Sabtu, 28 November 2015

Pengelolaan dan Pemanfaatan Kima (Tridacnidae Sp.) Serta Aspek Regulasinya



 

1.          Latar Belakang

Kima dikenal sebagai kerang raksasa karena ukurannya yang relatif besar. Kima termasuk dalam keluarga Tridacnidae yang hidup tersebar di ekosistem karang di wilayah Indo-Pasifik. Sebarannya meliputi dari belahan utara dunia sampai ke belahan selatan serta dari bagian barat hingga ke bagian timur dunia. Di belahan utara dunia, kima dapat ditemukan wilayah Jepang Selatan dan di belahan selatan dunia ditemukan di sekitar wilayah Great Barrier Reef. Sedangkan di barat dunia ditemukan di pantai timur Afrika hingga bagian timur dunia yaitu di negara-negara Pasifik Selatan. Kima, seperti halnya jenis-jenis kerang lainnya, mempunyai cangkang yang terdiri dari dua tangkup simetries yang terbuat dari zat kapur. Permukaan cangkang bagian luar membentuk lekukan dan tonjolan, ini tersusun sedemikian rupa sehingga terbentuklah suatu bangunan seperti kipas, sedangkan organ dalam kima diselubungi oleh mantel yang tebal (Mudjiono, 1988).
Nama lokal kima di Indonesia bermacam-macam, yaitu: kerang, kerang raksasa, tiram karang, bia, suwat, wawat, dan fika-fika.
Dilihat dari cara hidupnya, kima dibedakan menjadi dua golongan, yaitu golongan pertama yang hidupnya membenamkan diri pada karang baik seluruh atau sebagian dari cangkangnya, sedangkan golongan kedua adalah jenis kima yang hidupnya menempel atau bebas di antara batu karang, hidup bebas di dasar yang berpasir di daerah terumbu karang (Mudjiono, 1988). Kima masuk dalam suku Tridacnidae yang memiliki 2 marga yaitu Tridacna dan Hippopus. Tridacna hidup menempel dan ada yang membenamkan diri atau cangkang pada substrat keras (batu karang) dengan menggunakan bysus, sedangkan Hippopus hidup pada substrat berpasir, jenis ini tidak memiliki bysus (Knopp, 1995).
Berdasarkan pendapat Soo dan Todd (2014), suku Tridacnae terdiri dari 12 spesies yang terbagi dalam 2 marga (Tridacna dan Hippopus), yaitu: T. gigas (Linnaeus 1758), T. derasa (Röding 1789); T. squamosa (Lamarck 1819); Tridacna noae (Röding 1798) yang baru-baru ini dipisahkan dari T. maxima oleh Su et al. (2014), T. maxima (Röding 1789); T. crocea (Lamarck 1819); T. mbalavuana (Ladd 1934) atau Tridacna tevoroa (Lucas, Ledua & Braley, 1990), T. squamosina (Sturany 1899) sebelumnya dikenal sebagai T. costata (Richter, Roa-Quiaoit, Jantzen, Al-Zibdah, Kochzius, 2008), T. rosewateri (Sirenko & Scarlato 1991), Tridacna sp. yaitu jenis kima yang masih belum jelas ditemukan oleh Huelsken et al., (2013), H. hippopus (Linnaeus 1758), dan H. porcellanus (Rosewater 1982).
 Saat ini, dikenal ada 7 jenis kima di perairan Indonesia dan bertambah dengan ditemukannya 1 spesies baru di perairan Toli-toli pada tahun 2011 (Tabel 1). Bagi masyarakat Pulau Labengki, jenis kima baru ini disebut sebagai kimaboe (kima air) karena jika daging kima ini diambil, maka akan keluar banyak air dan hanya menyisakan sedikit daging. Awalnya, jenis kima ini dicurigai sebagai T. tevoroa karena memiliki bentuk dan lekukan cangkang yang sama. Namun, setelah dilakukan penelitian oleh  Prof. John Lucas dan Dr. Richard D Braley (penemu T. tevoroa di Kepulauan Fiji dan Tonga di Samudera Pasifik), dari Queensland University-Australia, dipastikan bahwa kima tersebut bukan T. tevoroa. Spesifikasi kima ini ditetapkan sebagai kima spesies baru pada tahun 2013, dan menjadi spesies kima terbesar kedua di dunia dengan panjang cangkang 55,5 cm, lebih besar dari T. tevoroa dan T. derasa. Spesies kima yang baru diteliti ini dinamakan Tridacna kimaboe (www.kabarkami.com). Kemungkinan masih adanya jenis kima baru lainnya di perairan Indonesia, khususnya di Toli toli masih terbuka, dengan ditemukannya jenis kima yang mirip dengan T. rosewateri. Menurut Dr. Ambariyanto, ahli kima dari Universitas Diponegoro hal ini perlu dibuktikan dengan uji DNA seperti standar baku penentuan spesies baru (www.indonesiamedia.com).  

Tabel 1. Jenis kima terdapat di perairan Indonesia

No.

Nama Ilmiah

Nama umum

Nama lokal

1.

Tridacna crocea (Lamrck, 1819)

Boring Clam, Crocus Clam, Saffron-coloured Clam

Kima lubang, kunai

2.

Tridacna maxima (Roding, 1798)

Small Giant Clam

Kima kecil

3.

Tridacna squamosa (Linnaeus, 1758)

Fluted Clam, Fluted Giant Clam, Scaly Clam

Kima sisik, suling

4.

Tridacna derasa (Roding, 1798)

Southern Giant Clam

Kima selatan

5.

Tridacna gigas(Linnaeus, 1758)

Giant Clam (English), Bénitier Géant (French)

Kima raksasa

6.

Hippopus hippopus (Linnaeus, 1758)

Bear Paw Clam,Horse's Hoof Clam, Strawberry Clam

Kima tapak beruang, kima pasir

7.

Hippopus porcellanus (Rosewater, 1982)

China Clam

Kima cina, kima porselen

8

Tridacna kimaboe (2013)


 

Kimaboe


 

Tabel 2. Tiga jenis kima yang merupakan kima endemik yang hidup di luar Indonesia (Richter et al., 2008; (Lucas et al., 1991; Wells, 1996; IUCN The Redlist)

No.

Nama Ilmiah

Nama umum

Nama lokal

Habitat

1.

T. squamosina (Sturany 1899) sinonim dengan

Tridacna costata (Richter, Roa-Quiaoit, Jantzen, Al-Zibdah, Kochzius, 2008)

Red Sea or Ribbed Giant Clam

kima laut merah

Teluk Aqaba, Pantai Mesir, Laut Merah

2.

Tridacna rosewateri (Sirenho & Scarlato, 1991)

Rosewater’s or Mauritius Giant Clam

kima rosewater, kima mauritius 

Daerah gosong Saya de Malha, Massacring plateu, Mauritius (sebelah timur Madagaskar)

3.

Tridacna mbalavuana (Ladd 1934) sinonim dengan Tridacna tevoroa (Lucas, Ledua & Braley, 1990)

Tevoro Clam or Evil Giant Clam(English), Bénitier De Tevoro(French)

Kima iblis, kima tevoro

Bagian timur Pulau Lau di Fiji dan bagian selatan P. Vava’u dan P. Ha’apai di Tonga


 



Pada waktu masih muda kima semuanya berkelamin jantan, tetapi setelah dewasa biota ini segera berubah menjadi hermaprodit. Setiap satu individu dapat menghasilkan sperma dan sel telur, namun proses pematangan keduanya tidak terjadi secara bersamaan, sehingga pembuahan dari satu individu tidak terjadi. Kima hidup bersimbiosis mutualisme dengan zooxanthellae, alga yang mampu berfotosintesa ini ditemukan di bagian mantel kima (Mudjiono, 1988). Translokasi hasil fotosintesa dari zooxanthellae merupakan sumber energi utama bagi kima selain dari proses filter feeding (Klumpp et al., 1992; Klumpp & Griffiths, 1994; Klumpp & Lucas, 1994). Kehidupan asossiasi ini sangat efisien dan mengoptimalkan pertumbuhan kedua belah pihak, sehingga memungkinkan kima tumbuh menjadi sangat besar (Griffith & Streamer, 1988). Jenis kima terbesar T. gigas pernah dijumpai mencapai rekor ukuran sebesar 1,4 m dan seberat 263 kg (Panggabean, 2007), dan diduga umur kima bisa mencapai 8 sampai ratusan tahun (Rosewater, 1965). Zooxanthellae berfungsi juga untuk memberikan warna mantel pada kima itu sendiri (Yonge, 1975). Sekarang ini banyak penelitian dikembangkan untuk menentukan warna mantel dari kima.
Manfaat kima dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek ekologis dan aspek ekonomis.
Aspek Ekologis. Selain dari zooxanthellae, kima juga mencari makan dengan cara menyaring partikel organik dari air laut.    Aktivitas ini berperan penting dalam membersihkan air laut dari populasi mikroorganisme yang berlebihan, sehingga air laut menjadi lebih sehat dan keseimbangan ekosistem pun lebih terjaga. Kima berfungsi sebagai biofilter alami yang menyaring nutrien terlarut (Mingoa-Licuanan and Gomez 2002). Zat-zat berbahaya seperti logam berat juga ikut tersaring, dan terakumulasi di dalam kima. Dengan demikian banyak penelitian dikembangkan untuk mengetahui kandungan logam berat di daerah terumbu karang dengan kima sebagai bioindikatornya. Kima juga memegang peranan penting dalam ekosistem terumbu karang, selain menjadi salah satu biota laut yang membuat terumbu karang berwarna-warni indah. Cangkang kima sebagai tempat nursery bagi ikan (Cabaitan et al., 2008), juga sebagai tempat perlindungan bagi biota filter feeding yang lebih kecil seperti teritip, polychaeta dan sponge (Elfwing et al., 2003; Vicentuan-Cabaitan et al., 2014). Pengambilan kima di alam (contoh: kima yang hidup menempel atau membenamkan diri pada karang atau yang hidup di sela-sela karang), dapat dipastikan juga akan merusak karang di sekitar tempat dimana kima tersebut hidup (Ambariyanto, 2007).
Aspek Ekonomis. Secara tradisional  kima dimanfaatkan oleh penduduk di sekitar pantai baik yang digunakan untuk bahan makanan, bahan bangunan, kebutuhan rumah tangga dan sebagai souvenir maupun hewan akuarium yang sangat digemari (Sya’rani, 1987; Pasaribu, 1988). Di wilayah Indonesia timur, daging/otot kima yang dikeringkan, dipercaya sebagai afrodisiak yang mampu meningkatkan vitalitas pria. Di pulau-pulau terpencil, masyarakat mengumpulkan kima hidup di tempat tertentu sebagai bahan makanan cadangan saat musim ombak besar tiba. Di Jepang, daging dan otot kima dikonsumsi sebagai makanan laut yang disebut Himejako. Daging kima dari spesies berukuran kecil dibuat sushi dan sashimi, sedangkan otot adduktor dari T. squamosa dan H.hippopus dimakan mentah atau dikeringkan dan dijual dengan harga yang cukup tinggi. Di Taiwan, Hongkong, Cina dan di Amerika Serikat, otot adduktor kima kering memiliki harga yang lebih tinggi daripada cumi-cumi dan sotong kering.
Secara tradisional, masyarakat di daerah pesisir telah menggunakan cangkang kima sebagai peralatan rumah tangga seperti tempat sabun, mangkuk, asbak, dan perhiasan. Di Indonesia, khususnya di Jepara dan Kepulauan Seribu, cangkang kima dikumpulkan sebagai bahan baku untuk industri keramik di Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali (Romimohtarto et al., 1987).
Sedangkan dewasa ini kima juga dikenal sebagai salah satu hewan akuarium yang sangat menarik karena mantelnya berwarna-warni dan juga merupakan komoditi eksport yang sangat penting dari berbagai negara (Tisdell, 1989; Tisdell et al., 1994). Di pasaran luar negeri, untuk spesies Tridacna maxima yang berukuran 2 inchi dan mempunyai warna bagus dan menarik dijual seharga US$ 40/ekor dalam kondisi hidup untuk dimanfaatkan sebagai hewan hias di akuarium. Kima yang dijual ini adalah hasil budidaya yang bersertifikat dan bukan berasal dari alam (Ambariyanto, 2007).
Jepang, Cina, Taiwan, dan Singapura diperkirakan sebagai pengimpor daging kima yang cukup besar pada tahun 1980an hingga awal tahun 1990an. Diperkirakan kebutuhan otot adduktor kima di Taiwan saat itu sekitar 30 ton/tahun. Filipina dikenal sebagai negara yang paling banyak memproduksi cangkang kima di dunia yang diekspor ke Jepang, Australia, AS, dan beberapa negara Eropa.  Permintaan kima hidup sebagai hewan hias aquarium semakin meningkat yaitu dari Australia, Amerika Serikat dan Hawai.
Penyebab penurunan populasi kima di dunia karena pengambilan kima secara besar-besaran di alam (over exploitation). Nilai ekonomi adalah faktor pendorong utama eksploitasi kima di alam. Selain mudah ditangkap, kima mempunyai siklus reproduksi yang panjang dan pertumbuhan yang lambat. Laju reproduksi dan pertumbuhan yang tidak secepat laju penangkapan menyebabkan kima rentan terhadap eksploitasi. Untuk mencapai ukuran komersial dan dapat berkembang biak kima membutuhkan waktu 4-6 tahun. Polusi, kerusakan lingkungan dan segala aktivitas di daerah terumbu karang seperti penangkapan ikan dan pengambilan karang, juga merupakan ancaman terhadap kima. Kima kecil (T. maxima) dilaporkan keberadaanya telah punah di perairan Hong Kong, dan jenis-jenis kima lainnya kemungkinan mengalami kepunahan di beberapa negara (IUCN The Redlist). Umumnya  populasi kima di  alam didominasi  jenis kima  kecil  seperti T.  crocea dan T. maxima  sedangkan  jenis  kima  berukuran  besar seperti  T.  squamosa,  T.  derasa  dan  Hippopus hippopus sudah sangat jarang ditemukan bahkan T.  gigas  sudah  tidak ditemukan di beberapa perairan di Indonesia (Ambariyanto, 2007).  

2.       Regulasi dan Status Konservasi
a.         Nasional
1. Dalam Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 yang memasukkan ketujuh jenis kima yang hidup di perairan Indonesia menjadi satwa yang berstatus dilindungi, dimana semua bentuk pemanfaatannya yang bersifat eksploitatif (penangkapan dan perdagangan) tidak diperbolehkan, dikecualikan hasil dari peangkaran (budidaya) dan setelah diberikan status sebagai satwa buru (sesuai Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1999).
2. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. Nomor: SK.683/Menlhk/Setjen/KSDA.2/8/2016 tentang Penetapan Pemanfaatan Cangkang Kima (Tridacna gigas) yang Berasal dari Kebun Kebun Penduduk di Provinsi Maluku. Substansinya Memutuskan: Menetapkan: Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Penetapan Pemanfaatan Cangkang Kima (Tridacna gigas) yang Berasal dari Kebun Kebun Penduduk di Provinsi Maluku.
Kesatu: Menetapkan pemanfaatan cangkang kima (Tridacna gigas) yang berasal dari kebun kebun penduduk di Provinsi Maluku,
 Kedua: Pemanfaatan cangkang kima (Tridacna gigas) sebagaimana dimaksud pada amar kesatu diambil dari luar Kawasan Pelestarian Alam, Kawasan Suaka Alam atau Taman Buru,
Ketiga: Pemanfaatan cangkang kima (Tridacna gigas) sebagaimana dimaksud pada amar kesatu, sebanyak 1.500 m3 (seribu lima ratus meter kubik) dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Pengambilan cangkang kima (Tridacna gigas) dilakukan di kebun kebun penduduk di 
     provinsi Maluku yang berjarak 2 (dua) km daari pantai;
2. Cangkang kima (Tridacna gigas) yang dapat dimanfaatkan hanya yang telah mengalami 
     rekristalisasi atau telah mengalami fosilisasi;
3. Pengambilan cangkang kima (Tridacna gigas) dilakukan secara tradisional dan tidak 
    menimbulkan kerusakan lingkungan.
 Keempat: Pemanfaatan cangkang kima (Tridacna gigas) sebagaimana dimaksud dalam amar ketiga dilakukan melalui penetapan kuota oleh Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem setelah mendapat rekomendasi dari LIPI.
 Kelima: Pemegag izin wajib melaporkan hasil pemanfaatan cangkang kima (Tridacna gigas) secara periodic kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam Maluku,
 Keenam: Keputusan ini berlaku 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal ditetapkan (31 Agustus 2016)

b.        CITES
Awalnya pada tahun 1983, hanya spesies T. derasa, T. gigas dan T. maxima masuk ke dalam daftar apendik II CITES, kemudian sejak tahun 1985, seluruh suku Tridacnidae masuk ke dalam apendiks II CITES .
CITES telah memasukkan semua jenis kima dalam daftar Appendik II, yang berarti bahwa pemanfaatan kima dari habitat alam untuk tujuan perdagangan internasional masih diperbolehkan dengan penerapan control yang ketat dan penerapan prinsip-prinsip Non Detrimental Findings (pemanenan lestari) yang meliputi 3 aspek utama yaitu : keberlanjutan (sustainability), ketelusuran atau keterlacakan (traceability) dan legalitas (legality).

c.         IUCN
Lembaga internasional IUCN memasukkan 2 spesies kima ke dalam satus vulnerable (VU) yang berarti spesies menghadapi resiko punah di alam liar, yaitu T. derasa dan T. gigas. Lima spesies kima lainnya, yaitu T. maxima, T. squamosa, T. crocea, H. hippopus dan H. porcellanus, dimasukkan ke dalam status least concern (LC) yaitu untuk spesies yang telah dievaluasi namun tidak masuk ke dalam kategori manapun.

