Sabtu, 27 Juni 2015

Pengelolaan Ikan Napoleon (Cheilinus undulatus) dan Aspek Regulasinya di Indonesia


http://m.scmp.com/news/hong-kong/health-environment/article/1926859/exposed-illegal-hong-kong-trade-endangered-coral?utm_source=&utm_medium=&utm_campaign=SCMPSocialNewsfeed

Latar Belakang

Ikan napoleon adalah jenis ikan karang atau hidup disekitar terumbu karang dan tersebar di seluruh perairan Indonesia, secara alami jumlah populasi ikan Napoleon relatif rendah, biasanya secara visual terlihat antara 2 – 4 ekor dengan variasiasi ukuran antara 40 – 120 cm. Ikan Napoleon mencapai dewasa atau matang gonad pada usia 4 – 5 tahun, dapat mencapai ukuran 1,5 meter dengan berat 180 kg dan berumur panjang dan dapat mencapai umur 50 tahun, hidup secara soliter di perairan tropis dengan kedalaman antara 2 – 60 meter. Wilayah  sebarannya di dunia meliputi Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.


Ikan napoleon dalam bahasa Inggris dikenal dengan beberapa nama seperti Giant Wrasse, Humphead, Humphead Wrasse, Maori Wrasse, Napoleon Wrasse, Truck Wrasse, dan Undulate Wrasse. Sedangkan nama ilmiah hewan ini adalah Cheilinus undulatus. Dalam bahasa pasar lokal biasa disebut mameng.

Ikan napoleon tergolong ikan yang lambat untuk matang seksual (umur 5-7 tahun). Ikan ini akan berganti kelamin dari betina menjadi jantan saat dewasa (hemafrodit protogini). Usianya yang panjang membuat kemampuan recovery untuk menggantikan ikan yang mati sangat lambat.  Kebanyakan ikan yang ditangkap adalah ukuran anakan atau setara ukuran kurang dari 50cm. Ukuran ini paling disukai konsumen karena sesuai dengan ukuran piring yang disajikan.

Karena populasinya di alam sudah menurun dan masuk dalam daftar apendiks 2 CITES, maka secara nasional, ikan napoleon  berstatus dilindungi secara terbatas. Dilindungi secara terbatas berdasarkan ukuran. Pada ukuran dilindungi itulah, ikan napoleon tidak boleh ditangkap, diperdagangkan, dan dikonsumsi (tidak boleh dimanfaatkan), sedangkan ukuran ikan napoleon diluar ukuran yang dilindungi, diperbolehkan untuk dimanfaatkan, itu-pun sebesar kuota penangkapannya dan dari wilayah provinsi yang mendapat kuota penangkapan tersebut.



Cara Penangkapan Ikan napoleon di alam

Secara umum, ikan napoleon ditangkap dengan cara yang tidak ramah lingkungan. Ikan ini ditangkap dengan cara mengejarnya, hingga dia bersembunyi masuk di antara celah koloni karang. Sesudah bersembunyi maka akan disemprotkan cairan cyanida. Ketika ikan menjadi mabuk maka ikan akan keluar dari persembunyiannya dan akan dapat ditangkap dengan mudah. Apabila sesudah mabuk ikan tidak keluar dari koloni karang maka karangnya yang akan dibongkar.  Hal ini berakibat karang akan mati karena terkena cyanida atau  karangnya menjadi rusak secara fisik karena dibongkar. Penangkapan yang tidak ramah lingkungan dan penangkapan yang dilakukan secara tidak terkontrol, akan  mengakibatkan populasi ikan napoleon di alam menjadi turun dratis dan disertai dengan kerusakan lingkungan sekitarnya. Selain itu, karena Ikan napoleon juga memiliki kebiasaan bergerombol dalam jumlah banyak saat bereproduksi, maka pada saat reproduksi inilah, nelayan menjadikan target istimewa penangkapannya oleh nelayan. Menjadi fenomena yang umum terjadi di Indonesia semakin tinggi harga suatu komoditas semakin cepat komoditas itu menjadi langka.



Populasi di Alam

Sejak tahun 2005 LIPI bersama IUCN yang dibantu tenaga ahli dari Hongkong University telah melakukan monitoring populasi Ikan Napoleon di 6 lokasi yaitu di Kangean (Madura), Komodo, Bunaken, Raja Ampat, Banda dan Maratua (kep. Derawan). Pemilihan lokasi berdasarkan keterwakilan dari tingkat eksploitasi berat, sedang dan ringan. Hasil monitoring terakhir 2014, menunjukan bahwa populasi Ikan Napoleon di Komodo dan Maratua menunujukan terjadi penurunan, sedangkan di Banda dan Raja Ampat menunjukkan terjadinya kenaikan dan di Bunaken dan Kangean populasinya stabil.



Perdagangan Internasional Ikan Napoleon

Ikan napoleon bukan untuk pasar dalam negeri. Karena di dalam negeri tidak ada yang menyukai ikan ini. Ikan ini berasa wangur dan anyeb (berasa tawar dan tak pernah kering kalau dimasak). Ikan napoleon merupakan komoditas primadona yang diperdagangkan secara hidup, dengan dan tujuan utama pasar Hongkong dan beberapa negara di Asia Timur, seperti Cina, Jepang, dan Taiwan. Ikan ini diperjualbelikan, baik sebagai ikan hias maupun sebagai ikan konsumsi yang berharga mahal. Ikan Napoleon merupakan komoditas yang dijual secara hidup dengan ukuran termahal antara 1 – 1,2 kg/ekor. Harga ikan Napoleon ditingkat nelayan Anambas pada tahun 2013 telah mencapai US$ 185/ekor. Dan ditingkat restoran di Honkong dan di Cina tentunya akan berlipat. Ukuran ikan semakin besar harganya semakin turun dan ikan yang mati harganya sangat rendah. Mengapa orang Cina mau membayar begitu mahal ikan Napoleon oleh karena ikan dianggap makanan luxurious dan excotic. Konon apabila anda memesan Ikan napoleon maka akan menaikan prestise dan gengsi anda oleh karena ikan napoleon merupakan makanan  raja-raja dijaman dahulu. Tidak seperti komoditas unik lainnya yang selalu  dipromosikan berkasiat  obat atau aprodosik, ikan napoleon tidak mengandung kedua zat tersebut. Meningkatnya perekonomian Cina meningkatkan jumlah orang kaya dan meningkatkan pula permintaan makanan yang eksotik dan dan dapat meningkatkan prestise. Dampak dari permintaan yang tinggi membuat populasi ikan ini di alam menurun drastis sehingga statusnya menjadi  rentan (vulnerable) mengalami kepunahan.

Akibat statusnya yang rentan kepunahan, beberapa negara yang memiliki sumberdaya ikan napoleon sudah menghentikan total penangkapan dan ekspor ikan ini. Negara-negara yang sudah mengambil tindakan terkait pengelolaan ikan napoleon adalah: Australia sudah melarang total untuk diperdagangkan. Maladewa juga sudah melarang karena ikan napoleon memiliki manfaat yang lebih besar untuk pariwisata selam. Negara lain yang dulunya juga pensupplai pasar internasional, seperti Filipina, Papua Nugini dan Palau juga sudah menghentikan penangkapan dari alam. Bahkan China hanya memperbolehkan ikan napoleon ditangkap di perairannya untuk kebutuhan konservasi. 


Pembesaran Ikan Napoleon di Dalam Keramba di Kab. Anambas dan Kab. Natuna- Provinsi Kepulauan Riau

Fenomena pembesaran anakan ikan napoleon  juvenil dengan ukuran (1-2cm) hingga layak jual yang dilakukan oleh nelayan  Kab. Anambas dan Kab.Natuna adalah suatu harapan bahwa pemanfaatan ikan napoleon dapat dilakukan dengan benar. Secara prinsip konservasi hal ini juga dapat dibenarkan yaitu dengan alasan meningkatkan kelulusan hidup dari juvenil ikan napoleon. Secara alami tingkat kelulusan hidup sangat-sangat rendah dibawah 1 % dan tingkat kematian terbesar ikan ini adalah pada saat juvenil. Dengan menangkap ikan ini pada saat masih juvenil dan merawat serta memeliharanya hingga besar berarti meningkatkan kelulusan hidup Ikan napoleon. Keunikan dan keahlian nelayan Anambas dan Natuna membesarkan Ikan napoleon tidak dijumpai ditempat lain di Indonesia bahkan di dunia. Keahlian yang telah dipraktekan beberapa tahun dan telah terbukti dapat menghasikan ikan napoleon layak jual tidak dipunyai oleh nelayan wilayah lain perlu mendapat apresiasi. Praktek pembesaran ikan napoleon di Anambas dan Natuna belum sempurna perlu perbaikan-perbaikan dan membuat peraturan-peraturan yang disepakati bersama dan tentunya sesuai dengan prinsip-prinsip kelestarian sumber benih dan lingkungannya. Peraturan tata cara pengelolaan dan legalitas berusaha bagi nelayan yang membesarkan anakan Ikan napoleon perlu diberikan agar mereka dapat menjalankan usahanya dengan kepastian hukum yang jelas. Jika diperlukan dilakukan sertifikasi nelayan yang melalkukan pembesaran  Ikan napoleon. Pada akhirnya mereka dapat menjual produk yang bernilai tinggi secara legal sesuai ketentuan yang berlaku dan pada gilirannya akan dapat mensejahterakan kehidupnya.


Regulasi dan Status Konservasi

a.         Nasional

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengeluarkan Keputusan Menteri KP No. 37 Tahun 2013 tentang Penetapan Status Perlindungan Terbatas Ikan Napoleon (Cheilinus undulatus). Penetapan ini sebagai tindak lanjut dari Rekomendasi Kepala Pusat Penelitian Biologi, LIPI No. 757/IPH.1/HK.04.04/III/2013 tentang Rekomendasi Perlindungan untuk ikan napoleon (Cheilinus undulatus).  Di dalam Kepmen KP tersebut diatur bahwa ikan napoleon dilarang dimanfaatkan pada ukuran 100 gram – 1000 gram dan ukuran di atas 3000 gram. Pengaturan ini mengakomodir kepentingan ekonomi dan kepentingan konservasi, dimana permintaan pasar ekspor paling banyak pada ukuran tersebut, sedangkan dari sisi konservasi pada ukuran 1000 gram ikan napoleon diprediksi sudah pernah memijah dan pada ukuran > 3000gr, ikan napoleon sedang masa berkembang biak. Sehingga, dengan status dilindungi secara terbatas menurut ukuran (dilindungi ukuran 100 gr s/d 1000 gr dan > 3000 gr) berarti memberikan kesempatan kepada napoleon untuk berkembang biak. Selain itu pengaturan ini juga bertujuan untuk meningkatkan rekruitmen juvenile napoleon dari kematian alami di habitatnya, melalui upaya pembesaran dan pembudidayaan di keramba yaitu dengan diperbolehkannya menangkap ikan napoleon yang berukuran < 100 gr.



Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) sebagai Management Authorithy CITES telah mengatur penangkapan dan perdagangan ikan napoleon ini sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 447/Kpts-II/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar, yang merupakan peraturan pelaksanaan dari UU No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Di antaranya yaitu memberikan kuota untuk masing-masing daerah, ketentuan berat ikan yang boleh diekspor hanya ikan napoleon dengan berat antara 1 – 3 kg saja, dan hanya boleh ditangkap dengan pancing, bubu dan jaring insang oleh nelayan tradisional.

Dalam perdagangan ekspor komoditi sektor kelautan, anakan dan Ikan napoleon hidup merupakan komoditi yang diawasi ekspornya. Hal ini diatur oleh Peraturan Menteri Perdagangan RI No.07/M-DAG PER/4/2005 Tanggal 19 April 2005 dalam rangka mengendalikan ekspor beberapa komoditi sesuai dengan ketentuan internasional


b.        CITES

Ikan napoleon telah masuk dalam apendik II CITES (Convention International Trade on Endanger Species flora and fauna) Pada COP ke 13 CITES tahun 2004. Oleh karena itu semua perdagangan Ikan Napoleon secara internasional  haruslah mengikuti peraturan dan ketentuan  yang ditetapkan oleh CITES. Pada prinsipnya pengaturan yang dilakukan oleh CITES meliputi tiga hal yaitu  komoditas sumberdaya yang diperdagangkan haruslah (1) sustainablity, (2) adanya tracebility dan (3) legality. Sustainability harus dibutikan bahwa pemafaatan ikan napoleon yang lestari dan tidak merusak lingkungannya, dimana hal tersebut harus dibuktikan dengan dokumen NDF (non detrimental finding). Tracebility adalah ikan Napoleon yang diperdagangkan harus dapat ditelusuri asal usulnya dan legality adalah dokumen pendukung yang menyatakan bahwa Ikan napoleon yang diperdagangkan adalah syah secara aturan pemerintah negara pengekspor. CITES mewajibkan perdagangan hanya dilakukan lewat jalur udara untuk memperketat pengawasan.



c.    Kuota Perdagangan Ikan Napoleon Indonesia

        Karena ikan napoleon termasuk dalam daftar apendiks 2 CITES, maka perdagangan internasional dari ikan napoleon ini ‘diperbolehkan dengan pengawasan yang ketat’. Salah satu cara ‘pengawasan yang ketat’ yang dimaksud adalah perdagangannya menggunakan mekanisme kuota. Tahun 2005-2009 pemerintah menetapkan kuota ikan napoleon sebanyak 8.000 ekor. Namun pada tahun 2012, LIPI selaku Otoritas Kelimuan telah merekomendasikan jumlah tangkap ikan napoleon sebesar 2.000 ekor. Penurunan jumlah kuota tangkap ini bertujuan untuk perbaikan manajemen dengan memaksa ekspor melalui udara karena banyak sumber yang menyebutkan bahwa perdagangan ilegal ikan napoleon dalam jumlah besar melalui jalur laut sampai dengan saat ini masih terus berlangsung. Jumlah ikan yang diselundupkan dan diperdagangkan secara ilegal jauh lebih besar dari jumlah yang seharusnya diperbolehkan oleh pemerintah Indonesia.

d.         IUCN

         Lembaga internasional IUCN memasukkan ikan napoleon dalam daftar merah dengan status terancam (endangered) pada tahun 1996. Status terancam ini didasarkan pada penurunan populasi hingga 50% dalam 3 generasi terakhir dan rentan untuk mengalami penurunan drastis dalam waktu dekat.  Ini menunjukkan bahwa secara global populasi ikan napoleon mengalami ancaman yang serius, sehingga diperlukan langkah-langkah konservasi oleh negara-negara yang merupakan range state dari sebaran ikan napoleon dunia.



Ikan Napoleon yang Boleh Dimanfaatkan / Ditangkap dan Diperdagangkan

Pemanfaatan (penangkapan dan perdagangan ikan napoleon), harus mengacu kepada:

1.    Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 37 tahun 2013 tentang PerilindunganTerbatas Ikan Napoleon (Cheilinus undulates).

2.    Keputusan Ditjen PHKA-Kemen LH dan Kehutanan No. SK. 51/IV.SET/2015 tentang Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam dan Penangkapan Satwa Liar Periode Tahun 2015

3.    Apendiks 2 CITES



Tangkap
Ekspor


No
Nama Jenis
Jatah
Lokasi Tangkap
Keterangan
KELAS FISH (ACTINOPTERYGII)
1
Cheilinus undulatus
2000

1000

600

200

200
2000


Kepri

Maluku

Kaltim

Sulsel
Total
Untuk Napoleon Wrasse ekspor yang dijinkan diangkut melalui udara saja, khusus untuk Anambas, sedang dipertimbangkan untuk diberikan kuota khusus untuk juvenile.
Besarnya kuota juvenile menunggu data dari KKP Anambas.

 Tabel: Kuota Tangkap dan Ekspor Ikan Napoleon 2015

Sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 37 tahun 2013, ukuran ikan napoleon yang boleh dimanfaatkan ( ditangkap dan diperdagangkan) adalah ukuran < 100gr dan ukuran 1000gr s/d 3000 gr (yang dilindungi ukuran 100 gr s/d 1000 gr dan > 3000 gr). Ikan napoleon yang boleh ditangkap dan diperdagangkan untuk kepentingan ekspor sesuai Keputusan Dirjen PHKA No.51/IV-SET/2015 tentang Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam dan Penangkapan Satwa Liar Periode tahun 2015 yaitu  sebesar 2000 ekor adalah kuota penangkapan dari perairan alam dan semuanya diperuntukan pasar ekspor. Kuota penangkapan dan ekspor itu adalah  ikan napoleon yang berukuran  1000gr s/d 3000 gr. bukan dari ukuran ikan napoleon yang dilindungi).

Pronvinsi yang memiliki kuota penangkapan dan ekspor hanya ada 4 provinsi, yaitu: Provinsi Kepri = 1000 ekor, Maluku = 600 ekor, Kaltim = 200 ekor, dan Sulsel = 200 ekor. Jumlah keseluruhan secara nasional, kuota penangkapan dan kuota ekspor adalah 2000 ekor.

Pengendalian pemanfaatan ikan Napoleon melalui mekanisme penetapan kuota tidak berjalan efektif, hal ini disebabkan oleh sifat dari mitra dagang negara pengimpor dan cara berdagang serta cara pengiriman Ikan Napoleon.

Tata cara perdagangan ikan Napoleon yang selama ini terjadi di Indonesia adalah tidak sesuai dengan norma yang selama ini berjalan yang diawasai oleh CITES, hal ini disebabkan  mitra dagang atau negara pengimpor tidak mau menjalankan aturan yang telah ditetapkan. Berbeda apabila mitra dagang atau negara pengimpornya adalah negara-negara Eropa, Amerika dan Jepang, yang mau mengawasi perdagangan komoditas yang telah masuk dalam apendik CITES. Meraka akan mengawasi dengan ketat sesuai dengan aturan yang berlaku. Sehingga kemungkinan terjadinya penyelundupan sangat kecil. Ikan napoleon dari Indonesia umumnya  di ekspor dilakukan secara illegal melalui laut dan transaksi dilakukan di laut serta langsung dibawa kenegara pengimpor yang antara lain Singapore, Hongkong, Cina dan Taiwan. Peraturan yang mewajibkan pengekspor melakukan perdagangan melalui udara dengan kuota yang minimum tidak efektif.

Pada tahun 2012, telah ada wacana untuk menyetop perdagangan ikan Napoleon, namun muncul suatu  fenomena yang sangat unik dan menarik dan tidak ada ditempat lain di Indonesia dan bahkan di dunia, yaitu keberhasilan masyarakat Anambas membesarkan juvenil atau anakan ikan Napoleon hingga ukuran layak jual. Saat ini, usaha pembesaran ikan napoleon di karamba oleh masyarakat di Kabupaten Anambas dan kabupaten Natuna, telah menjadi salah satu sumber pemasukan yang signifikan bagi masyarakat setempat. Pendampingan dan pembinaan dari pemerintah sangat diperlukan, terutama mendorong kepada secretariat CITES untuk tidak memasukkan ikan napoleon hasil pembesaran di karamba kedalam ketentuan CITES. Sampai saat ini, ikan napoleon dari hasil pembesaran di karamba (sea ranching) belum diakui sebagai hasil budidaya, masih diperlakukan sebagai ikan hasil tangkapan dari alam. Hal tersebut berkonsekuensi terhadap perdagangan internasionalnya yaitu tetap diberlakukan kuota perdagangan ekspornya.


Upaya-Upaya  yang Sudah Dilakukan
a.         Penyusunan dokumen rencana aksi pengelolaan

Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, Ditjen Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil-Kementerian Kelautan dan Perikanan berinisiasi menyusun dokumen Rencana Aksi Konservasi (RAK) Ikan Napoleon yang dilakukan dalam rangka merumuskan rencana program yang akan dilakukan selama 5 tahun ke depan dalam rangka melaksanakan mandat terkait dengan pengaturan pemanfaatan ikan napoleon, termasuk pengaturan dalam kerangka konvensi CITES.  Pelaksanaan program konservasi ikan napoleon melibatkan berbagai instansi terkait, untuk dapat mensinergikan program pada masing-masing instansi. 

Dokumen RAK ikan napoleon saat ini masih dalam proses pembahasan bersama dengan instansi terkait dan para pakar dan diharapkan dapat diselesaikan pada tahun 2015 ini.  Dokumen RAK ini diharapkan dapat menjadi acuan bersama dalam rangka pelaksanaan program konservasi ikan napoleon.

b.        Upaya perlindungan

Beberapa upaya yang sudah dilakukan dalam rangka perlindungan ikan napoleon diantaranya adalah :

(1)    Menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 37 tahun 2013.

(2)    Melakukan sosialisasi regulasi perlindungan terbatas ikan napoleon kepada lembaga/instansi terkait di pusat dan masyarakat di daerah.

(3)    Menyiapkan pedoman pelaksanaan survei populasi napoleon

(4)    Bimbingan teknis pelaksanaan survei populasi ikan napoleon bagi petugas lapangan yang ada di Balai/Loka PSPL.

(5)    Survey populasi ikan napoleon di beberapa lokasi, di antaranya : perairan Kabupaten Anambas, perairan Kabupaten Tapanuli Tengah, perairan Sulawesi, perairan Raja Ampat, perairan sekitar Kepulauan  Aru dan Sulawesi Utara.

Dalam upaya perlindungan habitat, perlindungan terumbu karang dalam kawasan konservasi diharapkan dapat mendorong peningkatan populasi ikan napoleon di habitat alam.  Salah satu kawasan konservasi yang  memiliki program untuk melindungi habitat ikan napoleon adalah Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN) Anambas di Provinsi Kepulauan Riau. 



c.         Upaya pelestarian

Kajian penelitian tentang pemijahan ikan napoleon sudah menunjukkan kemajuan yang cukup berarti, walaupun masih dalam tahap penelitian, Balai Besar Penelitian Perikanan Laut yang berlokasi di Gondol-Bali sudah berhasil berhasil memijahkan ikan napoleon.  Rendahnya survival rate anakan masih menjadi kendala yang belum dapat terpecahkan dalam usaha pembudidayaan ikan napoleon. 

Walaupun jenis ini sudah dapat dipijahkan, ketersediaan bibit untuk kepentingan pengkayaan populasi maupun kepentingan budidaya masih belum tersedia.  Memperhatikan hal tersebut, sampai dengan saat ini belum ada upaya yang cukup signifikan yang dilakukan oleh pemerintah dan stakeholder lainnya dalam pengkayaan populasinya di habitat alam.

d.        Upaya pemanfaatan

Beberapa upaya yang telah dilakukan dalam rangka pemanfaatan berkelanjutan ikan napoleon di habitat alam, diantaranya adalah :

(1)    Melakukan survei populasi ikan napoleon pada lokasi kuota sebagai dasar dalam penentuan kuota penangkapan,

(2)    Melakukan pembinaan dan pendampingan dalam usaha pembesaran ikan napoleon dalam keramba jarring apung di Kabupaten Anambas dan Kabupaten Natuna– Kepulauan Riau, dan

(3)    Melakukan kajian di wilayah mana saja, populasi ikan napoleon yang dapat dijadikan lokasi wisata selam.

e.        Kelembagaan

Koordinasi antar stakeholder terkait yang bertujuan untuk meningkatkan koordinasi antar instansi terus dilakukan sejak diperbaharuinya regulasi perlindungan terbatas ikan napoleon.   Beberapa upaya yang sudah dilakukan diantaranya adalah penyusunan  dokumen Rencana Aksi Nasional Pengelolaan Ikan Napoleon dan penyusunan buku ‘Pedoman Identifikasi dan Monitoring Ikan Napoleon. Dokumen-dokumen tersebut, penyusunannya  melibatkan instansi terkait dan para pakar.  Draft tersebut masih diperlukan pembahasan lanjutan untuk penyempurnaannya.


Suatu Harapan

         Dengan dilengkapinya berbagai dokumen pengelolaan ikan napoleon termasuk regulasinya, diharapkan ke depan pengelolaan ikan napoleon ini dapat lebih baik, yaitu dengan semakin meningkatnya dampak positif dari perekonomian ikan napoleon terhadap masyarakat yang mengusahakannya dan  populasi ikan napoleon di alam beserta kelestarian ekosistem lingkungannya dapat tetap terjaga dengan baik.


(Sebagian data dan informasi dalam tulisan ini adalah hasil komunikasi pribadi dengan Prof Suharsono dari LIPI)
Klasifikasi dan Morfologi Ikan Napoleon
Hasil Survei Populasi Ikan Napoleon di Beberapa Tempat
Peta Sebaran Ikan Napoleon di Dunia (Sumber: LIPI 2012)
Keramba Jaring Apung Tempat Pembesaran Ikan Napoleon
Keramba Jaring Apung di Kab. Anambas
Ikan Napoleon yang Dibesarkan di Keramba Jaring Apung
Ikan Napoleon (Cheilinus undulatus)


Minggu, 21 Juni 2015

Review Hiu Apendiks II CITES Di Indonesia



Latar Belakang
Perikanan hiu dan pari (Elasmobranchii) merupakan salah satu komoditas perikanan yang penting di dunia. Data FAO melaporkan hasil tangkapan Elasmobranchii di dunia sebesar 700.000 ton. Lima negara terbesar sebagai penangkap hiu adalah: Indonesia, India, Spanyol, Taiwan, dan Mexico. Total produksi hiu dan pari Indonesia, berada pada kisaran 100.000 ton setiap tahunnya.
Ke depan, dalam rangka pengelolaan perikanan hiu dan pari di Indonesia untuk lebih baik, diperlukan data-data yang mumpuni. Saat ini pendataan hiu yang telah dilakukan yaitu dengan mengelompokkan ke dalam 5 kelompok besar, yakni: tikus, lanjaman, hiu mako, hiu martil, dan hiu botol.
Pada CoP CITES tahun 2013 yang lalu di Bangkok, ada 5 jenis hiu yang masuk daftar apendiks ll CITES, dan ada 4 jenis hiu tersebut ada di perairan Indonesia, yaitu: 3 jenis hiu martil (Sphyrna lewini, Sphyrna Mokarran, Sphyrna zygaena) dan 1 jenis hiu koboi (Carcharinus longimanus).  Dengan masuknya hiu-hiu tersebut ke dalam daftar apendiks ll CITES, maka perdagangan internasionalnya (ekspor-impor) harus mengikuti ketentuan CITES, yaitu hiu-hiu yang diperdagangkan harus mengikuti kaidah: sustainability (keberlanjutan), tracebility (keterlacakan), dan legality (legalitas).
Bagaimana status hiu apendiks CITES di Indonesia?
 
Hiu Koboi Carcharhinus longimanus
Carcharhinus longimanus
·         Taksonomi
Kelas : Chondrichthyes
 Sub Kelas : Elasmobranchii
   Bangsa :  Carcharhiniformes
      Suku : Carcharhinidae
        Marga: Carcharhinus
        Jenis: Carcharhinus longimanus (Poey, 1961)
        Nama umum: Oceanic whitetip shark
        Nama lokal: Cucut Koboy, hiu koboi
Merupakan hiu pelajik-oseanik yang ditemukan pada lapisan permukaan hingga kedalaman 152 meter, biasa ditemukan jauh di lepas pantai atau di dekat pulau-pulan terpencil yang memiliki paparan yang sempit.
·       Sebaran dan perkiraan populasi
Sebaran ikan ini diketahui sangat luas di seluruh perairan tropis dan subtropics yang bersuhu hangat. Di perairan Indonesia tercatat ditemukan di perairan Samudera Indonesia, mulai dari barat Sumatera hingga selatan Nusa Tenggara.  Populasinya belum diketahui karena termasuk jarang tertangkap oleh nelayan.  Berdasarkan hasil penelitian sejak 2001 hingga 2006 di perairan selatan Jawa, Bali dan Lombok, tidak banyak jenis C. longimanus yang didaratkan nelayan sebagai hasil tangkapan sampingan dari perikanan tuna maupun sebagai target tangkapan oleh nelayan jaring hiu di Lombok. 
·       Ancaman terhadap populasi
Kisaran ukuran yang umum didaratkan di tempat pendaratan ikan umumnya antara 70-180cm panjang total. Sementara ukuran ikan ini dapat mencapai 300 cm.  Ikan jantan mencapai dewasa dan siap bereproduksi pada ukuran antara 190-200cm, sedangkan untuk ikan betina mencapai dewasa pada ukuran 180-200cm.  Umumnya ukuran ikan yang tertangkap nelayan adalah ikan-ikan yang belum dewasa. Hal tersebut merupakan ancaman terhadap populasi jenis ikan ini di masa mendatang karena semakin banyak ikan yang belum dewasa tertangkap, maka kemungkinan untuk ikan tersebut untuk berkembangbiak menjadi lebih kecil.  Selama kurun waktu penelitian dari 2001-2006, sangat jarang ditemukan ikan C. longimanus  dalam ukuran dewasa.  Terdapat dua kemungkinan dalam menyikapi kondisi tersebut, pertama karena memang yang tertangkap oleh nelayan artisanal di selatan Indonesia merupakan ikan-ikan yang belum dewasa karena keterbatasan alat tangkap dan armada penangkapan.  Kemungkinan kedua adalah, ikan-ikan yang berukuran besar (dewasa) yang tertangkap tidak didaratkan melainkan hanya diambil siripnya sedangkan bagian tubuh lainnya dibuang ke laut. Namun hal tersebut perlu pembuktian dari adanya sirip yang disimpan dan kemudian dijual nelayan. 
·       Pemanfaatan
Secara umum, hampir semua bagian tubuh hiu dimanfaatkan oleh manusia. Sirip merupakan bagian tubuh yang paling dicari karena memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi, terutama untuk ukuran yang besar.  Sirip biasa digunakan sebagai bahan makanan untuk disajikan di restoran-restoran mahal sebagai sup sirip hiu atau diekspor ke luar negeri.  Daging hiu biasa dimanfaatkan untuk konsumsi dalam bentuk diasinkan atau diasap, biasanya produk daging ikan hiu hanya dipasarkan secara lokal dan tidak diekspor.  Tulang hiu memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi yang dimanfaatkan sebagai bahan baku obat maupun kosmetik, biasanya tulang tersebut dikeringkan dan diekspor ke berbagai negara.
·       Volume perdagangan
BELUM ADA DATA
Sirip C. longimanus sangat mudah untuk diidentifikasi Karena bentuknya yang membulat di bagian ujungnya (apex), berbeda dengan sirip dari jenis hiu yang lain.  Sehingga untuk memonitoring perdagangan siripnya akan lebih mudah dibandingkan jenis ikan hiu yang lain.
Hiu Martil Sphyrna lewini

Sphyrna lewini
·         Taksonomi
Kelas : Chondrichthyes
 Sub Kelas : Elasmobranchii
   Bangsa :  Carcharhiniformes
      Suku : Carcharhinidae
        Marga: Sphyrna
        Jenis: Sphyrna lewini (Griffith & Smith, 1834)
        Nama umum: Scalloped hammerhead shark
        Nama lokal: Hiu martil, hiu caping, hiu topeng, hiu bingkoh, mungsing capil
Merupakan kelompok hiu martil yang biasa ditemukan di perairan paparan benua, mulai dari perairan pantai hingga laut lepas, hidup di lapisan permukaan sebagai oseanik pelajik hingga pada kedalaman 275m. 
·       Sebaran dan perkiraan populasi
S. lewini merupakan salah satu jenis ikan yang paling umum dijumpai di perairan Indonesia. Sebaran ikan ini diketahui sangat luas di seluruh perairan tropis. Di perairan Indonesia, sebarannya mencakup Samudera Hindia, Selat Sunda, Laut Jawa, barat dan timur Kalimantan, Laut Cina Selatan, Sulawesi, Maluku dan Papua.  Populasinya diduga telah semakin menurun karena aktivitas penangkapan yang tidak lestari.  Jenis ikan ini banyak tertangkap oleh rawai maupun jaring insang baik sebagai tangkapan sampingan maupun tangkapan utama, selain itu banyak tertangkap pula oleh nelayan-nelayan dogol ataupun jaring pukat yang beroperasi di dekat pantai untuk ikan-ikan yang masih berukuran kecil (juvenile).
·       Ancaman terhadap populasi
Kisaran ukuran yang umum didaratkan di tempat pendaratan ikan umumnya antara 50-310 cm panjang total. Sementara ukuran ikan ini dapat mencapai 370-420 cm.  Ikan jantan mencapai dewasa dan siap bereproduksi pada ukuran antara 165-175cm, sedangkan untuk ikan betina mencapai dewasa pada ukuran 220-230cm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh dari jumlah ikan hiu S. lewini  yang pernah didaratkan dalam kurun waktu 2001-2006 merupakan ikan-ikan yang masih muda (belum dewasa).  Hal tersebut merupakan ancaman terhadap populasi jenis ikan ini di masa mendatang karena semakin banyak ikan yang belum dewasa tertangkap, maka kemungkinan untuk ikan tersebut untuk berkembangbiak menjadi lebih kecil.  Ikan-ikan yang masih kecil biasa tertangkap oleh alat tangkap yang beroperasi di perairan yang dekat dengan pantai, sedangkan ikan-ikan yang berukuran besar tertangkap oleh jaring tuna, rawai maupun jaring hiu yang beroperasi di perairan lepas pantai dan daerah yang lebih dalam.   Walaupun memiliki jumlah anak yang dilahirkan relatif lebih banyak dibandingkan jenis ikan hiu yang lain (12-41 ekor), namun tingginya frekuensi tangkapan dalapat menyebabkan populasinya di alam semakin menurun, hal ini terlihat dari semakin sedikitnya jumlah ikan hiu martil yang didaratkan baik yang berukuran besar maupun kecil di tempat pendaratan ikan di Indonesia.
·       Pemanfaatan
Secara umum, hampir semua bagian tubuh hiu dimanfaatkan oleh manusia. Sirip merupakan bagian tubuh yang paling dicari karena memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi, terutama untuk ukuran yang besar.  Sirip biasa digunakan sebagai bahan makanan untuk disajikan di restoran-restoran mahal sebagai sup sirip hiu atau diekspor ke luar negeri.  Daging hiu biasa dimanfaatkan untuk konsumsi dalam bentuk diasinkan atau diasap, biasanya produk daging ikan hiu hanya dipasarkan secara lokal dan tidak diekspor.  Tulang hiu memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi yang dimanfaatkan sebagai bahan baku obat maupun kosmetik, biasanya tulang tersebut dikeringkan dan diekspor ke berbagai negara.
·       Volume perdagangan
BELUM ADA DATA
Cukup sulit mengenali sirip S. lewini  yang sudah dikeringkan di pasar karena bentuk morfologinya yang sekilas mirip dengan bentuk sirip ikan hiu pada umumnya.  Walaupun memiliki ujung yang lebih lancip dan segitiga, perlu seseorang yang benar-benar sudah mengenal jenis ini untuk dapat mengidentifikasinya.
 
Hiu Martil Sphyrna mokarran
Sphyrna mokarran
·         Taksonomi
Kelas : Chondrichthyes
 Sub Kelas : Elasmobranchii
   Bangsa :  Carcharhiniformes
      Suku : Carcharhinidae
        Marga: Sphyrna
        Jenis: Sphyrna mokarran (Ruppel, 1837)
        Nama umum: Great hammerhead shark
        Nama lokal: Hiu martil, hiu caping, hiu topeng, hiu bingkoh, mungsing capil
Merupakan kelompok hiu martil terbesar yang hidup di perairan pantai dan daerah semi oseanik mulai dari lapisan permukaan hingga kedalaman 80m. 
·       Sebaran dan perkiraan populasi
S. mokarran merupakan jenis ikan hiu yang tidak umum dijumpai di perairan Indonesia. Sebaran ikan ini diketahui berada di seluruh perairan tropis dan subtropics yang bersuhu hangat.  Namun, di perairan Indonesia,sangat sedikit data yang mencatat ditemukannya jenis ini, Selama penelitian dalam kurun waktu 2001-2006, jenis ikan ini sangat sedikit tercatat ditemukan.  Beberapa lokasi yang dilaporkan mendaratkan jenis ikan ini adalah Tanjung Luar - Lombok, Benoa dan Kedonganan – Bali, Palabuhanratu, Muara Angke dan Muara Baru –Jakarta.  Umumnya S. mokarran tertangkap sebagai hasil tangkapan sampingan dari perikanan rawai tua dan gillnet tuna di perairan lepas pantai selatan (Samudera Hindia) dan perairan timur Indonesia.  
·       Ancaman terhadap populasi
Kisaran ukuran yang tercatat pernah didaratkan di beberapa tempat pendaratan ikan antara 150-250cm S. mokarran  dapat mencapai panjang hingga 610cm  Ikan jantannya mencapai dewasa dan siap bereproduksi pada ukuran antara 234-269cm dan betina pada ukuran antara 250-300cm.  Hal ini berarti, walaupun jarang tertangkap atau ditemukan di perairan Indonesia, namum ukuran yang pernah tertangkap menunjukkan ukuran yang belum matang kelamin atau belum siap bereproduksi, sehingga sedikit banyak dapat mengancam populasinya di alam apabila penangkapan terhadap ikan ini terus berlangsung tanpa kendali.  Hal tersebut dapat lebih parah oleh adanya kemungkinan ikan-ikan hiu yang berukuran besar yang tertangkap oleh nelayan hanya diambil siripnya sedangkan bagian tubuhnya dibuang kembali ke laut.
·       Pemanfaatan
Secara umum, hampir semua bagian tubuh hiu dimanfaatkan oleh manusia. Sirip merupakan bagian tubuh yang paling dicari karena memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi, terutama untuk ukuran yang besar.  Sirip biasa digunakan sebagai bahan makanan untuk disajikan di restoran-restoran mahal sebagai sup sirip hiu atau diekspor ke luar negeri.  Daging hiu biasa dimanfaatkan untuk konsumsi dalam bentuk diasinkan atau diasap, biasanya produk daging ikan hiu hanya dipasarkan secara lokal dan tidak diekspor.  Tulang hiu memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi yang dimanfaatkan sebagai bahan baku obat maupun kosmetik, biasanya tulang trersebut dikeringkan dan diekspor ke berbagai negara.
·       Volume perdagangan
BELUM ADA DATA
Cukup sulit mengenali sirip S. mokarran  yang sudah dikeringkan di pasar karena bentuk morfologinya yang sekilas mirip dengan bentuk sirip ikan hiu pada umumnya.  Walaupun memiliki ujung yang lebih lancip daripada S. lewini dan lebih condong ke belakang, perlu seseorang yang benar-benar sudah mengenal jenis ini untuk dapat mengidentifikasinya.
Hiu Martil Sphyrna zigaena

Sphyrna zygaena
·         Taksonomi
Kelas : Chondrichthyes
 Sub Kelas : Elasmobranchii
   Bangsa :  Carcharhiniformes
      Suku : Carcharhinidae
        Marga: Sphyrna
        Jenis: Sphyrna zygaena (Linnaeus, 1758)
        Nama umum: Smooth hammerhead shark
        Nama lokal: Hiu martil, hiu caping, hiu topeng, hiu bingkoh, mungsing capil
Merupakan kelompok hiu martil yang hidup di daerah paparan benua dan daerah kepulauan dekat pantai hingga kearah lepas pantai, mulai dari lapisan permukaan hingga kedalaman 20 meter atau lebih.
·       Sebaran dan perkiraan populasi
S. zygaena merupakan jenis ikan hiu martil yang cukup jarang ditemukan di perairan Indonesia.  Dalam kurun waktu 2001-2006, tidak banyak jumlah ikan ini yang tercatat di daratkan di beberapa lokasi pendaratan ikan di Indonesia, khususnya di selatan Indonesia seperti Cilacap, Palabuhanratu dan Tanjung Luar Lombok. Jenis ikan ini kadang tertangkap oleh pancing rawai hiu ataupun rawai tuna.  Sebarannya di Indonesia diduga di perairan Samudera Hindia dan sekitarnya. Karena minimnya data, maka populasinya sangat sulit untuk diprediksi.
·       Ancaman terhadap populasi
S. zygaena  diketahui memiliki ukuran tubuh yang dapat mencapai panjang hingga 350cm.  Ikan jantannya mencapai dewasa pada ukuran 250cm  sedangkan betina pada ukuran sekitar 265cm.  Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan, ukuran tangkapan jenis ikan ini yang pernah tercatat adalah berkisar antara 130-280cm. Hal tersebut berarti masih banyak jenis ikan ini yang tertangkap pada ukuran yang belum dewasa.  Walaupun tertangkap dalam jumlah yang kecil, namun lambat laun populasinya akan semakin menurun apabila kesempatan untuk berkembangbiak menjadi lebih kecil karena tertangkap sebelum dapat bereproduksi.  Di lain pihak, adanya penangkapan yang hanya mengambil sirip dan membuang tubuh ikan hiu ke laut dapat menambah ancaman penurunan populasi di alam, karena jumlah pasti yang tertangkap oleh nelayan tidak dapat diketahui secara akurat. 
·       Pemanfaatan
Secara umum, hampir semua bagian tubuh hiu dimanfaatkan oleh manusia. Sirip merupakan bagian tubuh yang paling dicari karena memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi, terutama untuk ukuran yang besar.  Sirip biasa digunakan sebagai bahan makanan untuk disajikan di restoran-restoran mahal sebagai sup sirip hiu atau diekspor ke luar negeri.  Daging hiu biasa dimanfaatkan untuk konsumsi dalam bentuk diasinkan atau diasap, biasanya produk daging ikan hiu hanya dipasarkan secara lokal dan tidak diekspor.  Tulang hiu memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi yang dimanfaatkan sebagai bahan baku obat maupun kosmetik, biasanya tulang tersebut dikeringkan dan diekspor ke berbagai negara.
·       Volume perdagangan
BELUM ADA DATA
Cukup sulit mengenali sirip S. zygaena  yang sudah dikeringkan di pasar karena bentuk morfologinya yang sekilas mirip dengan bentuk sirip ikan hiu pada umumnya.  Walaupun memiliki ujung yang lebih lancip daripada S. lewini dan lebih panjang dibanding jenis hiu maril yang lain, namun perlu keahlian khusus untuk dapat mengidentifikasinya.
Regulasi Hiu Apendiks ll CITES
Secara nasional, ke empat jenis hiu apendiks ll CITES dilarang untuk diekspor atau diperdagangkan ke luar Indonesia, sesuai dengan Peraturan Menteri No. 59 tahun 2014 tentang Larangan Pengeluaran Ikan Hiu Koboi dan Hiu Martil Dari Wilayah Republik Indonesia ke Luar Wilayah Republik Indonesia 
Penutup
Dari review terhadap pengelolaan hiu apendiks ll CITES di atas, jelas hampir semuanya berstatus ‘belum ada data’. Untuk memberikan acuan dalam rangka pengumpulan data tersebut, maka Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, Ditjen Kelautan Pesisir dan Pulau Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan, menerbitkan buku: Pedoman Identifikasi dan Pendataan Hiu apendiks ll CITES.
Pustaka:
Sadili, d., Fahmi, Dharmadi, Sarmintohadi, I,Ramli. 2015. Pedoman Identifikasi dan Pendataan Hiu Apendiks ll CITES. In A. Dermawan (ed). Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan. Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau Pulau Kecil. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta