1. Latar Belakang
Kima dikenal sebagai kerang raksasa karena
ukurannya yang relatif besar. Kima termasuk dalam
keluarga Tridacnidae yang hidup tersebar di ekosistem
karang di wilayah Indo-Pasifik. Sebarannya meliputi dari belahan utara dunia
sampai ke belahan selatan serta dari bagian barat hingga ke bagian timur dunia.
Di belahan utara dunia, kima dapat ditemukan wilayah
Jepang Selatan dan di belahan selatan dunia ditemukan di sekitar wilayah Great Barrier Reef.
Sedangkan di barat dunia ditemukan di pantai timur Afrika hingga bagian timur dunia yaitu di
negara-negara Pasifik Selatan. Kima,
seperti halnya jenis-jenis kerang lainnya, mempunyai cangkang yang terdiri dari
dua tangkup simetries yang terbuat dari zat kapur. Permukaan cangkang bagian
luar membentuk lekukan dan tonjolan, ini tersusun sedemikian rupa sehingga
terbentuklah suatu bangunan seperti kipas, sedangkan organ dalam kima
diselubungi oleh mantel yang tebal (Mudjiono,
1988).
Nama lokal kima di Indonesia bermacam-macam,
yaitu: kerang, kerang raksasa, tiram karang, bia, suwat, wawat, dan fika-fika.
Dilihat dari cara hidupnya, kima dibedakan menjadi dua golongan,
yaitu golongan pertama yang hidupnya membenamkan diri pada karang baik seluruh atau
sebagian dari cangkangnya, sedangkan golongan kedua adalah jenis kima yang
hidupnya menempel atau bebas di antara batu karang, hidup bebas di dasar yang
berpasir di daerah terumbu karang (Mudjiono, 1988). Kima masuk dalam suku
Tridacnidae yang memiliki 2 marga yaitu Tridacna
dan Hippopus. Tridacna hidup menempel
dan ada yang membenamkan diri atau cangkang pada substrat keras (batu karang)
dengan menggunakan bysus, sedangkan Hippopus hidup pada substrat berpasir,
jenis ini tidak memiliki bysus
(Knopp, 1995).
Berdasarkan pendapat Soo dan Todd (2014), suku Tridacnae terdiri dari 12 spesies yang terbagi dalam 2 marga (Tridacna
dan Hippopus),
yaitu: T.
gigas (Linnaeus 1758), T.
derasa (Röding 1789); T.
squamosa (Lamarck 1819); Tridacna
noae (Röding 1798) yang baru-baru ini dipisahkan dari T. maxima oleh Su et al. (2014),
T. maxima (Röding 1789); T. crocea (Lamarck 1819); T. mbalavuana (Ladd 1934) atau Tridacna tevoroa (Lucas, Ledua & Braley, 1990),
T. squamosina (Sturany 1899)
sebelumnya dikenal sebagai T.
costata (Richter,
Roa-Quiaoit, Jantzen, Al-Zibdah, Kochzius, 2008), T.
rosewateri (Sirenko & Scarlato 1991), Tridacna sp. yaitu jenis kima yang
masih belum jelas ditemukan oleh Huelsken et
al., (2013),
H. hippopus (Linnaeus 1758), dan H. porcellanus (Rosewater 1982).
Saat ini, dikenal ada 7 jenis
kima di perairan Indonesia dan bertambah dengan ditemukannya 1 spesies baru di
perairan Toli-toli pada tahun 2011 (Tabel 1). Bagi masyarakat Pulau Labengki,
jenis kima baru ini disebut sebagai kimaboe (kima air) karena jika daging kima
ini diambil, maka akan keluar banyak air dan hanya menyisakan sedikit daging.
Awalnya, jenis kima ini dicurigai sebagai T.
tevoroa karena memiliki bentuk dan lekukan cangkang yang sama. Namun,
setelah dilakukan penelitian oleh Prof. John Lucas dan Dr. Richard D Braley (penemu
T. tevoroa di Kepulauan Fiji dan Tonga di Samudera Pasifik), dari
Queensland University-Australia, dipastikan bahwa kima tersebut bukan T. tevoroa.
Spesifikasi kima ini ditetapkan sebagai kima spesies baru pada tahun 2013, dan
menjadi spesies kima terbesar kedua di dunia dengan panjang cangkang 55,5 cm,
lebih besar dari T. tevoroa dan T. derasa. Spesies kima
yang baru diteliti ini dinamakan Tridacna
kimaboe (www.kabarkami.com). Kemungkinan masih adanya jenis kima baru
lainnya di perairan Indonesia, khususnya di Toli toli masih terbuka, dengan
ditemukannya jenis kima yang mirip dengan T.
rosewateri. Menurut Dr. Ambariyanto,
ahli kima dari Universitas Diponegoro hal ini perlu dibuktikan dengan uji DNA
seperti standar baku penentuan spesies baru (www.indonesiamedia.com).
