Pengertian Kuota
Indonesia sudah meratifikasi Convention on International
Trade in Endangered Species (CITES) melalui Keputusan Presiden No. 43 tahun
1978, yang artinya Indonesia akan mengikuti aturan-aturan yang berlaku di CITES
untuk perdagangan internasional (ekspor/impor) dari ikan, satwa, dan tumbuhan
yang masuk dalam daftar Appendix ll CITES. Salah satu cara untuk memantau
keadaan populasi terkait perdagangannya adalah melalui mekanisme ‘kuota’. Appendix ll CITES adalah
daftar yang memuat jenis-jenis yang saat ini belum terancam punah namun dapat
terancam punah apabila perdagangan internasionalnya tidak dikendalikan.
Sedangkan pengertian kuota adalah batas jumlah maksimum pengambilan jenis-jenis
ikan, satwa, dan tumbuhan dari alam untuk pemanfaatan selama jangka waktu
tertentu. Jumlah kuota tersebut ditetapkan oleh Direktur Jenderal dari
kementerian yang menjadi Otoritas Pengelola (Management Authority/MA)
berdasarkan rekomendasi dari Otoritas Keilmuan (Scientific Authority/SA, yang
dalam hal ini adalam Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia/LIPI) untuk setiap
kurun waktu 1 (satu) tahun. Penetapan kuota setidaknya berisi: nama, ukuran
maksimum – minimum, dan wilayah penangkapan/pengambilannya (seperti tercantum
dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 04 tahun 2010 tentang
Tatacara Pemanfaatan Jenis Ikan yang Dilindungi).
Tujuan penetapan kuota penangkapan atau pengambilan ikan,
satwa, dan tumbuhan dari alam, adalah: (1) untuk mengatur dan memantau
perdagangan ikan, satwa, dan tumbuhan yang dilindungi dan (2) untuk memastikan
bahwa perdagangan ikan, satwa, dan tumbuhan yang dilindungi tidak membahayakan
kelangsungan hidup populasi di alam (Non Detrimental Finding/NDF). Beberapa
faktor yang harus dipertimbangkan dalam penentuan kuota tangkap/pengambilan,
adalah:
1.
Data
Populasi,
2.
Dokumen
realisasi kuota 3 tahun terahir,
3.
Dokumen
usulan kuota dari provinsi dan atau asosiasi tahun berjalan dan tahun yang akan
datang,
4.
Referensi
dan laporan-laporan terkait lainnya,
5.
Hasil
konsultasi dengan para pakar di LIPI maupun di luar LIPI,
6.
Hasil
koordinasi antara Otoritas Keilmuan (Scientific Authority/SA) dengan Otoritas Pengelola (Management Authority/MA),
dan
7.
Hasil
komunikasi dengan Otoritas Keilmuan dari negara-negara lain yang memiliki
komoditas yang sama.
Kesulitan dalam menentukan kuota antara lain adalah:
1.
Daftar
jumlah spesies Appendix ll (beserta derivasi dan bagian-bagiannya) yang sangat
banyak,
2.
Tidak
memadainya ketersediaan data ilmiah seperti stock/populasi, habitat, sebaran,
dan lainnya, dan
3.
Keterbatasan
dana dan sumberdaya manusia untuk pengumpulan data ilmiah beserta analisisnya.
Mekanisme Penetapan Kuota
Beberapa jenis biota perairan yang dapat ditemukan di perairan Indonesia dan masuk dalam daftar Appendix ll CITES diantaranya adalah:
1.
Ikan
napoleon (Cheilinus undulatus),
2.
Karang,
3.
Ikan
hiu dan pari,
4.
Lola
(Trochus niloticus),
5.
Kuda
laut (Hyppocampus), dan
6.
Ambergis
(kekerangan)
Dari enam jenis biota laut di atas, hanya ikan napoleon yang
sudah memiliki kuotanya (sampai tahun 2013) dan usulan kuota tahun 2014,
sedangkan 5 jenis-jenis lainnya belum pernah ada dan belum dapat diusulkan
kuotanya untuk tahun 2014. Hal tersebut terjadi karena minimnya data ilmiah
yang ada dan tidak ada yang mengusulkan baik dari provinsi yang memiliki
potensi biota tersebut maupun dari pihak asosiasi pengusaha/eksportir
biota-biota tersebut. Kuota penangkapan
ikan napoleon untuk tahun 2014
diusulkan sama dengan kuota tahun 2013 yaitu sebanyak 2000 ekor. Angka tersebut
diusulkan karena realisasi kuota tahun 2013 hanya 1400 ekor yang berarti
dibawah kuota yang telah ditetapkan.
Kuota Penangkapan Ikan HiuBeberapa jenis ikan hiu yang telah masuk dalam daftar Appendix ll CITES, yaitu:
1.
Hiu
paus (Rhincodon typus)
2.
Tiga
jenis hiu martil (Sphyrna lewini, Sphyrna zygaena, dan Sphyrna mokkaran), dan
3.
Hiu
koboy (Carcharinus longimanus)
Hiu Paus
Empat jenis ikan hiu yang masuk Appendix ll
Hiu paus masuk dalam daftar Appendix ll CITES pada pertemuan
para pihak atau Conference of the Parties/COP ke 12 CITES tahun 2002 yang
seyogyanya aturan perdagangan internasionalnya sudah harus mengikuti ketentuan
CITES, namun karena hiu paus ini secara nasional telah ditetapkan dengan status
sebagai jenis ikan yang dilindungi penuh melalui Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan No. 18 tahun 2013, yang artinya bahwa ikan hiu paus ini tidak boleh
ditangkap dan diperdagangkan. Sehingga ketentuan CITES tentang Appendix ll yang
membolehkan memperdagangkan hiu paus ini tidak berlaku di Indonesia.
Tiga jenis hiu martil dan satu jenis hiu koboy baru masuk
daftar Appendix ll CITES pada bulan Maret 2013, dimana sesuai ketentuan dari
CITES sendiri yaitu aturan pedagangan internasionalnya baru efektif berjalan
setelah 18 bulan sejak masuk daftar Appendix
atau sekitar bulan September 2014 yang akan datang, sehingga 3 jenis hiu
martil dan hiu koboy aturan CITES nya belum berlaku sampai bulan September
2014. Tetapi tahun 2014, Indonesia harus sudah mengusulkan besaran kuota untuk
dilaksanakan pada tahun 2015 dan seterusnya.
Anakan ikan hiu di Tanjung Luar-Lombok
Ekspor Sirip hiu (sumber data BKIPM-KKP 2013)
Walaupun opsi penentuan kuota ini adalah bersifat voluntary
namun dalam penentuan jumlahnya harus dihitung
secara optimal dengan prinsip kehatian-hatian. Penentuan jumlah kuota
penagkapan hiu dari alam selain atas perhitungan stock/populasi potensi yang
ada di Indonesia juga sangat perlu untuk memperhitungkan jumlah nelayan dan
masyarakat Indonesia yang terlibat dalam perikanan hiu ini. Produksi ikan hiu
Indonesia sekitar 60.000 ton (data 2012)
yang dihasilkan dari nelayan dengan target penangkapannya adalah hiu (sekitar
30%) sedangkan 70% nya merupakan hasil/produk bycatch. Dan ekspor sirip hiu
mencapai 400 ton (data 2012). Angka-angka tersebut dapat menjadi acuan ketika
kita akan mengusulkan angka kuota penangkapan hiu dari perairan laut kita.