Komisi Perikanan
Wilayah Barat dan Tengah Pasific atau Western and Central Pacific Fisheries
Commission (WCPFC) yang fokus kepada pengelolaan perikanan tuna dan merupakan
salah satu organisasi perikanan regional di dunia atau Regional on Fisheries
Management Organization (RFMO) tengah mengadakan pertemuan tahunannya yang ke
10 d kota Cairns-Australia. Beberapa isyu utama yang dibahas dalam pertemuan
ini adalah:
1.
Pembatasan upaya tangkapan
(catch limit),
2.
Pengaturan jumlah
hari tangkap dari kapal purse seine (PP), dan
3.
Pengetatan
penggunaan penggunaan rumpon atau Fish Agregating Divice/FAD.
Isyu-isyu tersebut
mengemuka karena ditengarai sudah terjadi penurunan populasi ikan tuna akibat
over exploited, apalagi penggunaan alat tangkap purse seine dan rumpon yang
dianggap tidak ramah lingkungan karena berbagai ukuran ikan tuna, mulai dari
ukuran anakan sampai ukuran besar dapat tertangkap semuanya. Penggunaan purse
seine dan rumpon juga dapat menangkap ikan-ikan lainnya yang tidak menjadi
target seperti ikan hiu.
Negara Amerika
paling getol menyuarakan isyu-isyu tersebut namun mendapat tantangan yang keras
dari negara Jepang, Korea, China, dan Taiwan. Empat negara tersebut adalah pemain
utama dalam penangkapan ikan tuna di wilayah WCPFC dan juga negara-negara
tersebut yang paling banyak mendapat kuota dalam bentuk jumlah hari tangkap
dibanding negara-negara lainnya. Tentunya wilayah penangkapan yang dimaksud
adalah di wilayah ZEE dan laut lepas.
Bahkan beberapa negara kecil yang ada di Pasifik menjual jatah kuotanya
kepada empat negara Asia tersebut karena keterbatasan armada penangkap ikan
yang dimilikinya. Indonesia yang kini telah menjadi anggota WCPFC mendapat
kuota hanya 500 vessel days fishing.
Kenapa rumpon juga
diusulkan untuk diperketat? Karena rumpon masa kini dioperasikan atau dipantau
melalui satelit yang terhubung ke armada penangkap ikan. Sehingga sewaktu-waktu
ketika di sekitar rumpon tersebut telah terdeteksi banyak gerombolan ikan tuna,
maka kapal penangkap ikan akan segera mendekat ke rumpon dan kemudian menebar
alat tangkap purse seine. Disitulah berbagai ukuran ikan target tertangkap dan
tidak hanya itu tetapi ikan lainnya-pun yang bukan target seperti ikan hiu akan
ikut tertangkap juga.
Penggunaan alat
tangkap long lines (LL) dipandang lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan
alat tangkap Purse Seine (PS). Namun demikian, beberapa LSM/NGO yang hadir
sebagai undangan mengusulkan agar alat tangkap LL perlu dimodifikasi agar ikan
hiu tidak ikut tertangkap. Yaitu, mengganti ‘wire leader’ pancingnya (yang
terbuat dari kawat baja) dengan monofilament nylon. Dengan menggunakan
monofilament nylon, ikan hiu yang terpancing dapat memutus nylon tersebut
dengan menggigitnya sehingga ikan hiu menjadi menjadi selamat.
Dalam pertemuan
WCPFC kali ini, isyu tentang perlunya mengadopsi upaya perlindungan dan
konservasi ikan hiu lebih mengemuka dibandingkan pada pertemuan-pertemuan
sebelumnya. Kiranya Indonesia perlu mengantisipasinya, karena Indonesia menjadi
calon penyelenggara selain negara Samoa
sebagai tuan rumah pertemuan tahunan WCPFC yang ke 11 atau pertemuan pada
tahun depan. Sebagaimana kita ketahui Indonesia adalah negara yang memiliki
angka produksi ikan hiu tertinggi di dunia.
Pertemuan WCPFC di Cairns-Australia
PP dan Rumpon, ikan hiu-pun ikut tertangkap
Mengganti wire leader dengan monofilamen nylon, aman untuk hiu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar