Minggu, 25 Agustus 2013

Panjat Pinang, Sebuah Politik Kemasyarakatan

Setiap kali memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia tg 17 Agustus, di banyak tempat selalu disertai kemeriahan dan hiburan, salah satunya adalah lomba panjat pinang. Batang pohon pinang sepanjang 12 meter yang telah dikuliti supaya permukaannya bertekstur halus kemudian dilumuri dengan oli bekas agar menjadi licin. Batang pohon pinang ditanam di tanah dengan posisi tegak berdiri. Di ujung atas batang pinang telah digantungkan berbagai barang sebagai hadiah yang akan diperebutkan. Nilai barang tersebut disesuaikan dengan kemampuan warga yang merayakan HUT Kemerdekaan RI ini. Ada yang sederhana dengan total nilai Rp 500 ribu-an saja namun tidak sedikit yang royal dengan nilai jutaan rupiah.

Yang menarik dari perlombaan panjat pinang ini adalah ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi oleh peserta lomba karena hal tersebut merupakan hasil kesepakatan mereka sendiri. Aturan utama lomba panjat pinang adalah; (1) tiap grup terdiri dari 5 orang dengan perhitungan apabila 5 peserta itu berdiri bersusun ke atas tidakakan melebihi 2/3 tinggi batang pinang, (2) peserta lomba diundi untuk dapat nomor urut karena peluang nomor urut terahir lebih besar untuk memenangkan perlombaan ini. Dimana oli yang menempel di batang pohon pinang sudah berkurang banyak karena tersapu oleh para grup peserta sebelumnya, dan (3) yang lebih penting lagi bagi grup peserta yang memenangkan lomba ini  berkewajiban untuk sharing hadiah bagi grup peserta lainnya karena peserta lain ini juga berperan dalam menghilangkan hambatan (oli di prrmukaan batang pinang). Umumnya grup pemenang lomba hanya mengambil 75% dari nilai total hadiah yang didapat.

Untuk pelaksanaan perlombaannya sendiri, masing-masing grup mengatur ke lima orang anggotanya, siapa yang paling bawah dan siapa yang paling atas yang bertugas untuk memanjat 1/3 ketinggian batang pinang sampai ke tempat dimana hadiah menggantung. Semua peserta ini punya andil yang sama. Yang paling bawah tentu harus yang kuat karena akan dapat tekanan berat dari peserta lain dari satu grupnya yang berada di posisi di atasnya. Pembagian nilai hadiah diantara  anggota grupnya umumnya dibagi sama rata.

Permainan lomba panjat pinang ini sungguh menginspirasi, dimana dari aturan yang ada, terlihat dari cara pengambilan keputusan yang mengikat dilakukan dengan sangat demokratis. Sampai pelaksanaan lomba serta pembagian hadiahnya-pun tetap memperhitungkan para grup peserta lain. Tidak heran dalam kegiatan lomba panjat pinang yang penuh persaingan ini tidak pernah terjadi suatu keributan sebagai akibat dari aturan pelaksanaan yang tidak jelas atau karena ada pihak yang merasa dicurangi. Semuanya berjalan dengan tertib.  Bukankah ini suatu pelajaran yang sangat bagus dalam bentuk lain bagi kehidupan bermasyarakat terutama dalam hal berpolitik? Bukankah politik itu salah satunya adalah bagaimana membangun dan membagi kekuasaan? Kehidupan berpolitik tetap berjalan penuh dinamika namun berada dalam kesantunan dengan mengikuti aturan-aturan yang berlaku. Siapa-pun yang berkuasa, dia juga harus memperhatikan yang lainnya sekali-pun merupakan lawan politiknya. Tidak hanya mementingkan kelompoknya saja. 
Ternyata lomba panjat pinang punya makna yang lebih dalam dari yang dikira saya semula.
Aturannya jelas karena hasil mufakat dan ditaati betul
Tanpa kerjasama tim tidak mungkin akan berhasil
Distribusi tugas dan kewenangan harus baik 
Grup pemenang tetap harus ingat grup peserta yang kalah


Minggu, 18 Agustus 2013

Pawai Budaya Nusantara 2013 di Jakarta, Bagus Sekali

Baru kali ini di Jakarta ada acara karnaval budaya sebesar dan semeriah ini! Karnaval yang berlangsung pada hari Minggu 18 Agustus 2013 di lapangan Monas Jakarta terkait dengan peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke 68, dikemas dengan judul ‘Pawai Budaya Nusantara 2013’ dengan menurunkan peserta dari perwakilan seluruh provinsi yang ada di Indonesia ditambah beberapa dari peserta BUMN.  Tampilan peserta pawai yang terkonsep bagus yang dikombinasikan dengan kreatifitas tinggi serta sangat variatif. Walau-pun rangkaian peserta pawai budaya ini panjang sekali, tidak cukup 2 jam untuk menyaksikan seluruh rangkaian peserta pawai dari 33 provinsi ini namun tidak membosankan.
Sebelumnya, pada jam 11, penonton pawai budaya sudah mulai berdatangan di dalam Monas atau di jalan-jalan di sekitaran Monas yang akan dilalui oleh iring-iringan peserta pawai, dan para peserta ada yang sudah siap tampil, ada yang sedang dirias, ada yang sedang latihan, tapi ada juga rombongan dari salah satu provinsi yang baru datang dengan 3 bus besar. Para peserta pawai ini sudah disiapkan untuk menempati tendanya masing-masing. Jam 12 lewat, tiba-tiba turun hujan dengan derasnya, kalang kabut-lah para peserta dan calon penonton. Ada peserta wanita pawai dari Prov. Lampung yang sudah rapih berdandan laksana bidadari dengan berbagai bunga di sekujur tubuhnya. Hancur-lah make up  tebal di pipinya serta hampir semua lepas bunga yang sudah terpasang rapih di tubuhnya. Hebatnya, semua tetap semangat, mengulang kembali, apa yang rusak karena terguyur air hujan.
Jam 13.30 syukur hujan akhirnya reda dan jadwal pawai budaya yang direncanakan dimulai pukul 14.00 bisa berjalan sesuai rencana. Dimulai dari peserta provinsi Jawa Timur yang salah satunya menampilkan ‘karnaval Jember’ yang sudah populer itu. Peserta dari Jawa Timur ini mendapat sambutan hangat dari penonton,  kemudian provinsi Jambi, Papua dan seterusnya. Sebagian besar para peserta pawai budaya ini menggunakan kostum dari bahan yang tersedia melimpah di daerahnya, misalnya peserta dari provinsi Lampung yang berkostum dari daun pisang atau peserta dari Sumatera Utara yang menggunakan kulit kayu, bahkan ada yang menggunakan kain bekas atau kain perca. Musik-musiknya-pun sangat menggugah perasaan dan membuat decak kagum, misalnya peserta dari provinsi Sulawesi Barat yang menampilkan musik Sipamandaq yaitu perkusi yang terbuat dari buah kelapa dengan balok kecil kayu diatasnya. Balok kayu semacam alat musik kolintan tapi yang ini hanya terdiri 4 bilah kayu. Ketika dibunyikan bersama, suara yang keluar amat harmoni yang lebih mirip nada-nada suara dari tanah Melayu. Peserta dari Papua dan Papua Barat dengan pakaian tradisionalnya mendapat aplaus yang hangat dari penonton.
Senang sekali melihat pawai budaya ini, kami kini nyata mengetahui bahwa Indonesia itu sangat kaya akan budaya dan kami menjadi makin bangga dengan Indonesia. Sambutan dari masyarakat-pun begitu antusiasnya. yang datang untuk menyaksikan acara pawai budaya melimpah sampai ribuan orang dan banyak dari mereka serius menontonnya serta ikut bergembira ria. Bagaimana kalau Pawai Budaya Nusantara semacam ini dijadikan agenda budaya tahunan? Karena selain menghibur juga mengenalkan secara langsung keaneka ragaman budaya Nusantara kepada masyarakat serta tentu dapat menarik banyak turis untuk datang.



Peserta dari Prov. Lampung
Alat musik dari Prov. Sulawesi Barat



Sabtu, 10 Agustus 2013

Alun-Alun Purworejo, Pusat Kuliner Tradisional yang ‘Ngangeni’

Setiap pulang kampung ke Purworejo-Jawa Tengah, kami selalu menyempatkan mampir di alun-alun untuk makan malam atau sekedar cari panganan kesukaan. Bahkan menyambangi aneka kuliner di alun-alun tersebut, bisa dilakukan oleh kami setiap malam.
Sudah dua puluh tahun-an keberadaan warung-warung tenda yang menjajakan aneka masakan tradisional Jawa di sekeliling Alun-Alun Purworejo ini. Panganan mulai dari wedang ronde, bubur, ayam goreng, burung dara goreng, soto, sop, dan lainnya, komplit tersedia disini. Rasa masakannya, benar-benar rasa rumahan dan tentu semuanya dengan harga, harga ‘desa’. Harga semangkuk wedang ronde Rp 5 ribu, harga ayam kalasan komplit dengan minumannya es jeruk hanya Rp 12 rb saja. Warung-warung tenda ini dipadati oleh pengunjung berbagai usia mulai jam 5 sore sampai tutupnya menjelang tengah malam. Satu hal lain, suasana dari pusat jajanan di Purworejo ini sangat tertib, bersih dan cenderung sunyi. Suasana inilah yang membedakan dengan pusat-pusat kuliner di kota lainnya.
Walau-pun kini (lebaran 2013) di Purworejo sudah bermunculan restoran-restoran besar yang sebelumnya tidak ada (di Purworejo, pusat perbelanjaan dan mall-pun tidak ada), kelihatannya pengunjung warung-warung tenda di alun-alun ini masih sangat ramai, bahkan kebanyakan pengunjung restoran-restoran besar itu, hanya penduduk setempat yang ingin menjamu tamunya. Kalau orang luar atau yang lagi mudik/pulang kampung, pilihannya pasti datang ke warung tenda di alun-alun. Bagi orang kota-kota besar di luar Puworejo, datang ke sebuah restoran besar adalah hal yang biasa, sudah bukan hal yang menarik lagi. Berbeda kalau datang ke warung tradisonal yang banyak memiliki suasana lain termasuk mungkin suasana nostalgia-nya. Sudah pasti akan memberikan kesenangan tersendiri. Bagi yang pernah mampir ke warung tenda di alun-alun Purworejo, suatu saat nanti, ingin mampir kembali karena memang suasana-nya ‘ngangeni’, termasuk bagi kami.
Keberadaan warung-warung tenda di sekeliling Alun-Alun Purworejo ini tetap menjaga ketertiban, keamanan, dan kebersihan. Tidak mengganggu ketertiban dan kenyamanan masyarakat Purworejo karena buka-nya hanya pada sore dan malam hari saja dan tidak berisik. Selain itu, dampak ekonominya terhadap masyarakat Purworejo cukup besar karena menyangkut banyak orang, tidak hanya untuk ekonomi segelintir orang saja. Dan apalagi pusat jajanan ini sudah menjadi ‘icon’ Puworejo, maka tidak ada salahnya untuk tetap mempertahankan keberadaan dari warung-warung tenda ini yang tentunya tetap dibarengi dengan pembinaan secara terus-menerus dari Pemda Purworejo.