Tabel 1. Jenis kima terdapat di perairan
Indonesia
No. |
Nama Ilmiah |
Nama umum |
Nama lokal |
1. |
Tridacna crocea (Lamrck, 1819) |
Boring Clam, Crocus Clam, Saffron-coloured Clam |
Kima lubang, kunai |
2. |
Tridacna maxima (Roding, 1798) |
Small Giant Clam |
Kima kecil |
3. |
Tridacna squamosa (Linnaeus, 1758) |
Fluted Clam, Fluted Giant Clam, Scaly Clam |
Kima sisik, suling |
4. |
Tridacna derasa (Roding, 1798) |
Southern Giant Clam |
Kima selatan |
5. |
Tridacna gigas(Linnaeus, 1758) |
Giant Clam (English), Bénitier Géant (French) |
Kima raksasa |
6. |
Hippopus hippopus (Linnaeus, 1758) |
Bear Paw Clam,Horse's Hoof Clam, Strawberry Clam |
Kima tapak beruang, kima pasir |
7. |
Hippopus porcellanus (Rosewater, 1982) |
China Clam |
Kima cina, kima porselen |
8 |
Tridacna kimaboe (2013) |
|
Kimaboe |
Tabel 2. Tiga jenis kima yang merupakan kima endemik yang hidup di luar Indonesia (Richter et al., 2008; (Lucas et al., 1991; Wells, 1996; IUCN The Redlist)
No. |
Nama Ilmiah |
Nama umum |
Nama lokal |
Habitat |
1. |
T. squamosina (Sturany 1899) sinonim denganTridacna costata (Richter, Roa-Quiaoit, Jantzen, Al-Zibdah, Kochzius, 2008) |
Red Sea or Ribbed Giant Clam |
kima laut merah |
Teluk Aqaba, Pantai Mesir, Laut Merah |
2. |
Tridacna rosewateri (Sirenho & Scarlato, 1991) |
Rosewater’s or Mauritius Giant Clam |
kima rosewater, kima mauritius |
Daerah gosong Saya de Malha, Massacring plateu, Mauritius (sebelah timur Madagaskar) |
3. |
Tridacna mbalavuana (Ladd 1934) sinonim dengan Tridacna tevoroa (Lucas, Ledua & Braley, 1990) |
Tevoro Clam or Evil Giant Clam(English), Bénitier De Tevoro(French) |
Kima iblis, kima tevoro |
Bagian timur Pulau Lau di Fiji dan bagian selatan P. Vava’u dan P. Ha’apai di Tonga |
Pada waktu masih muda kima semuanya
berkelamin jantan, tetapi setelah dewasa biota ini segera berubah menjadi
hermaprodit. Setiap satu individu dapat menghasilkan sperma dan sel telur,
namun proses pematangan keduanya tidak terjadi secara bersamaan, sehingga pembuahan
dari satu individu tidak terjadi. Kima hidup bersimbiosis
mutualisme dengan zooxanthellae, alga yang mampu berfotosintesa ini ditemukan
di bagian mantel kima (Mudjiono, 1988). Translokasi hasil
fotosintesa dari zooxanthellae merupakan sumber energi utama bagi kima selain
dari proses filter feeding (Klumpp et al., 1992; Klumpp & Griffiths, 1994;
Klumpp & Lucas, 1994). Kehidupan asossiasi ini
sangat efisien dan mengoptimalkan pertumbuhan kedua belah pihak, sehingga
memungkinkan kima tumbuh menjadi sangat besar (Griffith & Streamer, 1988). Jenis kima
terbesar T. gigas pernah dijumpai mencapai rekor ukuran sebesar 1,4 m dan
seberat 263 kg (Panggabean, 2007), dan diduga umur kima
bisa mencapai 8 sampai ratusan tahun (Rosewater, 1965). Zooxanthellae berfungsi
juga untuk memberikan warna mantel pada kima itu sendiri (Yonge, 1975). Sekarang
ini banyak penelitian dikembangkan untuk menentukan warna mantel dari kima.
Manfaat kima dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek ekologis dan
aspek ekonomis.
Aspek Ekologis. Selain dari zooxanthellae, kima
juga mencari makan dengan cara menyaring partikel organik dari air laut. Aktivitas ini berperan penting dalam
membersihkan air laut dari populasi mikroorganisme yang berlebihan, sehingga
air laut menjadi lebih sehat dan keseimbangan ekosistem pun lebih terjaga. Kima
berfungsi sebagai biofilter alami yang menyaring nutrien terlarut (Mingoa-Licuanan and Gomez 2002). Zat-zat berbahaya seperti logam berat juga ikut tersaring, dan terakumulasi
di dalam kima. Dengan demikian banyak penelitian dikembangkan untuk mengetahui
kandungan logam berat di daerah terumbu karang dengan kima sebagai
bioindikatornya. Kima juga memegang peranan penting dalam ekosistem terumbu
karang, selain menjadi salah satu biota laut yang membuat terumbu karang
berwarna-warni indah. Cangkang kima sebagai tempat nursery bagi ikan (Cabaitan et al., 2008), juga sebagai tempat
perlindungan bagi biota filter feeding
yang lebih kecil seperti teritip, polychaeta dan sponge (Elfwing et al., 2003; Vicentuan-Cabaitan et al., 2014). Pengambilan kima di alam (contoh: kima yang hidup menempel
atau membenamkan diri pada karang atau yang hidup di sela-sela karang), dapat
dipastikan juga akan merusak karang di sekitar tempat dimana kima tersebut
hidup (Ambariyanto, 2007).
