Kamis, 16 Januari 2014

Mengapa Ikan Pari Manta (Manta spp) Harus Dilindungi?



Ikan pari manta (Manta spp) dari sub kelas Elasmobranchii yang terdiri dari jenis Manta alfredi dan Manta birostris, sudah sangat mendesak diberikan status dilindungi secara penuh. Beberapa pertimbangannya, adalah:
1. populasinya sudah menurun drastis,
2. memiliki sifat reproduksi yang rendah,
3. bermigrasi dan berkelompok,
4. sebagai indikator kesehatan suatu ekosistem perairan,
5. termasuk dalam daftar apendiks 2 CITES,
6. masuk kriteria untuk menjadi jenis ikan yang dilindungi,
7. bukan menjadi target utama penangkapan ikan nelayan, dan
8. memiliki potensi atraksi wisata yang besar.

Populasi ikan pari manta di perairan Indonesia sudah sangat menurun drastis. Data pari manta dari perairan NTB dan NTT yang didaratkan, menurun hingga 57% dalam 10 tahun terahir. Data pari manta yang didaratkan di pelabuhan perikanan Cilacap 31% dari tahun 2006 sampai 2011. Lembaga konservasi internasional-pun seperti IUCN (International Union for the Corcervation of Nature and Natural Resources) memasukkan ikan pari manta ini ke dalam katagori vulnerable atau rentan punah yang hanya satu level dari endangered/genting menuju kepunahan.
Walaupun ikan pari manta ini termasuk jenis ikan yang berukuran besar, dimana ukuran lebar ujung sayap ke ujung sayap dapat mencapai 7 meter, namun laju pertumbuhan ikan ini termasuk sangat lambat.  Ukuran maksimal dari ikan pari manta ini dicapai sekitar 25 tahun. Umur matang sex pertama, umumnya pada umur 10 tahun dan umur ikan ini dapat mencapai 40 tahun. Suatu rentang umur yang panjang. Pari manta hanya anakan sebanyak 1 ekor dengan periode beranak antara 3-5 tahun dan masa kehamilan sekitar 10 – 14 bulan. Ikan termasuk kedalam ikan yang memiliki fekunditas rendah dan waktu generatif yang panjang.
Sifat pari manta adalah peruaya atau bermigrasi dan hidup berkelompok terutama Manta birostris yang dapat beruaya antar negara. Dengan sifatnya yang bermigrasi dan berkelompok apalagi gerakan pari manta sangat lambat menjadikannya akan lebih besar tertangkap nelayan, baik sebagai target maupun sampingan (bycatch). Secara politik konservasi, di beberapa negara lain yang berdekatan dengan Indonesia, seperti negara Australia, Palau, Maldives, New Calodenia, Cook Islands, Federasi Micronesia, Polynesia Perancis, ikan pari manta ini sudah ditetapkan dengan status dilindungi. Padahal ikan ini adalah ikan peruaya, sehingga tidak baik kalau di jalur migrasinya ada negara yang melindunginya tetapi ada juga yang membolehkan untuk menangkapnya.
Pari manta memiliki level yang rendah dalam rantai makanan  dan perannya dalam suatu ekosistem perairan belum banyak diketahui namun demikian,  setidaknya pari manta ini dapat menjadi indikator kesehatan dari sebuah ekosistem. Dengan hilangnya ikan plankton feeder seperti pari manta dari suatu ekosistem, hal tersebut akan merubah banyak struktur dan komposisi spesies di dalam ekosistem tersebut.
