Kong, China, Singapore, Amerika, dan Eropa. Pasar menginginkan ukurannya sekitar 1 kg, di bawah atau di atas ukuran tersebut memiliki harga yang jauh dibawahnya. Saat ini harga ikan napoleon ukuran sekitar 1 kg di tingkat pembudidaya di Kab. Anambas dimana usaha keramba jaring apung ikan napoleon banyak berkembang disana (saat ini jumlah petakan keramba sekitar 3.224 unit), adalah Rp 1,3 juta/kg-nya. Setidaknya perputaran uang dari bisnis ikan napoleon di Kab. Anambas sekitar Rp 78 milyar/tahun.
Para pembudiya ikan napoleon di Kab. Anambas membeli ikan napoleon ukuran anakan (sampai ukuran 100 gr/ekor) dari para nelayan pengumpul yang merupakan hasil penangkapan di alam. Anakan ikan napoleon ini dibesarkan di keramba jaring apung dengan pola intensif yaitu pemberian pakan secara teratur dengan jumlah tertentu. Lama pemeliharaan sampai menjadi ukuran pasar yaitu sekitar 1 kg memerlukan waktu sampai 5 – 7 tahun.
Secara formal karena ikan napoleon masuk dalam daftar Appendix II CITES maka pengaturan ekspornya dibatasi dengan sistem quota. Quota ekspor jumlah ikan napoleon dari  seluruh Indonesia adalah sebagai berikut:
No        Tahun        Quota (ekor)        Realisasi
1            2009           8.000                   4.220
2            2010           5.400                   3.810
3            2011           3.600                      970
4            2012           2.000                        -
Penentu besaran quota dikeluarkan oleh pihak Management Autority CITES di Indonesia yaitu Kementerian Kehutanan atas dasar dari kajian Scientific Autority yaitu LIPI.

Penetapan Ikan Napoleon Wrasse dengan Status Dilindungi
Atas dasar kondisi di lapangan yang menggambarkan populasi ikan napoleon wrasse sudah mengalami penurunan yang tajam dan banyak pihak mengusulkan untuk segera diberikan status perlindungannya. Melalui proses yang panjang dan berdasarkan kajian akurat, maka keluarlah Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 37/KEPMEN-KP/2013 tentang Penetapan Status Perlindungan Ikan Napoleon. Yang merupakan revisi dari Kepmen Pertanian No. 375/kpts/IK.250/5/95. Status perlindungan yang diberikan adalah perlindungan terbatas. Sebagaimana diketahui menurut Undang-Undang No. 45 tahun 2009 tentang Perikanan, beserta turunannya yaitu Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan, status dilindungi terdiri dari 2 tipe, yaitu: perlindungan penuh dan perlindungan terbatas. Berbeda dengan Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang hanya mengenal perlindungan mutlak. Perlindungan terbatas artinya hal-hal yang bisa dilindungi itu berdasarkan ukuran, waktu, dan tempat. Perlindungannya hanya berlaku pada: ukuran, waktu, dan atau tempat tertentu saja. Status perlindungan ikan napoleon wrasse menurut Kepmen KP No. 37 tahun 2013 adalah perlindungan terbatas, terbatas menurut ukuran. Substansi perlindungan terbatas berdasarkan ukuran adalah sebagai berikut:
-Ukuran ikan napoleon yang dilindungi (dilarang ditangkap di habitat alam) yang berukuran 100 – 1000 gr/ekor dan ukuran lebih dari 3000 r/ekor.
-Ukuran yang boleh ditangkap dari alam untuk dimanfaatkan yaitu ukuran sampai 100 gr/ekor (untuk tujuan pembesaran di keramba jaring apung) dan yang berukuran antara 1000 sampai 3000 gr/ekor.
Pertimbangannya kenapa hanya ukuran tersebut di atas yang dilindungi? Untuk ukuran 100 sampai 1000 gram, secara biologis pada ukuran tersebut ikan napoleon sedang mengalami masa pertumbuhan sexual dan pada ukuran 1000 gram diperkirakan ikan napoleon tersebut sudah melakukan beberapa kali pemijahan. Sehingga proses reproduksinya dapat berjalan dengan baik. Kenapa untuk ukuran sampai 100 gr tidak dilindungi? Alasannya, kematian jumlah anakan pada ukuran sampai 100 gr sangat tinggi karena predasi. Dengan dimanfaatkannya pada ukuran tersebut untuk dipelihara di keramba, diharapkan tingkat kematiannya menjadi lebih rendah. Kenapa yang berukuran di atas atau sama dengan 3000 gr itu berstatus dilindungi? Pada ukuran 3000 gr keatas, dalam siklus hidup ikan napoleon mengalami perubahan jenis kelamin dari betina ke jantan, dan ini adalah fase kritis dalam siklus hidup napoleon, sehingga untuk tetap menjaga kelangsungan populasinya di alam, maka wajar apabila diberikan status perlindungannya.
Proses keluarnya Permen KP No. 37 tahun 2013 ini melalui prosedur yang diatur dalam Permen KP No. 3/MEN/2010 tentang Tata Cara Penetapan Status Perlindungan Jenis Ikan. Dimana dalam prosesnya harus melewati: adanya usulan inisiatif dari masyarakat, LSM, Perguruan Tinggi, Pemerintah, Pemda, dan lainnya, verifikasi usulan, penyusunan analisis kebijakan, konsultasi publik, rekomendasi ilmiah, dan baru terakhir penetapan status perlindungannya oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. Jadi berbagai hal harus dipertimbangkan, tidak hanya menyangkut aspek biologi populasinya saja tetapi sampai kepada analisis sosial ekonominya. Dalam hal ini harus mempertimbangkan seberapa besar kehidupan masyarakat atau nelayan tergantung kepada sumberdaya ikan napoleon ini?
Dengan demikian menurut pendapat saya, pemberian status perlindungan secara terbatas menurut ukuran sudah sangat pantas, selain bisa mempertimbangkan aspek kelestarian dari ikan napoleon itu sendiri secara maksimal juga dalam peraturan ini sangat mengakomodir kepentingan kehidupan masyarakat untuk tetap dapat memanfaatkan sumberdaya ikan napoleon wrasse ini sebagai sumber nafkah-nya.
Ikan Napoleon Wrasse ukuran konsumsi (sekitar 1000 gram)



Anakan ikan napoleon di habitat aslinya
Anakan ikan napoleon (ukuran sampai 100 gr/ekor) dipelihara di keramba
Pembesaran di keramba sampai ukuran pasar (1000 gr/ekor) butuh 5 - 7 tahun
Harga ukuran pasar di pembudidaya di Kab. Anambas Rp 1,3 juta/kg
Di Kab. Anambas, masyarakat banyak yang berusaha pembesaran ikan napoleon
Keramba pembesaran ikan napoleon di kab Anambas yang sudah intensif

Selasa, 16 Juli 2013

Menyaksikan Penyu Belimbing Bertelur di Pantai Jamursba Medi-Papua Barat

Negara Indonesia banyak dianugrahi keanekaragaman hayati yang tinggi. Contoh untuk penyu saja, di Indonesia ada 6 jenis penyu dari 7 jenis penyu yang ada di dunia. Penyu yang ada di Indonesia adalah: penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu lekang (Lepidochelys olivacea), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), penyu pipih (Natator depressus) dan penyu tempayan (Caretta caretta). Penyu belimbing  atau leatherback turtle adalah penyu dengan ukuran tubuh yang paling besar, dengan panjang dapat mencapai 2,75 meter dengan berat dapat mencapai 800 kg. Sedangkan jenis penyu terkecil adalah penyu lekang dengan berat maksimal 50 kg.
Khusus penyu belimbing, tempat penelurannya (nesting area) yang paling banyak ada di pesisir barat pulau Sumatera dan di pantai Jamursba Medi kabupaten Tambrauw di provinsi Papua Barat. Bahkan pantai Jamursba Medi merupakan tempat peneluran penyu belimbing terbesar di dunia. Kenapa pantai Jamursba Medi yang panjangnya 18 km, disukai untuk bertelur oleh penyu belimbing? Alasannya adalah: tekstur pasirnya tidak terlalu lembut dan tidak terlalu besar, pasirnya mudah dikeduk tetapi memiliki kepadatan cukup sehingga tidak mudah longsor, suhu pasir relatif konsisten, bentangan pasir yang cukup luas, dan jangan lupa kondisi alam pantai Jamursba Medi masih sangat alami dan dihuni oeh beberapa orang penduduk saja sehingga sangat minim aktifitas manusia. Walaupun demikian, menurut data dari WWF Indonesia (2013), jumlah penyu belimbing yang bertelur di Jamursba Medi setiap tahun-nya memperlihatkan trend semakin menurun. Hal tersebut terjadi lebih karena sebagai akibat pengaruh perubahan lingkungan global. Namun demikian, lingkungan Jamursba Medi harus tetap dijaga kealamiannya. Bagi suku Abun yang menghuni sekitaran kawasan pantai ini, pantai Jamursba Medi karena ada penyu belimbingnya, dianggap sebagai tempat 'pemali' yang menjadi tempat bersemayamnya 'dewa laut' sebagai penyebutan lain untuk penyu belimbing. Karena alasan-alasan tadi seperti yang sudah disebutkan, maka sangat tepat apabila pemerintah kabupaten Tambrauw melalui Bupatinya Bapak Gabriel Asem telah mencadangkan wilayah pesisir Jamursba Medi sebagai Kawasan Konservasi Taman Pesisir, diluar kawasan suaka margasatwa yang telah dikelola oleh Kementerian Kehutanan.
Musim bertelur penyu belimbing di Jamursba Medi adalah pada bulan Juni sampai Agustus. Dan satu ekor betina penyu belimbing dalam satu musimnya dapat melakukan sampai 6 kali peneluran. Setiap bertelur bisa menghasilkan 60 – 175 butir telur dari per ekor-nya. Telur akan berada di sarangnya selama 2 bulan yang kemudian menetas jadi tukik dan langsung menuju laut untuk menjalani kehidupannya. Predator utama yang banyak memakan telur-telur penyu belimbing adalah babi, anjing, biawak, dan lainnya. Babi dapat menghabiskan sampai ludes telur yang ada di dalam sarang tersebut.
Makanan penyu belimbing adalah ubur-ubur, dengan demikian penyu belimbing adalah penyeimbang ekosistem perairan laut dengan cara mengontrol populasi ubur-ubur di perairan tersebut. Wilayah tempat mencari makan penyu ubur-ubur yang bertelur di Jamursba Medi adalah di sekitar pulau Kei di Maluku, di atas pulau Kalimantan, dan sampai di wilayah California Amerika. Antara tempat bertelur dengan tempat makan dari semua jenis penyu bisa sangat berjauhan yang bisa mencapai ribuan kilometer. Beberapa studi menunjukkan bahwa wilayah migrasi penyu belimbing dapat mencapai perairan California di negara Amerika Serikat.
Kembali ke cerita menyaksikan penyu belimbing bertelur di pantai Jamursba Medi. Pukul 21, kami sudah menunggu laporan dari petugas di lapangan yang setiap malam mengawasi penyu-penyu bertelur, apakah sudah ada penyu belimbing yang naik ke darat? Pk 23 lebih, ada laporan dari petugas di sektor 12 bahwa ada satu ekor penyu yang naik kedarat, disusul oleh laporan petugas-petugas lainnya dari sektor yang menjadi tanggung jawabnya. Kelompok kami berpencar ke beberapa sektor, dimana untuk melihat penyu bertelur dibatasi paling banyak 5 orang, tapi teman-teman karena sudah sangat penasaran, akhirnya mengerumuni seekor penyu belimbing yang naik ke darat yang terdekat saja. Ada juga yang mau berjalan 30 menit lagi untuk sampai ke lokasi peneluran yang lain. Pk 23, penyu naik ke darat dengan ukuran cukup besar diperkirakan panjangnya 1,5 meter. Penyu berjalan dengan siripnya secara pelan-pelan, namun karena kami ada yang bersuara dan ada yang menyalakan lampu senter (cahaya yang tidak mengganggu penyu adalah yang berwarna merah. Warna lainnya mengganggu) maka penyu tersebut berjalan berputar balik seolah mau ke laut lagi. Lalu kami diam, ternyata penyu tersebut putar balik lagi ke arah darat. Setelah merasa ada tempat yang cocok untuk bertelur (jarak dari bibir air laut sekitar 50 meter). waktu yang diperlukan penyu belimbing untuk mendapatkan tempat bertelur yang cocok sekitar 21 menit. Setelah tempat peneluran ditemukannya, penyu tersebut mulai menggali sarang untuk bertelurnya yang membutuhkan waktu 32 menit. Setelah dapat kedalaman sekitar 30 cm, ternyata dinding lubang tersebut longsor, dan penyu tersebut kembali mencari tempat lain lagi untuk bertelurnya. Penyu yang akan bertelur memilih yang pasirnya tidak mudah longsor. Setelah menemui tempat yang baru yang cocok, penyu tersebut dengan sirip depannya menggali lubang sebesar ukuran tubuhnya dan untuk bertelurnya sampai kedalaman 50 cm. Setelah lubang bertelur selesai dibuat, penyu belimbing tersebut dengan posisi yang diam, mulailah mengeluarkan telur-telurnya satu per satu sampai habis dan proses bertelur ini membutuhkan waktu 31 menit. Setelah telurnya dikeluarkan semua, mulailah penyu tersebut menutup lubang tempat telurnya berada yang membutuhkan waktu 12 menit. Selesai menutup lubang sarang telurnya, ternyata aktifitasnya belum selesai, penyu tersebut membuat sarang telur yang lain. Ternyata ini dilakukan untuk penyamaran atau kamuflase terhadap predator. Agar predator tidak menyantap telur yang ada di sarang sebenarnya. Proses bertelur dari penyu belimbing, dari mulai naik ke darat sampai kembali lagi ke laut, setidaknya membutuhkan waktu 2 jam.

Malam itu (11 Juli 2013) setidaknya ada 9 ekor penyu belimbing berbagai ukuran yang naik ke darat untuk melakukan peneluran. melihat kondisi pantai Jamursba Medi sebagai tempat peneluran penyu belimbing terbesar di dunia, maka setidaknya perlu diambil langkah-langkah sebagai berikut: 
1. Menjadikan seluruh bentangan pantai tempat peneluran penyu di Kab. Tambrau (pantai Jamursba Medi dan pantai Warmon) sebagai kawasan konservasi,
2. Membuat road map konservasi kawasan dan konservasi penyu belimbing di Kab. Tambrauw,
3. Mendorong berbagai lembaga dunia untuk memberi perhatian lebih kepada upaya konservasi baik untuk kawasannya maupun untuk penyu belimbingnya

Saya bersyukur sekali bisa menyaksikan penyu belimbing bertelur dan melihat pemandangan yang sangat indah alami dari pantai Jamursba Medi, suatu pengalaman yang sangat berarti dalam hidup saya. Saya sudah menyaksikan sendiri sebelum terjadi perubahan besar baik terhadap habitat penyu belimbing maupun lingkungan pantai Jamursba Medi-nya sendiri. 
Penyu yang ada di Indonesia dengan skala ukurannya
 
Trend jumlah penyu bertelur setiap tahunnya di Jamursba Medi
 
Migrasi Penyu Belimbing sampai ke California
 
Pantai Jamursba Medi sepanjang 18 km
 
Jamursba Medi masih alami disukai penyu belimbing untuk bertelur
 
Tanda ada sarang telur penyu belimbing
 
Ketika seekor penyu belimbing naik ke darat
 
Ketika proses bertelur berlangsung
 
Ketika proses menutup sarang telurnya

Senin, 15 Juli 2013

Pantai Jamursba Medi di Kabupaten Tambrauw – Papua Barat, Pantai Terindah di Dunia

Bagi saya dan teman-teman lainnya satu rombongan, berada di Pantai Jamursba Medi bagaikan sebuah mimpi indah saja. Padahal kami sering berkunjung ke pantai-pantai yang ada di Pulau Bali, Lombok, Banyuwangi, Timor, Sulawesi, bahkan ke pantai Great Barrier Reef di Australia, Borocay di Philipina, atau Gold Coast di Amerika. Namun, pantai-pantai tersebut tidak dapat mengalahkan keindahan pantai Jamursba Medi. Pasir putih pantai Jamursba Medi membentang jauh dan lebar, sangat panjang, sampai-sampai batas ujungnya tidak dapat tertangkap oleh mata bugil. Butiran pasir putihnya sangat halus menghampar dengan kadang diselingi pasir berbentuk menyerupai kristal seperti pasir putih yang ada di pantai Kuta Lombok. Dan tidak hanya itu, banyak sekali perpaduan dan harmoni alam yang tercipta di pantai Jamursba Medi ini. Satu sisi adalah bibir samudera Pasifik yang jernih dan membiru dan di sisi lainnya adalah menjulang tegak bukit hutan perawan yang hijau dan natural. Pantulan kilau dari sinar matahari yang menimpa permukaan laut dengan atap langit yang biru bersih. Suara orchestra deburan ombak dipadu dengan suara berbagai burung endemis Papua. Kalau malam, harmoni itu ditambah lagi oleh lenguhan suara rusa, babi hutan, dan kanguru yang berlalu lalang ke pantai untuk mencari makan.

Panjang garis pantai Jamursba Medi sekitar 18 km dengan lebar pasir putihnya antara 100 – 500 m. Suatu hamparan pasir putih yang luas. Kami berjalan kaki dari ujung ke ujung, membutuhkan waktu 2 – 3 jam namun itu tak terasa lama atau melelahkan karena kami senang dapat menikmati pemandangan di kanan kiri yang spektakuler indahnya. Satu hal lagi, di pantai ini seolah tidak ada penghuninya, karena tidak seorang-pun terlihat ada disitu. Bagaimana tidak terlihat ada manusia di Jamursba Medi? Jamursba Medi adalah bagian dari distrik Abun (pengertian distrik sama dengan kecamatan) yang dihuni oleh suku Abun yang merupakan salah satu suku asli Papua. Hasil sensus 2011, jumlah penduduk distrik Abun ini sebanyak 596 jiwa atau 134 KK. Mereka menempati kampung: Saubeba, Warmandi, Wau, dan Weyaf. Suku Abun ini terdiri dari beberapa marga/keret. Dan yang menguasai pantai Jamursba Medi adalah marga Yessa. 

Pantai Jamursba Medi adalah bagian dari wilayah kabupaten Tambrauw yang merupakan hasil pemekaran dari kabupaten Sorong dan kabupaten Manokwari yang berada di provinsi Papua Barat. Bagaimana bisa jarang ketemu orang di Tambrauw? Kab. Tambrauw luasnya 517.975 km2 dengan jumlah penduduk hanya 29.000 jiwa atau kepadatannya sekitar 6,2 jiwa/km2 saja. Jadi wajar saja kalau sulit bertemu dengan penduduk di pantai Jamursba Medi ini.

Pantai Jamursba Medi selain keindahan alamnya yang luar biasa juga sebagai tempat peneluran (nesting area) penyu belimbing terbesar di dunia. Dengan jenis pasir yang cocok dan bentangannya yang luas serta masih sepi sehingga sangat disukai oleh penyu belimbing untuk bertelur disini. Kami menyaksikan sendiri (11 Juli 2013) bagaimana belasan penyu belimbing yang berukuran panjang tubuh setidaknya 2 m melakukan peneluran di pantai ini.

Potensi keindahan alam pantai Jamursba Medi belum banyak dimanfaatkan karena faktor aksesbilitasnya. Tiket penerbangan Jakarta – Sorong PP sekitar Rp 6 juta. Dari kota Sorong ke Sausapor sebagai ibu kota Kab. Tambrauw bisa menggunakan jalan darat atau jalur laut. Lewat jalan darat, anda bisa menggunakan jasa mobil atau kendaraan roda empat dengan tarif Rp 250 ribu per orang. Jenis mobil yang digunakan adalah jenis mobil double cabin. Karena hanya jenis mobil ini yang dapat melahap jalan tanah yang terkadang becek sehabis hujan yang tersedia dari kota Sorong ke Sausapor. Waktu tempuh jalan darat sekitar 4 jam dalam kondisi normal. Dari Sausapor ke pantai Jamursba Medi harus menyewa perahu atau speed boat, karena belum terhubungkan oleh jalan darat. Kalau mau menyewa speed boat, tarifnya sekitar Rp 10 juta. Kami menggunakan speed boat 800 pk membutuhkan waktu sekitar 1,5 jam. Apabila menggunakan jalur laut dari Sorong ke Sausapor di Tambrauw, dahulu bisa menggunakan kapal perintis, namun saat ini kapal perintis sudah tidak beroperasi lagi. Saat ini cara yang paling mudah dan satu-satunya untuk bisa ke langsung ke lokasi pantai Jamursba Medi adalah dengan menyewa speed boat. Tarif sewa speed boat kapasitas 8 orang dengan mesin 400 pk untuk durasi sehari dua hari satu malam (36 jam) atau perjalanan pulang pergi dengan menginap semalam di lokasi, sekitar Rp 35 juta. Mahal memang, karena bahan bakar minyak jenis premium di Tambrauw saat ini Rp 25 ribu/liter padahal harga resmi di SPBU Rp 6.500/liter.

Mengembangkan potensi pantai Jamursba Medi untuk menjadi kegiatan yang ekonomis -sangat sulit-. Karena pembangunan infrastruktur dasar yang diperlukannya, akan membutuhkan biaya yang sangat besar, dan itu secara hitung-hitungan tidak akan ekonomis atau antara biaya yang dikeluarkan tidak sebanding dengan manfaat yang akan diperolehnya. Sehingga pengembangan potensi pantai Jamursba Medi untuk kegiatan ekonomi yang membutuhkan infrastruktur masif, tidak dapat dilakukan dalam waktu dekat dan cepat. Alternatif rasional pemanfaatan potensi pantai Jamursba Medi yang dapat dilakukan dalam waktu dekat dan tentunya yang harus dapat berdampak positif terhadap kesejahteraan penduduknya adalah melalui konservasi dan wisata minat khusus (dalam Undang-Undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, konservasi adalah salah satu cara pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil). Sedangkan untuk wisata minat khusus, jenis wisata ini banyak diminati oleh turis berkantong tebal yang tidak segan untuk merogoh koceknya 'dalam-dalam' untuk memuaskan keingintahuannya. Wisata minat khusus yang dapat dikembangkan di Jamursba Medi atau di Kab. Tambrauw secara umum, adalah: menyaksikan penyu bertelur, menikmati pantai pasir putih, menyelam, hiking, menyaksikan peralatan  perang peninggalan tentara Sekutu pada Perang Dunia II, budaya suku Abun, dan masih banyak lagi objek-objek wisata lainnya. Untuk pengembangan wisata minat khusus ini, kewajiban yang harus dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Tambrauw adalah membangun air strip atau merevitalisasi lapangan terbang peninggalan Perang Dunia II yang sudah ada. Kalau dari Sorong ke Tambrauw sudah tersedia jalur penerbangan komersial walaupun dengan pesawat ukuran kecil, saya yakin pariwisata atau ekonomi masyarakat Tambrauw akan jauh meningkat.
Titik pendaratan di pantai Jamursba Medi
'Rumah Batu' penanda di pantai Jamursba Medi
Menyusuri pantai Jamursba Medi
Pantai Jamursba Medi
Pasir putih di pantai Jaamursba Medi membentang 18 km
sesekali bertemu batu granit
Tipe pasir yang disukai tempat bertelur penyu belimbing
Jamursba Medi tempat peneluran penyu belimbing terbesar di dunia






Minggu, 07 Juli 2013

Kenapa Ikan Hiu dan Pari Manta Perlu Dilindungi?

Sudah ada dua jenis ikan hiu yang berstatus dilindungi, yaitu Hiu Gergaji (Pristris microdon) dan Hiu Paus (Rhincodon typus). Ikan hiu gergaji termasuk satwa yang dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa Liar, sedangkan hiu paus berstatus dilindungi secara penuh berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 18 tahun 2013. Ada 4 jenis hiu dan 2 jenis pari mantra lagi yang sedang diproses Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk diberikan status perlindungannya. Proses regulasi perlindungan ini lebih kepada tindak lanjut atas keputusan dalam Conference of the Parties ke 16 (COP 16) Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) pada bulan Maret 2013 di Bangkok yang memasukkan ke empat jenis hiu dan dua jenis pari manta yang dapat ditemui di perairan Indonesia ke dalam daftar Appendix 2 nya. Jenis hiu yang masuk ke dalam daftar Appendix 2 CITES tersebut adalah: Hiu Koboi (Oceanic Whitetip Shark) atau Carcharhinus longimanus, kemudian jenis hiu martil, yang terdiri dari; hiu scalloped hammerhead atau Sphyrna lewini, hiu great hammerhead atau Sphyna mokarran, dan hiu smooth hammerhead atau Sphyna zygaena. Dan dari jenis pari manta adalah pari manta karang (Reef manta ray) atau Manta alfredi dan pari manta oceanik (Oceanic manta ray) atau Manta birostris. Dimana Indonesia sebagai salah satu penandatangan CITES dan telah meratifikasi aturan-aturan CITES dalamKeputusan Presiden No. 43 Tahun 1978 Tentang : Convention On International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna And Flora, mau tidak mau, Indonesia harus mengikuti aturan internasional CITES tersebut dalam hal perdagangan internasional (ekspor-impor) satwa dan tumbuhan (termasuk  ikan) yang dilindungi dan berkewajiban untuk memberikan sejumlah tindakan konservasi-nya. Memang betul, keputusan CITES tidak mesti ditindaklanjuti oleh regulasi nasional yang mengatur perdagangan di dalam negeri-nya.
Pertanyaan yang sering muncul adalah kenapa hiu dan pari manta harus dilindungi? Puncak produksi ikan hiu dan pari Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 2003 yaitu sebesar 108.000 ton, kemudian pada tahun-tahun berikutnya mengalami trend menurun dengan rata-rata produksi di bawah 100.000 ton per tahun, yang dihasilkan dari hasil tangkapan sampingan (by catch) dan target utama. Setidaknya data tersebut menunjukkan bahwa populasi ikan hiu dan pari di Indonesia semakin menurun. Penurunan populasi tersebut selain karena faktor biologi reproduksi dari ikan hiu dan pari itu sendiri, juga karena upaya penangkapannya lebih tinggi lagi. Upaya perlindungan terhadap ikan hiu dan pari perlu dilakukan mengingat nilai penting yang dimiliki hiu dan pari, yaitu:
Menjaga kesehatan dan keseimbangan ekosistem
Ikan hiu dan pari sebagai predator puncak (top predator) secara aktif akan selalu menjaga kesehatan dan keseimbangan ekosistem perairannya melalui sistem predasi, yaitu dengan cara memakan ikan-ikan lain yang lemah, mati, dan tua. Hiu ini ibarat keberadaan singa di dataran Afrika. Perubahan sistem rantai makanan di suatu ekosistem perairan laut akan memberikan dampak langsung terhadap ketersediaan ikan di tempat tersebut. Dengan berkurang banyak spesies hiu di tempat tersebut, akan berpengaruh terhadap populasi ikan-ikan komersil lainnya dan juga kerang-kerangan. Hal ini tentu akan berpengaruh terhadap stock ikan tuna dan lobster di wilayah itu.
Sebagai salah satu indikator kualitas perairan
Keberadaan hiu dan pari di suatu perairan memberi tanda bahwa perairan tersebut memiliki kualitas yang relatif baik dan memiliki kesuburan yang tinggi. Ikan hiu dan pari mensyaratkan hidupnya di perairan yang tidak berpolusi. Dan juga perairan yang menjadi habitat hiu dan pari biasanya subur dengan indikasi banyaknya planton yang menjadi makanan ikan lainnya dan ikan tersebut menjadi santapan hiu dan pari.
Menjaga keanekaragaman hayati
Indonesia dianugrahi keanekaragaman hayati yang tinggi termasuk untuk jenis hiu dan pari. Banyak manfaat sosial, ekonomi, dan lingkungan dari keanekaragaman hayati ini. Jenis hiu yang terdata yang ada di perairan Indonesia setidaknya ada 117 jenis, ditambah puluhan jenis pari. Untuk itu, kita wajib menjaga keanekaragaman hayati ini, agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.
Pemanfaatan untuk pariwisata
Di negara Palau di pasifik, hiu sudah dijadikan objek wisata khusus. Dan tidak sedikit dollar yang dapat diraup oleh negara tersebut. Demikian juga dengan pari. Negara Maldives sudah memanfaatkannya sebagai objek wisata yang dapat dijual mahal kepada turis. Nilai jual wisata seekor pari manta di Indonesia untuk sepanjang hidupnya adalah 1.8 juta $, bandingkan dengan harga konsumsinya yang hanya max Rp 2 juta. Estimasi nilai wisata dari hiu dan pari manta di Indonesia sekitar US$ 314 juta/tahun. Di beberapa kawasan konservasi, seperti di Raja Ampat, Teluk Cendrawasih, Nusa Penida Bali, pari manta telah dijadikan objek wisata yang banyak diminati turis.
Hiu Martil jenis Sphyrna mokarran di TPI Banyumas
Hiu di TPI Tanjung Luar-Lombok