Aspek Ekonomis. Secara tradisional kima dimanfaatkan oleh penduduk di sekitar
pantai baik yang digunakan untuk bahan makanan, bahan bangunan, kebutuhan rumah
tangga dan sebagai souvenir maupun hewan akuarium yang sangat digemari
(Sya’rani, 1987; Pasaribu, 1988). Di wilayah
Indonesia timur, daging/otot kima yang dikeringkan, dipercaya sebagai afrodisiak yang mampu meningkatkan
vitalitas pria. Di pulau-pulau terpencil, masyarakat mengumpulkan kima hidup di
tempat tertentu sebagai bahan makanan cadangan saat musim ombak besar tiba. Di
Jepang, daging dan otot kima dikonsumsi sebagai makanan laut yang disebut Himejako. Daging kima dari spesies berukuran
kecil dibuat sushi dan sashimi, sedangkan otot adduktor dari T.
squamosa dan H.hippopus dimakan mentah atau dikeringkan
dan dijual dengan harga yang cukup tinggi. Di Taiwan, Hongkong, Cina dan di
Amerika Serikat, otot adduktor kima
kering memiliki harga yang lebih tinggi daripada cumi-cumi dan sotong kering.
Secara tradisional, masyarakat di daerah pesisir telah menggunakan cangkang
kima sebagai peralatan rumah tangga seperti tempat sabun, mangkuk,
asbak, dan
perhiasan. Di Indonesia, khususnya
di Jepara dan
Kepulauan Seribu, cangkang kima dikumpulkan sebagai bahan baku untuk industri keramik di Jakarta,
Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali (Romimohtarto et
al., 1987).
Sedangkan dewasa ini kima juga dikenal
sebagai salah satu hewan akuarium yang sangat menarik karena
mantelnya berwarna-warni dan juga merupakan
komoditi eksport yang sangat penting dari berbagai negara (Tisdell, 1989; Tisdell
et al., 1994). Di pasaran luar negeri, untuk spesies Tridacna maxima yang
berukuran 2 inchi dan mempunyai warna bagus dan menarik dijual seharga US$ 40/ekor
dalam kondisi hidup untuk dimanfaatkan sebagai hewan hias di akuarium. Kima
yang dijual ini adalah hasil budidaya yang bersertifikat dan bukan berasal dari
alam (Ambariyanto, 2007).
Jepang, Cina, Taiwan, dan
Singapura diperkirakan sebagai pengimpor daging kima yang cukup besar pada
tahun 1980an hingga awal tahun 1990an. Diperkirakan kebutuhan otot adduktor
kima di Taiwan saat itu sekitar 30 ton/tahun. Filipina dikenal sebagai negara
yang paling banyak memproduksi cangkang kima di dunia yang diekspor ke Jepang,
Australia, AS, dan beberapa negara Eropa. Permintaan kima hidup sebagai
hewan hias aquarium semakin meningkat yaitu dari Australia, Amerika Serikat dan
Hawai.
Penyebab penurunan populasi
kima di dunia karena pengambilan kima secara besar-besaran di alam (over exploitation). Nilai ekonomi adalah
faktor pendorong utama eksploitasi kima di alam. Selain mudah ditangkap, kima
mempunyai siklus reproduksi yang panjang dan pertumbuhan yang lambat. Laju
reproduksi dan pertumbuhan yang tidak secepat laju penangkapan menyebabkan kima
rentan terhadap eksploitasi. Untuk mencapai ukuran komersial dan dapat
berkembang biak kima membutuhkan waktu 4-6 tahun. Polusi, kerusakan lingkungan
dan segala aktivitas di daerah terumbu karang seperti penangkapan ikan dan
pengambilan karang, juga merupakan ancaman terhadap kima. Kima kecil (T. maxima)
dilaporkan keberadaanya telah punah di perairan Hong Kong, dan jenis-jenis kima
lainnya kemungkinan mengalami kepunahan di beberapa negara (IUCN The Redlist).
Umumnya populasi kima di alam didominasi jenis kima
kecil seperti T.
crocea dan T. maxima sedangkan
jenis kima berukuran
besar seperti T. squamosa, T. derasa dan Hippopus hippopus sudah sangat jarang ditemukan bahkan T. gigas sudah tidak ditemukan di beberapa perairan di
Indonesia (Ambariyanto, 2007).
2. Regulasi dan Status Konservasi
a.
Nasional
1. Dalam Peraturan
Pemerintah No. 7 Tahun 1999 yang memasukkan ketujuh jenis kima yang hidup di
perairan Indonesia menjadi satwa yang berstatus dilindungi,
dimana semua bentuk pemanfaatannya yang bersifat eksploitatif (penangkapan dan
perdagangan) tidak diperbolehkan, dikecualikan hasil dari peangkaran (budidaya) dan setelah
diberikan status sebagai satwa buru (sesuai Peraturan Pemerintah No. 8 tahun
1999).
2. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. Nomor: SK.683/Menlhk/Setjen/KSDA.2/8/2016 tentang Penetapan Pemanfaatan Cangkang Kima (Tridacna gigas) yang Berasal dari Kebun Kebun Penduduk di Provinsi Maluku. Substansinya Memutuskan: Menetapkan: Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Penetapan Pemanfaatan Cangkang Kima (Tridacna gigas) yang Berasal dari Kebun Kebun Penduduk di Provinsi Maluku.
Kesatu: Menetapkan pemanfaatan cangkang kima (Tridacna gigas) yang berasal dari kebun kebun penduduk di Provinsi Maluku,
Kedua: Pemanfaatan cangkang kima (Tridacna gigas) sebagaimana dimaksud pada amar kesatu diambil dari luar Kawasan Pelestarian Alam, Kawasan Suaka Alam atau Taman Buru,
Ketiga: Pemanfaatan cangkang kima (Tridacna gigas) sebagaimana dimaksud pada amar kesatu, sebanyak 1.500 m3 (seribu lima ratus meter kubik) dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Pengambilan cangkang kima (Tridacna gigas) dilakukan di kebun kebun penduduk di
provinsi Maluku yang berjarak 2 (dua) km daari pantai;
2. Cangkang kima (Tridacna gigas) yang dapat dimanfaatkan hanya yang telah mengalami
rekristalisasi atau telah mengalami fosilisasi;
3. Pengambilan cangkang kima (Tridacna gigas) dilakukan secara tradisional dan tidak
menimbulkan kerusakan lingkungan.
Keempat: Pemanfaatan cangkang kima (Tridacna gigas) sebagaimana dimaksud dalam amar ketiga dilakukan melalui penetapan kuota oleh Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem setelah mendapat rekomendasi dari LIPI.
Kelima: Pemegag izin wajib melaporkan hasil pemanfaatan cangkang kima (Tridacna gigas) secara periodic kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam Maluku,
Keenam: Keputusan ini berlaku 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal ditetapkan (31 Agustus 2016)
2. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. Nomor: SK.683/Menlhk/Setjen/KSDA.2/8/2016 tentang Penetapan Pemanfaatan Cangkang Kima (Tridacna gigas) yang Berasal dari Kebun Kebun Penduduk di Provinsi Maluku. Substansinya Memutuskan: Menetapkan: Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Penetapan Pemanfaatan Cangkang Kima (Tridacna gigas) yang Berasal dari Kebun Kebun Penduduk di Provinsi Maluku.
Kesatu: Menetapkan pemanfaatan cangkang kima (Tridacna gigas) yang berasal dari kebun kebun penduduk di Provinsi Maluku,
Kedua: Pemanfaatan cangkang kima (Tridacna gigas) sebagaimana dimaksud pada amar kesatu diambil dari luar Kawasan Pelestarian Alam, Kawasan Suaka Alam atau Taman Buru,
Ketiga: Pemanfaatan cangkang kima (Tridacna gigas) sebagaimana dimaksud pada amar kesatu, sebanyak 1.500 m3 (seribu lima ratus meter kubik) dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Pengambilan cangkang kima (Tridacna gigas) dilakukan di kebun kebun penduduk di
provinsi Maluku yang berjarak 2 (dua) km daari pantai;
2. Cangkang kima (Tridacna gigas) yang dapat dimanfaatkan hanya yang telah mengalami
rekristalisasi atau telah mengalami fosilisasi;
3. Pengambilan cangkang kima (Tridacna gigas) dilakukan secara tradisional dan tidak
menimbulkan kerusakan lingkungan.
Keempat: Pemanfaatan cangkang kima (Tridacna gigas) sebagaimana dimaksud dalam amar ketiga dilakukan melalui penetapan kuota oleh Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem setelah mendapat rekomendasi dari LIPI.
Kelima: Pemegag izin wajib melaporkan hasil pemanfaatan cangkang kima (Tridacna gigas) secara periodic kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam Maluku,
Keenam: Keputusan ini berlaku 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal ditetapkan (31 Agustus 2016)
b.
CITES
Awalnya pada tahun 1983, hanya spesies T. derasa, T. gigas dan T. maxima masuk ke dalam daftar apendik II CITES, kemudian sejak
tahun 1985, seluruh suku Tridacnidae masuk ke dalam apendiks II CITES .
CITES telah memasukkan semua jenis kima dalam daftar Appendik II, yang berarti bahwa
pemanfaatan kima dari habitat alam untuk tujuan perdagangan internasional masih
diperbolehkan dengan penerapan control yang ketat dan penerapan prinsip-prinsip
Non Detrimental Findings (pemanenan lestari) yang meliputi 3 aspek utama yaitu : keberlanjutan (sustainability), ketelusuran atau keterlacakan (traceability) dan legalitas (legality).
c.
IUCN
Lembaga internasional IUCN
memasukkan 2 spesies kima ke dalam satus vulnerable
(VU) yang berarti spesies menghadapi resiko punah di alam liar, yaitu T. derasa dan T. gigas. Lima spesies kima lainnya,
yaitu T. maxima, T. squamosa,
T. crocea, H. hippopus
dan H. porcellanus, dimasukkan ke dalam
status least concern (LC) yaitu untuk
spesies yang telah dievaluasi namun tidak masuk ke dalam kategori manapun.
3. Upaya yang sudah dilakukan
a.
Upaya perlindungan
Upaya perlindungan kima di
Indonesia dimulai sejak dikeluarkannya Surat Keputusan
Menteri Kehutanan No.12/Kpts-II/1987 yang melarang penangkapan dan perdagangan
kima. Kemudian diperkuat oleh Peraturan Pemerintah No. 7
tahun 1999. Namun
eksploitasi kima di alam terus terjadi, sehingga beberapa spesies sudah jarang
ditemukan, tiga spesies kima sudah sangat jarang ditemukan, yaitu T. gigas,
T. derasa dan H. porcellanus.
Sebagai salah satu
contoh; survey yang dilakukan oleh Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan
Lautan (BPSPL) Pontianak sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) dari
Ditjen Pengelolaan Ruang Laut (PRL) – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
di perairan Anambas menunjukkan bahwa populasi kima sudah termasuk langka.
b.
Upaya pelestarian
Upaya penangkaran / budidaya dan restocking sangat
penting untuk menjaga populasi kima di alam. Upaya penangkaran kima telah dilakukan oleh CV Dinar di Desa Tembok - Bali untuk tujuan
ekspor. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.509/Kpts-VI/1997, CV Dinar sejak
tahun 1997 mulai melakukan penangkaran biota laut dari jenis kima (T. squamosa,
T. giga, T. derasa, T. maxima dan H. porcelanus).
Pada tahun 2003 LIPI yang berkerja sama
dengan CV. Dinar yang menyediakan bibit kima, telah mengintroduksikan kima
pasir di perairan Pulau Pari untuk memulihkan kembali kondisi stok kima langka
tersebut.
Konservasi Taman Laut Kima di Desa Toli-Toli, Kabupaten
Konawe Sulawesi Tenggara merupakan satu-satunya kawasan konservasi kima di
Indonesia yang didirikan atas dasar kesadaran masyarakat sekitarnya pada tahun
2010. Sejak dua tahun belakangan telah dibudidayakan sekitar 8000 kerang kima
berbagai jenis dan ukuran di perairan tersebut.
Pada tahun 1996 WWF
bekerja sama dengan masyarakat setempat dalam budidaya kima dan jenis biota
laut lainnya di Taman Nasional
Laut Taka Bonerate, Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan. Upaya pengembangbiakan
kima dilakukan dengan membuat sebuah hatchery mini di dalam kawasan Taman Nasional Taka Bonerate,
yaitu di Pulau Rajuni Kecil.
Sebelum WWF, Universitas
Hasanuddin (UNHAS) telah
bekerjasama dengan Marine Science dan ADB (Asian
Development Bank) untuk program konservasi kima, dengan membudidayakan kima
di Pulau Barrang Lompo, Makassar.
Pembudidayaan kima di Indonesia masih jarang
dilakukan dikarenakan lamanya proses budidaya dan sulit untuk memperoleh bibit
serta biaya teknologi pembibitan yang mahal.
4. Pemanfaatan Kima
Secara tradisional biota ini dimanfaatkan oleh penduduk di sekitar pantai sebagai bahan makanan,
bahan bangunan, kebutuhan rumah tangga dan souvenir. Dewasa ini kima juga
dikenal sebagai salah satu hewan akuarium yang sangat menarik dan menjadi
komoditi ekspor.
Otot adduktor kima yang menyatukan kedua cangkang dianggap
sebagai bahan pangan yang istimewa,dan menjadi primadona pada tahun 1980-an hingga awal tahun 1990-an di
Jepang, Cina, Taiwan, dan Singapura.
Sejak awal tahun 1990-an perdagangan kima secara internasional, baik
daging maupun cangkangnya, relatif menurun karena seluruh kima dimasukkan
ke dalam daftar apendiks II CITES. Implementasi pemanfaatan kima di Indonesia hanya diizinkan
bagi hasil penangkaran / budidaya. Namun pemanfaatan kima untuk tujuan komersial masih dimungkinkan
dengan ijin Menteri Kehutanan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 8 tahun 1999 tentang “Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar”. Hasil penangkaran kima yang dapat digunakan
untuk keperluan perdagangan adalah setidaknya merupakan generasi kedua (F2) .
Pemanfaatan jenis ikan yang dilindungi atau
terancam punah seperti kima merupakan rangkaian dari kegiatan konservasi sumber
daya ikan berazaskan pelestarian dan pemanfaatan secara seimbang melalui
kegiatan :
1)
perlindungan baik individu populasi maupun ekosistemtemnya sebagai sistem
ekologis penting penyangga kehidupan;
2)
pelestarian baik populasinya melalui usaha budidaya maupun habitat
sebagai ekosistemnya ;
3)
pemanfaatan secara berkelanjutan.
Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999,
jenis tumbuhan dan satwa liar termasuk kima di dalamnya, dapat dimanfaatkan
untuk keperluan:
a)
Pengkajian, penelitian dan pengembangan;
b)
Penangkaran;
c)
Perburuan;
d)
Perdagangan;
e)
Peragaan;
f) Pertukaran;
g)
Budidaya tanaman obat-obatan, dan
h) Pemeliharaan
untuk kesenangan.
Pemanfaatan kima di awali dari kegiatan
penangkapan dari alam (habitat alam) atau pengambilan dari hasil penangkaran /
budidaya (pengembangbiakan atau
pembesaran) terhadap jenis-jenis yang termasuk dalam Appendiks CITES maupun
Non-Appendiks CITES baik yang dilindungi maupun yang tidak dilindungi. Untuk pemanfaatan jenis yang dilindungi harus
dilakukan penangkaran / budidaya atau biota tersebut ditetapkan terlebih dahulu
sebagai satwa buru di wilayah Indonesia.
Diperlukan 2 jenis ijin untuk dapat
memperdagangkan kima, yaitu:
1. Ijin mengambil dan menangkap, dan
2. Ijin mengedarkan.
Ijin yang pertama diberikan dalam batas kuota di
suatu wilayah provinsi. Dan perlu diingat bahwa komoditas satwa liar termasuk
kima, itu diperdagangkan bukan hanya di satu tempat tetapi bisa kemana-mana.
Biasanya dapat dilakukan setelah melalui prosedur tertentu yang menyangkut
masalah transportasi dan jaminan tempat perawatan yang standar. Karena itu diperlukan
‘Ijin mengedarkan’ yang terdiri dari:
2.a. Ijin Mengedarkan Dalam Negeri, dan
2.b. Ijin Mengedarkan Luar Negeri.
Untuk dapat memanfaatkan secara komersial, terdiri
dari pemanfaatan dalam negeri dan pemanfatan ke luar negeri. Untuk pemanfaatan komersial dalam negeri,
maka setiap orang atau badan usaha harus mendapat izin pemanfaatan komersial
dalam negeri berupa izin mengedarkan
spesimen tumbuhan atau satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang atau
satwa yang dilindungi sebagai hasil penangkaran / budidaya atau satwa yang
telah ditetapkan sebagai satwa buru di dalam negeri. Sedangkan untuk pemanfaatan komersial ke luar
negeri, maka setiap badan usaha harus mendapat izin pemanfaatan komersial luar
negeri berupa izin mengedarkan spesimen
tumbuhan atau satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang atau satwa yang
dilindungi sebagai hasil penangkaran ke luar negeri.
Kuota Penangkapan atau Pengambilan
Perdagangan jenis satwa liar diawali dengan
penetapan kuota pengambilan/ penangkapan satwa liar dari alam yang merupakan
batas maksimal jenis dan jumlah spesimen satwa liar yang dapat diambil dari
habitat alam. Penetapan kuota pengambilan/penangkapan tumbuhan dan satwa liar
didasarkan pada prinsip kehati-hatian (precautionary
principle) dan dasar-dasar sebagaimana tertuang dalam Article IV CITES. Dalam
proses penyusunan kuota disadari bahwa ketersediaan data potensi biota dimaksud
yang menggambarkan populasi dan penyebaran setiap jenis masih sangat
terbatas. Kuota ditetapkan oleh Direktur Jenderal PHKA
berdasarkan rekomendasi LIPI untuk setiap kurun waktu 1 (satu) tahun takwim
untuk spesimen baik yang termasuk maupun
tidak termasuk dalam daftar Appendiks CITES baik jenis yang dilindungi maupun
tidak dilindungi undang-undang.
Izin Mengedarkan
Izin sebagai pengedar Tumbuhan dan Satwa Liar
Dalam Negeri diterbitkan oleh Kepala Balai KSDA. Pemegang izin sebagai pengedar
dalam negeri yang akan mengambil atau menangkap satwa wajib memiliki izin
pengambilan atau penangkapan yang diterbitkan oleh Kepala Balai KSDA, serta
wajib memiliki tempat dan fasilitas penampungan tumbuhan dan satwa liar yang
memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal. Satwa hasil penangkapan, dapat diangkut ke
daerah lain untuk diedarkan di dalam negeri, atau dapat juga diangkut ke
pengedar dalam negeri di daerah lain yang selanjutnya diangkut ke luar
negeri. Pengangkutan di dalam negeri
spesimen satwa liar wajib dilengkapi dengan Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa
Liar Dalam Negeri (SATS-DN) yang diterbitkan oleh Kepala Balai KSDA.
Izin sebagai pengedar tumbuhan dan satwa liar ke luar
negeri diterbitkan oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam. Pemegang izin sebagai pengedar ke
luar negeri dapat mengangkut/ mengirim spesimen satwa ke luar negeri sesuai
ketentuan yang berlaku. Untuk
menunjukkan legalitas peredaran satwa liar untuk tujuan perdagangan ke luar
negeri, kepada setiap pedagang diwajibkan meliput peredaran tumbuhan dan satwa
liar Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar Luar Negeri (SATS-LN). Terhadap spesimen yang tercantum dalam
Appendiks CITES, peredarannya ke luar negeri (ekspor)/ CITES export
permit. Apabila dari luar negeri (impor)
wajib diliput dengan dokumen CITES import permit, dan pengiriman lagi ke luar
negeri (re-ekspor)/CITES re-export permit).
Dokumen tersebut memuat informasi mengenai jenis dan jumlah satwa liar
yang diangkut, nama dan alamat pengirim dan penerima, serta asal dan tujuan
pengiriman.
Pengusaha pemegang izin pengedar ke luar negeri
tersebut di atas menjadi anggota Himpunan Asosiasi Pemanfaat Flora Fauna
Indonesia (HAPFFI) dan masing-masing perusahaan telah bergabung ke dalam 9
(sembilan) asosiasi pemanfaat fauna flora yang terdiri dari: Semua pedagang satwa liar yang berbadan hukum
sebagaimana lazimnya melakukan asosiasi menurut jenis mata dagangannya. Sampai
saat ini sudah dikenal setidaknya 6 asosiasi yang mempergunakan satwa liar
sebagai komoditas pasar, yaitu:
1. APPBSI (Asosiasi Penangkar dan Pemanfaat Burung
Seluruh Indonesia,)
2. APPRASI (Asosiasi Penangkar dan Pemanfaat
Reptil/Amfibi Seluruh Indonesia,)
3. APPERI (Asosiasi Penangkar dan Pemanfaat Hewan
Percobaan Indonesia,)
4. APPBI (Asosiasi Pengusaha Penangkar Buaya
Indonesia,)
5. AKKII (Asosiasi Koral Kerang dan Ikan Hias
Indonesia,) dan
6. IRRATA (Indonesian Reptile and Amphibi Trade
Association.)
Tabel Satwa liar dari alam
No. Jenis spesimen
Dari Alam
1. Reptil hidup 16
2. Kulit reptil/barang jadi 15
3. Mamalia
9
4. Koral/transplantasi koral 22
5. Insekta 5
6. Amfibi 13
7. Tanduk rusa 5
8. Burung 10
9. Sarang burung walet 10
10. Wallrus(re-ekspor) 6
11. Kulit kanguru(re-ekspor) -
12. Kulit buaya(re-ekspor) -
13 Arwana -
14. Buaya -
Jumlah 128
Tabel satwa liar hasil penangkaran
No. Jenis spesimen
Hasil Penangkaran
1. Reptil hidup 21
2. Kulit reptil/barang jadi -
3. Mamalia
19
4. Koral/transplantasi koral 8
5. Insekta 6
6. Amfibi 1
7. Tanduk rusa -
8. Burung 9
9. Sarang burung walet -
10. Wallrus(re-ekspor) -
11. Kulit kanguru(re-ekspor) -
12. Kulit buaya(re-ekspor) 2
13 Arwana 36
14. Buaya 29
15. Kima dan lola 3
Jumlah 134
Pemanfaatan cangkang kima (Tridacna gigas) sebagaimana diatur dengan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, No. SK.683/Menlhk/Setjen/KSDA.2/8/2016 tentang Penetapan Pemanfaatan Cangkang Kima (Tridacna gigas) yang Berasal dari Kebun Kebun Penduduk di Provinsi Maluku. Sebagaimana yang telah dikutip pada awal tulisan ini.
Pemanfaatan cangkang kima (Tridacna gigas) sebagaimana diatur dengan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, No. SK.683/Menlhk/Setjen/KSDA.2/8/2016 tentang Penetapan Pemanfaatan Cangkang Kima (Tridacna gigas) yang Berasal dari Kebun Kebun Penduduk di Provinsi Maluku. Sebagaimana yang telah dikutip pada awal tulisan ini.
REFERENSI
Ambariyanto. 2007. Pengelolaan Kima Di Indonesia: Menuju Budidaya
Berbasis Konservasi. Seminar Nasional MOLUSKA: Dalam Penelitian, Konservasi dan Ekonomi. 17
Juli 2007.Jurusan Ilmu Kelautan, FPIK Universitas Diponegoro
A.B. Tancung. Kima Biota Laut yang
Terancam Punah. http://ksdasulsel.org/artikel/artikel-flora/252-kima-biota-laut-terancam-punah.
Aspek Biologi Family Tridacnae
(Kima).http://karyatulisilmiah.com/aspek-biologi-famili-tridacnidae-kima
Appendices I, II and III of CITES.
http://www.cites.org/eng/app/appendices.php
Bonham, K. 1965. The growth rate of giant clam Tridacna gigas
of Bikini Atoll,as revealed by radioautography. Science 149:
300-302.
Cabaitan
PC, Gomez ED, and Alino PM. 2008. Effects of coral transplantation and giant
clam restocking on the structure of fish communities on degraded patch reefs. J Exp Mar Biol Ecol. 2008; 357:85–98.
CV. Dinar. http://dinarbali.blogspot.com/
Elfwing
T, Blidberg E, Sison M, and Tedengren M. 2003. A comparison between sites of
growth, physiological performance and stress responses in transplanted Tridacna gigas. Aquaculture. 2003; 219:815–828.
Huelsken
T, Keyse J, Liggins L, Penny S, Treml EA, Riginos C. A novel widespread cryptic
species and phylogeographic patterns within several giant clam species
(Cardiidae: Tridacna) from the Indo-Pacific Ocean. PLoS ONE. 2013; 8:e80858.
Lucas,
J.S., Ledua, E., Braley, R.D. (1991). Tridacna tevoroa Lucas, Ledua and
Braley: A recentlydescribedspecies of giant clam (Bivalvia; Tridacnidae) from
Fiji and Tonga. Nautilus 105(3): 92-103.
Kima: kerang laut raksasa yang
semakin langka. 5 Mei 2011.https://dody94.wordpress.com/
2011/05/05/kima-kerang-raksasa-yang-semakin-langka/
Klumpp, D.W., Bayne,
B.L., Hawkins, A.J.S. 1992. Nutrition of the giant clam Tridacna gigas (L.).
I. Contribution of filter feeding and photosynthates to respiration and growth.
J. Exp. ar. Biol. Ecol. 155: 105-122.
Klumpp, D.W., Lucas,
J.S. 1994. Nutritional ecology of the giant clams Tridacna tevoroa and T.
derasa from Tonga: influence of light on filter-feeding and photosynthesis.
Mar. Ecol. Prog. Ser.107: 147-156.
Klumpp, DW.,
Griffiths, C.L. (1994). Contributions of phototrophic and heterotrophic
nutrition to themetabolic and growth requirements of four species of giant clam
(Tridacnidae). Mar. Ecol. Prog.Ser. 115: 103-115.
Knopp, D. 1995. Giant clams in a
comprehensive guide to the identification and care of Tridacnidae clams. Dahne
Verlag Ettlingen, German. 255 p.
Mudjiono. 1988. Catatan
Beberapa Aspek Kehidupan Kima Suku Tridacnidae (Molusca, Pelecypoda). Oseana.
XIII/2: 37-47.
Mingoa-Licuanan
SS, and Gomez ED. 2002. Giant clam conservation in Southeast Asia. Trop Coasts. 2002;3:24–56.
Panggabean, L.M.G.
2007.Karakteristik Pertumbuhan Kima Pasir, Hippopus
hippopus yang dibesarkan di Pulau Pari.Oseanologi dan Limnologi di Indonesia
(2007) 33 : 469 – 480. Pusat Penelitian Oseanografi –
LIPI.
Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun
1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun
1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 19/Menhut-II/
2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar.
Richter, C., Hilly Roa-Quiaoit, Carin J., Mohammad
Al-Zibdah and Marc K. 2008.Collapse of a New Living Species of Giant Clam in
the Red Sea. Curent Biology 18:1349-1354.
Rosewater, J. 1965.The Family Tridacnidae in the
Indo-Pacific. Molussca 1 (6): 347-394.
Romimohtarto, K., P. Sianipar, dan
L.M.G. Panggabean. 1987. Kima : Biologi, Sumberdaya dan Kelestariannya.Seri
Sumber Daya Alam No. 138. Puslitbang Oseanografi LIPI. Jakarta. pp: 1–34
Soo, P. and P.A, Todd. 2014. The
behaviour of giant clams (Bivalvia: Cardiidae: Tridacninae). Mar
Biol. 2014; 161(12): 2699–2717.
Suara Kendari. 24 Februari 2014.
Belajar Konservasi Kima di Toli-Toli. http://www.suarakendari.com/belajar-konservasi-kima-di-toli-toli.html
Su Y,
Hung J-H, Kubo H, Liu L-L. Tridacna
noae (Röding, 1798)—a
valid giant clam species separated from T. maxima (Röding, 1798) by morphological and
genetic data. Raff Bull
Zool. 2014; 62:124–135.
Tisdell, C. 1989.
Pacific giant clams and their products: an overview of demand and supply. In: Campbell,
H., Menz, K. Waugh, G. (eds). Economics of fishery management in the Pacific region.ACIAR
Proceeding No. 26.p: 100-104.
Tisdell, C. , Shang,
Y.C., Leung, P. (1994). Economics of Commercial Giant Clam Mariculture.ACIAR
Monograph 25.306 p.
The IUCN red List of Threatened
Species. http://www.iucnredlist.org/search
Vicentuan-Cabaitan
K, Neo ML, Eckman W, Teo SL, and Todd PA. 20014. Giant clams shells host a
multitude of epibionts. Bull
Mar Sci. 2014; 90:795–796.
Wells, S. 1996. Tridacna
rosewateri.The IUCN Red List of Threatened Species 1996.
WWF Budidayakan Kima di Taman
Nasional Takabonerate. http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1996/08/26/0046.html
White, C.D. 2012. Morphometrics
Within a Cultured Cohort of Giant Clams (Tridacna gigas):
An Observational Analysis of Gene Expression.University of Colorado.
An Observational Analysis of Gene Expression.University of Colorado.
www.indonesiamedia.com. Kima Super Raksasa
Ditemukan di Sultra. 10 Juli 2011. http://www.indonesiamedia.com/kima-super-raksasa-ditemukan-di-sultra/
www.kabarkami.com. Surga Kerang
raksasa di Taman Laut Toli-toli. 10 Mei 2013. www.kabarkami.com/kandidat-spesies-kerang-raksasa-baru-di-taman-laut-toli-toli.html
Yonge
CM. Giant clams. Sci Am.
1975;232:96–105
Foto sebagian besar berasal dari: Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (BPSPL) Pontianak
makasih infonya sangat bermanfaat, kami tunggu artikel selanjutnya
BalasHapusSelaput Dara Buatan
Obat Perangsang
Viagra USA Obat Kuat Pria
Bio Slim Herbal
Obat Mata Herbal
Perangsang Wanita
Obat Perangsang Cair
Perangsang Sex Drops
Semenax Penyubur Sperma
Vagina Tabung
Vagina Center
Boneka Seks Full Body Cantik
Vagina Pinggul
Alat Bantu Sex Pria
Vagina Elektrik
Penis Elektrik
Penis Tempel
Penis Manual
Penggeli Vagina
Penggemuk Badan
Cialis Obat Perkasa
Meizitang Obat Diet Alami
Quick Slim Penurun Berat Badan
Obat Peninggi Grow Up USA
Celana Hernia
Vigrxplus Pembesar Vital
Herbal Slim Peluntur Lemak
Pelangsing Lida
Vakum Penis
Alat Pembesar Penis
Pembesar Payudara
vimax canada Pembesar Penis Alami
مشاوره پایان نامه
BalasHapusانجام پایان نامه ارشد
انجام پایان نامه کارشناسی ارشد