Pada COP CITES ke 16 di Bangkok pada bulan Maret 2013 yang lalu, pari manta yang terdiri dari Manta birostris dan Manta alfredi masuk dalam daftar apendik 2 CITES. Hal tersebut berarti secara internasional ikan pari manta ini berstatus dilindungi dan apabila akan diperdagangkan secara internasional (ekspor-impor) maka harus mengikuti ketentuan CITES. Jenis ikan yang masuk dalam daftar apendik 2 CITES berarti jenis ikan tersebut boleh diperdagangkan secara internasional namun harus melalui pengawasan yang ketat misalnya melalui mekanisme kuota.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan, jenis-jenis ikan yang masuk kriteria langka, terancam punah, penurunan populasi, fekunditas rendah, dan endemik, maka jenis ikan tersebut layak diberikan status dilindungi. Pari manta dapat memenuhi semua kriteria tersebut kecuali untuk klausul endemik. Sehingga sudah layak untuk berstatus dilindungi.
Bagi nelayan, ikan pari manta ini bukan menjadi target penangkapan tetapi hanya sebagai tangkapan sampingan (bycatch) walaupun ikan tersebut memiliki nilai ekonomi, sehingga secara sosial ekonomi apabila ikan pari manta ini berstatus dilindungi, hal tersebut tidak akan berpengaruh nyata terhadap pendapatan nelayan kebanyakan.
Di beberapa negara lain, seperti Australia dan lainnya yang telah menetapkan status perlindungan untuk ikan pari manta, ikan pari manta ini telah dijadikan atraksi wisata yang menarik. Dan artinya ikan pari manta ini dapat menghasilkan uang yang jauh lebih banyak dibandingkan ketika menjadi ikan konsumsi. Hasil hitungan kasar, ikan pari manta ukuran sedang dihargai hanya Rp 5 juta saja, tetapi ketika pari manta ini dijadikan atraksi wisata selam (diving), nilainya mencapai Rp 10 milyar untuk selama hidupnya. Suatu angka yang tinggi yang tentunya akan lebih banyak orang yang dapat terlibat dan ikut naik pendapatannya.
Dari beberapa pertimbangan di atas, kiranya terobosan untuk diberikan status perlindungan penuh terhadap ikan pari manta adalah sesuatu hal yang mendesak perlu.
Pari Manta di perairan Nusa Penida-Bali (Source: Riyanto Basuki)

Jumat, 10 Januari 2014

Kuota Penangkapan dan Pengambilan Jenis Ikan yang Dilindungi dari Alam Terkait Apendiks dan Non Apendiks CITES



Sebelum jauh, ikan dalam konteks ini adalah apa yang ditulis sebagai pengertian dalam Undang-Undang No. 31 tahun 2004
sebagaimana telah dirubah menjadi Undang-Undang No. 45 tahun 2009 tentang Perikanan. Yang disebut ikan adalah biota yang sebagian atau seluruh hidupnya berada di air. Ikan dalam hal ini memiliki pengertian yang luas, yang terdiri dari: (1) pisces, (2) mamalia air seperti paus,lumba-lumba, dugong,pesut, (3) crustacea, seperti udang, (4) reptilia,seperti buaya,kura-kura, (5) algae, (6) mollusca seperti tiram, kima, (7)  amphibia, (8) echinodermata seperti teripang, dan (9) coelentarata seperi terumbu karang.
Status perlindungan ikan itu sendiri adalah (1) tidak dilindungi, dan (2) dilindungi. ‘Tidak dilindungi’ dalam konteks Peraturan Pemerintah No.60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan bukan berarti jenis ikan tersebut tidak berstatus dilindungi secara umum, pengertian ‘tidak dilindungi’ adalah jenis ikan tersebut tidak/belum memiliki aturan nasional tentang perlindungannya tetapi masuk dalam daftar apendiks CITES, misalnya: terumbu karang diluar jenis black coral. Sedangkan jenis ikan dilindungi, hal ini memiliki pengertian bahwa jenis ikan tersebut memiliki status dilindungi secara peraturan nasional dan yang termasuk atau tidak termasuk dalam daftar apendiks CITES. Contohnya: lumba-lumba, yakni: secara nasional ada peraturan nasional yang melindungi lumba-lumba dan juga masuk dalam daftar apendiks CITES. Contoh lainnya untuk jenis ikan yang memiliki aturan perlindungannya tapi tidak masuk dalam daftar apendiks CITES adalah ikan terubuk. Secara nasional ikan terubuk telah berstatus dilindungi melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 59 tahun 2011 tetapi tidak termasuk dalam daftar apendik CITES. Status dilindungi juga dibagi lagi menjadi; dilindungi secara penuh dan dilindungi secara terbatas. Dilindungi penuh artinya jenis ikan tersebut tidak dapat dimanfaatkan, baik untuk perdagangan maupun konsumsi kecuali hasil budidaya dan turunan ke dua (F2) atau ‘cucunya. Dilindungi secara terbatas memiliki pengertian bahwa jenis ikan tersebut dilindungi pada ukuran, waktu dan tempat tertentu saja. Jenis ikan yang termasuk katagori dilindungi terbatas berarti dapat dimanfaatkan untuk perdagangan dan konsumsi diluar klausul ukuran, waktu dan tempat yang masuk katagori dilindungi. Pemanfaatannya-pun diatur melalui kuota jadi tidak sembarangan. Misalnya ikan napoleon yang dilindungi secara terbatas menurut ukuran. Ukuran ikan napoleon yang dilindungi adalah yang berukuran < 1 kg dan > 3 kg atau ikan napoleon yang berukuran 1 sampai 3 kg boleh dimanfaatkan untuk perdagangan dan konsumsi. Kecuali untuk ekspor, harus diatur dengan mekanisme kuota. Kenapa harus dengan kuota? Karena ikan napoleon masuk dalam daftar apendiks 2 CITES. Ukuran < 1 kg dan > 3 kg tidak boleh dimanfaatkan. Sekalipun hasil pembesaran (ranching) kecuali turunan ke dua-nya (F2).
Mekanisme kuota adalah jumlah (number) yang diperbolehkan untuk untuk dimanfaatkan yang lebih ditujukan untuk kepentingan perdagangan dan porsi untuk kebutuhan khusus lain, seperti untuk pendidikan dan riset. Penentuan jumlah kuota ditetapkan oleh pihak Management Authority (MA) atas rekomendasi dari pihak Scientific Authority (SA) yang dalam hal ini adalah LIPI. SA mengeluarkan rekomendasi kuota setelah melalui survey dan kajian kajian khusus terhadap populasi jenis ikan yang dimintakan kuotanya. Salah satu syarat dari terhitungnya jumlah kuota adalah setelah adanya kajian NDF (Non Detrimental Finding) atau jumlah pengambilan/penangkapan dari alam yang tidak akan merusak populasi ikan tersebut.
Jenis ikan yang termasuk dalam katagori dilindungi secara penuh berarti tidak boleh sama sekali untuk ditangkap dan dimanfaatkan untuk perdagangan maupun untuk konsumsi. Tidak peduli jenis ikan tersebut masuk atau tidak dalam daftar apendiks CITES. Jenis ikan yang ‘tidak dilindungi’ boleh ditangkap untuk dimanfaatkan untuk diperdagangkan dan dikonsumsi kecuali untuk tujuan ekspor. Ketika jenis ikan ‘tidak dilindungi’ ini akan diekspor, maka ketentuan CITES diberlakukan, yang artinya; kalau jenis ikan tersebut masuk dalam daftar apendiks 1 CITES maka jenis ikan tersebut tidak boleh diekspor dan kalau jenis ikan tersebut masuk dalam daftar apendiks 2 CITES maka jenis ikan tersebut boleh diekspor dengan kontrol yang ketat, dimana salah satunya melalui mekanisme kuota.
Dalam dunia perikanan, istilah kuota penangkapan dan kuota pengambilan memiliki aturan dan pengertian yang sama, hanya berbeda istilah saja. Istilah kuota penangkapan dipakai untuk berbagai jenis ikan yang memiliki sifat bergerak atau mobil. Sedangkan istilah kuota pengambilan lebih diberlakukan untuk jenis-jenis ikan yang bersifat menetap, seperti terumbu karang.
Beberapa catatan terkait pengertian dan implementasi kuota adalah sebagai berikut:
1.               Besaran kuota disusun dalam rangka persyaratan perdagangan internasional (ekspor-impor) jenis ikan yang masuk appendix 2 CITES, baik ikan yang berstatus dilindungi maupun tidak dilindungi secara nasional,
2.               Pemilihan opsi pemberlakuan mekanisme kuota bersifat volunteer atau bukan suatu keharusan. Secretariat CITES memberikan opsi apakah mau menerapkan mekanisme kuota ataukah management measure atau pengelolaan,
3.               Pemerintah dapat memberlakukan mekanisme kuota penangkapan/pengambilan dari alam bagi jenis ikan yang tidak masuk dalam daftar apendiks 2 CITES, apabila dianggap perlu. Contohnya seperti untuk ikan terubuk di perairan Bengkalis-Riau,
4.               bahkan kalau dianggap perlu, pemerintah dapat memberlakukan mekanisme kuota untuk jenis ikan yang umum atau yang tidak memiliki peraturan perlindungannya,
5.               Pemerintah juga menetapkan kuota penangkapan/pengambilan dari alam selain untuk perdagangan, seperti untuk penelitian dan pendidikan,
6.               basis besaran kuota adalah kuota penangkapan/ pengambilan dari alam. Tetapi yang dilaporkan ke sekretariat CITES adalah kuota perdagangannya,
7.               negara tidak memberikan kuota kepada jenis/ikan yang berstatus dilindungi penuh kecuali yang berstatus satwa buru seperti arwana jardini,
8.               bagi ikan yang berstatus dilindungi penuh dan masuk daftar apendik 1 dan apabila sudah bisa dibudidayakan, maka kepada ikan arwana hasil budidaya (F2) nya tersebut tidak dikenakan kuota, hanya saja perusahaan beserta induk ikannya tersebut harus terlebih dahulu sudah terdaftar (teregristrasi) di sekretariat CITES,  baru kemudian negara akan mengajukan angka jumlah ikan arwana yang akan diekspor sesuai kemampuan produksi dan sesuai rencana produksi dari data perusahaan beserta induknya yg telah terdaftar tersebut. Contoh: ikan red arwana,
9.               untuk ikan yang berstatus dilindungi terbatas menurut ukuran, waktu, dan tempat, dan masuk daftar apendik 2 CITES, kuotanya diberikan kepada diluar ukuran, waktu, dan tempat yang masuk dilindungi. Contohnya ikan napoleon yang dilindungi secara terbatas menurut ukuran. Ukuran ikan napoleon yang dilindungi adalah yang dibawah 1 kg dan yang berukuran 3 kg ke atas, maka kuota yang diberikan kepada ikan napoleon adalah kepada ukuran diluar 1 kg ke bawah dan diatas 3 kg atau hanya diberikan kepada ikan napoleon yang berukuran 1 – 3 kg,
10.         bagi jenis ikan yang secara nasional dilindungi penuh tapi masuk apendik 2 CITES, secara nasional ikan tersebut tidak diberikan kuota walaupun secara internasional hal itu memungkinkan untuk diberikan kuota. Contoh: ikan hiu paus,
11.         ikan yang masuk daftar apendik 2 CITES tetapi belum ada regulasi perlindungannya secara nasional, jenis ikan tersebut tetap harus ada kuotanya. Contohnya terumbu karang,
12.         ikan yang tidak masuk daftar apendik 2 CITES tetapi secara nasional sudah dilindungi secara terbatas, negara dapat memberikan kuota sesuai kebutuhan.
 Catatan: untuk kuota perdagangan internasional dari ikan hiu jenis hiu koboy dan 3 jenis hiu martil mulai berlaku pada September 2014 dan efektif mulai Januari 2015.
Kuota Penangkapan Jenis Ikan hiu Koboy dan 3 Jenis ikan Hiu Martil mulai Berlaku Januari 2014