3.       Upaya yang sudah dilakukan

a.         Upaya perlindungan
Upaya perlindungan kima di Indonesia dimulai sejak dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.12/Kpts-II/1987 yang melarang penangkapan dan perdagangan kima. Kemudian diperkuat oleh Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999.  Namun eksploitasi kima di alam terus terjadi, sehingga beberapa spesies sudah jarang ditemukan, tiga spesies kima sudah sangat jarang ditemukan, yaitu T. gigas, T. derasa dan H. porcellanus.
Sebagai salah satu contoh; survey yang dilakukan oleh Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (BPSPL) Pontianak sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) dari Ditjen Pengelolaan Ruang Laut (PRL) – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di perairan Anambas menunjukkan bahwa populasi kima sudah termasuk langka.








b.        Upaya pelestarian
Upaya penangkaran / budidaya dan restocking sangat penting untuk menjaga populasi kima di alam. Upaya penangkaran kima telah dilakukan oleh CV Dinar di Desa Tembok - Bali untuk tujuan ekspor. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.509/Kpts-VI/1997, CV Dinar sejak tahun 1997 mulai melakukan penangkaran biota laut dari jenis kima (T. squamosa, T. giga, T. derasa, T. maxima dan H. porcelanus).
Pada tahun 2003 LIPI yang berkerja sama dengan CV. Dinar yang menyediakan bibit kima, telah mengintroduksikan kima pasir di perairan Pulau Pari untuk memulihkan kembali kondisi stok kima langka tersebut.
Konservasi Taman Laut Kima di Desa Toli-Toli, Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara merupakan satu-satunya kawasan konservasi kima di Indonesia yang didirikan atas dasar kesadaran masyarakat sekitarnya pada tahun 2010. Sejak dua tahun belakangan telah dibudidayakan sekitar 8000 kerang kima berbagai jenis dan ukuran di perairan tersebut.
Pada tahun 1996 WWF bekerja sama dengan masyarakat setempat dalam budidaya kima dan jenis biota laut lainnya di Taman Nasional Laut Taka Bonerate, Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan. Upaya pengembangbiakan kima dilakukan dengan membuat sebuah hatchery mini di dalam kawasan Taman Nasional Taka Bonerate, yaitu di Pulau Rajuni Kecil.
Sebelum WWF, Universitas Hasanuddin (UNHAS) telah bekerjasama dengan Marine Science dan ADB (Asian Development Bank) untuk program konservasi kima, dengan membudidayakan kima di Pulau Barrang Lompo, Makassar.
Pembudidayaan kima di Indonesia masih jarang dilakukan dikarenakan lamanya proses budidaya dan sulit untuk memperoleh bibit serta biaya teknologi pembibitan yang mahal.
      
4.       Pemanfaatan Kima
Secara tradisional biota ini dimanfaatkan oleh penduduk di sekitar pantai sebagai bahan makanan, bahan bangunan, kebutuhan rumah tangga dan souvenir. Dewasa ini kima juga dikenal sebagai salah satu hewan akuarium yang sangat menarik dan menjadi komoditi ekspor.
Otot adduktor kima yang menyatukan kedua cangkang dianggap sebagai bahan pangan yang istimewa,dan menjadi primadona pada tahun 1980-an hingga awal tahun 1990-an di Jepang, Cina, Taiwan, dan Singapura.
Sejak awal tahun 1990-an perdagangan kima secara internasional, baik daging maupun cangkangnya, relatif menurun karena seluruh kima dimasukkan ke dalam daftar apendiks II CITES. Implementasi pemanfaatan kima di Indonesia hanya diizinkan bagi hasil penangkaran / budidaya. Namun pemanfaatan kima untuk tujuan komersial masih dimungkinkan dengan ijin Menteri Kehutanan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1999 tentang “Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar”.  Hasil penangkaran kima yang dapat digunakan untuk keperluan perdagangan adalah setidaknya merupakan generasi kedua (F2) .

Pemanfaatan jenis ikan yang dilindungi atau terancam punah seperti kima merupakan rangkaian dari kegiatan konservasi sumber daya ikan  berazaskan pelestarian  dan pemanfaatan secara seimbang melalui kegiatan :

1)   perlindungan baik individu populasi maupun ekosistemtemnya sebagai sistem ekologis penting penyangga kehidupan;

2)   pelestarian baik populasinya melalui usaha budidaya maupun habitat sebagai ekosistemnya ;

3)  pemanfaatan secara berkelanjutan. 

Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999, jenis tumbuhan dan satwa liar termasuk kima di dalamnya, dapat dimanfaatkan untuk keperluan:

a)   Pengkajian, penelitian dan pengembangan;

b)   Penangkaran;

c)   Perburuan;

d)   Perdagangan;

e)   Peragaan;

f)   Pertukaran;

g)   Budidaya tanaman obat-obatan, dan

h)  Pemeliharaan untuk kesenangan.   

Pemanfaatan kima di awali dari kegiatan penangkapan dari alam (habitat alam) atau pengambilan dari hasil penangkaran / budidaya (pengembangbiakan  atau pembesaran) terhadap jenis-jenis yang termasuk dalam Appendiks CITES maupun Non-Appendiks CITES baik yang dilindungi maupun yang tidak dilindungi.  Untuk pemanfaatan jenis yang dilindungi harus dilakukan penangkaran / budidaya atau biota tersebut ditetapkan terlebih dahulu sebagai satwa buru di wilayah Indonesia. 
Diperlukan 2 jenis ijin untuk dapat memperdagangkan kima, yaitu:

1. Ijin mengambil dan menangkap, dan
2. Ijin mengedarkan.

Ijin yang pertama diberikan dalam batas kuota di suatu wilayah provinsi. Dan perlu diingat bahwa komoditas satwa liar termasuk kima, itu diperdagangkan bukan hanya di satu tempat tetapi bisa kemana-mana. Biasanya dapat dilakukan setelah melalui prosedur tertentu yang menyangkut masalah transportasi dan jaminan tempat perawatan yang standar. Karena itu diperlukan ‘Ijin mengedarkan’ yang terdiri dari:

2.a. Ijin Mengedarkan Dalam Negeri, dan
2.b. Ijin Mengedarkan Luar Negeri.


Untuk dapat memanfaatkan secara komersial, terdiri dari pemanfaatan dalam negeri dan pemanfatan ke luar negeri.  Untuk pemanfaatan komersial dalam negeri, maka setiap orang atau badan usaha harus mendapat izin pemanfaatan komersial dalam negeri berupa  izin mengedarkan spesimen tumbuhan atau satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang atau satwa yang dilindungi sebagai hasil penangkaran / budidaya atau satwa yang telah ditetapkan sebagai satwa buru di dalam negeri.  Sedangkan untuk pemanfaatan komersial ke luar negeri, maka setiap badan usaha harus mendapat izin pemanfaatan komersial luar negeri berupa  izin mengedarkan spesimen tumbuhan atau satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang atau satwa yang dilindungi sebagai hasil penangkaran ke luar negeri.

Kuota Penangkapan atau Pengambilan

Perdagangan jenis satwa liar diawali dengan penetapan kuota pengambilan/ penangkapan satwa liar dari alam yang merupakan batas maksimal jenis dan jumlah spesimen satwa liar yang dapat diambil dari habitat alam. Penetapan kuota pengambilan/penangkapan tumbuhan dan satwa liar didasarkan pada prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dan dasar-dasar sebagaimana tertuang dalam Article IV CITES. Dalam proses penyusunan kuota disadari bahwa ketersediaan data potensi biota dimaksud yang menggambarkan populasi dan penyebaran setiap jenis masih sangat terbatas.   Kuota ditetapkan oleh Direktur Jenderal PHKA berdasarkan rekomendasi LIPI untuk setiap kurun waktu 1 (satu) tahun takwim untuk spesimen  baik yang termasuk maupun tidak termasuk dalam daftar Appendiks CITES baik jenis yang dilindungi maupun tidak dilindungi undang-undang.

Izin Mengedarkan
Izin sebagai pengedar Tumbuhan dan Satwa Liar Dalam Negeri diterbitkan oleh Kepala Balai KSDA. Pemegang izin sebagai pengedar dalam negeri yang akan mengambil atau menangkap satwa wajib memiliki izin pengambilan atau penangkapan yang diterbitkan oleh Kepala Balai KSDA, serta wajib memiliki tempat dan fasilitas penampungan tumbuhan dan satwa liar yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal.  Satwa hasil penangkapan, dapat diangkut ke daerah lain untuk diedarkan di dalam negeri, atau dapat juga diangkut ke pengedar dalam negeri di daerah lain yang selanjutnya diangkut ke luar negeri.  Pengangkutan di dalam negeri spesimen satwa liar wajib dilengkapi dengan Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar Dalam Negeri (SATS-DN) yang diterbitkan oleh Kepala Balai KSDA.

Izin sebagai pengedar tumbuhan dan satwa liar ke luar negeri diterbitkan oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.  Pemegang izin sebagai pengedar ke luar negeri dapat mengangkut/ mengirim spesimen satwa ke luar negeri sesuai ketentuan yang berlaku.   Untuk menunjukkan legalitas peredaran satwa liar untuk tujuan perdagangan ke luar negeri, kepada setiap pedagang diwajibkan meliput peredaran tumbuhan dan satwa liar Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar Luar Negeri (SATS-LN).  Terhadap spesimen yang tercantum dalam Appendiks CITES, peredarannya ke luar negeri (ekspor)/ CITES export permit.  Apabila dari luar negeri (impor) wajib diliput dengan dokumen CITES import permit, dan pengiriman lagi ke luar negeri (re-ekspor)/CITES re-export permit).  Dokumen tersebut memuat informasi mengenai jenis dan jumlah satwa liar yang diangkut, nama dan alamat pengirim dan penerima, serta asal dan tujuan pengiriman.
Pengusaha pemegang izin pengedar ke luar negeri tersebut di atas menjadi anggota Himpunan Asosiasi Pemanfaat Flora Fauna Indonesia (HAPFFI) dan masing-masing perusahaan telah bergabung ke dalam 9 (sembilan) asosiasi pemanfaat fauna flora yang terdiri dari: Semua pedagang satwa liar yang berbadan hukum sebagaimana lazimnya melakukan asosiasi menurut jenis mata dagangannya. Sampai saat ini sudah dikenal setidaknya 6 asosiasi yang mempergunakan satwa liar sebagai komoditas pasar, yaitu:

1. APPBSI (Asosiasi Penangkar dan Pemanfaat Burung Seluruh Indonesia,)
2. APPRASI (Asosiasi Penangkar dan Pemanfaat Reptil/Amfibi Seluruh Indonesia,)
3. APPERI (Asosiasi Penangkar dan Pemanfaat Hewan Percobaan Indonesia,)
4. APPBI (Asosiasi Pengusaha Penangkar Buaya Indonesia,)
5. AKKII (Asosiasi Koral Kerang dan Ikan Hias Indonesia,) dan
6. IRRATA (Indonesian Reptile and Amphibi Trade Association.)

Tabel Satwa liar dari alam

No. Jenis spesimen  Dari Alam
1. Reptil hidup 16
2. Kulit reptil/barang jadi 15
3.  Mamalia 9
4. Koral/transplantasi koral 22
5. Insekta 5
6. Amfibi 13
7. Tanduk rusa 5
8. Burung 10
9. Sarang burung walet 10
10. Wallrus(re-ekspor) 6
11. Kulit kanguru(re-ekspor) -
12. Kulit buaya(re-ekspor) -
13 Arwana -
14. Buaya -
Jumlah 128

Tabel satwa liar hasil penangkaran

No. Jenis spesimen  Hasil Penangkaran
1. Reptil hidup 21
2. Kulit reptil/barang jadi -
3.  Mamalia 19
4. Koral/transplantasi koral 8
5. Insekta 6
6. Amfibi 1
7. Tanduk rusa -
8. Burung 9
9. Sarang burung walet -
10. Wallrus(re-ekspor) -
11. Kulit kanguru(re-ekspor) -
12. Kulit buaya(re-ekspor) 2
13 Arwana 36
14. Buaya 29
15. Kima dan lola 3
Jumlah 134

Pemanfaatan cangkang kima (Tridacna gigas) sebagaimana diatur dengan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, No. SK.683/Menlhk/Setjen/KSDA.2/8/2016 tentang Penetapan Pemanfaatan Cangkang Kima (Tridacna gigas) yang Berasal dari Kebun Kebun Penduduk di Provinsi Maluku.  Sebagaimana yang telah dikutip pada awal tulisan ini.


REFERENSI

Ambariyanto. 2007. Pengelolaan Kima Di Indonesia: Menuju Budidaya Berbasis Konservasi.  Seminar Nasional MOLUSKA: Dalam Penelitian, Konservasi dan Ekonomi. 17 Juli 2007.Jurusan Ilmu Kelautan, FPIK Universitas Diponegoro
A.B. Tancung. Kima Biota Laut yang Terancam Punah. http://ksdasulsel.org/artikel/artikel-flora/252-kima-biota-laut-terancam-punah.
Appendices I, II and III of CITES. http://www.cites.org/eng/app/appendices.php
Bonham, K. 1965. The growth rate of giant clam Tridacna gigas of Bikini Atoll,as revealed by radioautography. Science 149: 300-302.
Cabaitan PC, Gomez ED, and Alino PM. 2008. Effects of coral transplantation and giant clam restocking on the structure of fish communities on degraded patch reefs. J Exp Mar Biol Ecol. 2008; 357:85–98.
Elfwing T, Blidberg E, Sison M, and Tedengren M. 2003. A comparison between sites of growth, physiological performance and stress responses in transplanted Tridacna gigas. Aquaculture. 2003; 219:815–828.
Huelsken T, Keyse J, Liggins L, Penny S, Treml EA, Riginos C. A novel widespread cryptic species and phylogeographic patterns within several giant clam species (Cardiidae: Tridacna) from the Indo-Pacific Ocean. PLoS ONE. 2013; 8:e80858.
Lucas, J.S., Ledua, E., Braley, R.D. (1991). Tridacna tevoroa Lucas, Ledua and Braley: A recentlydescribedspecies of giant clam (Bivalvia; Tridacnidae) from Fiji and Tonga. Nautilus 105(3): 92-103.
Kima: kerang laut raksasa yang semakin langka.  5 Mei 2011.https://dody94.wordpress.com/ 2011/05/05/kima-kerang-raksasa-yang-semakin-langka/
Klumpp, D.W., Bayne, B.L., Hawkins, A.J.S. 1992. Nutrition of the giant clam Tridacna gigas (L.). I. Contribution of filter feeding and photosynthates to respiration and growth. J. Exp. ar. Biol. Ecol. 155: 105-122.
Klumpp, D.W., Lucas, J.S. 1994. Nutritional ecology of the giant clams Tridacna tevoroa and T. derasa from Tonga: influence of light on filter-feeding and photosynthesis. Mar. Ecol. Prog. Ser.107: 147-156.
Klumpp, DW., Griffiths, C.L. (1994). Contributions of phototrophic and heterotrophic nutrition to themetabolic and growth requirements of four species of giant clam (Tridacnidae). Mar. Ecol. Prog.Ser. 115: 103-115.
Knopp, D. 1995. Giant clams in a comprehensive guide to the identification and care of Tridacnidae clams. Dahne Verlag Ettlingen, German. 255 p.
Mudjiono. 1988. Catatan Beberapa Aspek Kehidupan Kima Suku Tridacnidae (Molusca, Pelecypoda). Oseana. XIII/2: 37-47.
Mingoa-Licuanan SS, and Gomez ED. 2002. Giant clam conservation in Southeast Asia. Trop Coasts. 2002;3:24–56.
Panggabean, L.M.G. 2007.Karakteristik Pertumbuhan Kima Pasir, Hippopus hippopus yang dibesarkan di Pulau Pari.Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (2007) 33 : 469 – 480. Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI.
Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 19/Menhut-II/ 2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar.
Richter, C., Hilly Roa-Quiaoit, Carin J., Mohammad Al-Zibdah and Marc K. 2008.Collapse of a New Living Species of Giant Clam in the Red Sea. Curent Biology 18:1349-1354.
Rosewater, J. 1965.The Family Tridacnidae in the Indo-Pacific. Molussca 1 (6): 347-394.
Romimohtarto, K., P. Sianipar, dan L.M.G. Panggabean. 1987. Kima : Biologi, Sumberdaya dan Kelestariannya.Seri Sumber Daya Alam No. 138. Puslitbang Oseanografi LIPI. Jakarta. pp: 1–34
Soo, P. and P.A, Todd. 2014. The behaviour of giant clams (Bivalvia: Cardiidae: Tridacninae). Mar Biol. 2014; 161(12): 2699–2717.
Suara Kendari. 24 Februari 2014. Belajar Konservasi Kima di Toli-Toli. http://www.suarakendari.com/belajar-konservasi-kima-di-toli-toli.html
Su Y, Hung J-H, Kubo H, Liu L-L. Tridacna noae (Röding, 1798)—a valid giant clam species separated from T. maxima (Röding, 1798) by morphological and genetic data. Raff Bull Zool. 2014; 62:124–135.
Tisdell, C. 1989. Pacific giant clams and their products: an overview of demand and supply. In: Campbell, H., Menz, K. Waugh, G. (eds). Economics of fishery management in the Pacific region.ACIAR Proceeding No. 26.p: 100-104.
Tisdell, C. , Shang, Y.C., Leung, P. (1994). Economics of Commercial Giant Clam Mariculture.ACIAR Monograph 25.306 p.
The IUCN red List of Threatened Species. http://www.iucnredlist.org/search
Vicentuan-Cabaitan K, Neo ML, Eckman W, Teo SL, and Todd PA. 20014. Giant clams shells host a multitude of epibionts. Bull Mar Sci. 2014; 90:795–796.
Wells, S. 1996. Tridacna rosewateri.The IUCN Red List of Threatened Species 1996.
WWF Budidayakan Kima di Taman Nasional Takabonerate. http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1996/08/26/0046.html 
White, C.D. 2012. Morphometrics Within a Cultured Cohort of Giant Clams (Tridacna gigas):
An Observational Analysis of Gene Expression.University of Colorado.
www.indonesiamedia.com. Kima Super Raksasa Ditemukan di Sultra. 10 Juli 2011. http://www.indonesiamedia.com/kima-super-raksasa-ditemukan-di-sultra/
www.kabarkami.com. Surga Kerang raksasa di Taman Laut Toli-toli. 10 Mei 2013. www.kabarkami.com/kandidat-spesies-kerang-raksasa-baru-di-taman-laut-toli-toli.html
Yonge CM. Giant clams. Sci Am. 1975;232:96–105



Foto sebagian besar berasal dari: Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (BPSPL) Pontianak

2 komentar: