1. Pendahuluan
Ikan capungan banggai
atau banggai cardinal fish atau ada yang menyingkat namanya dengan sebutan BCF,
yang selanjutnya dalam tulisan ini nama yang akan disebutkan adalah ikan
banggai, adalah jenis ikan yang akhir akhir ini popularitasnya meningkat tajam,
seiring dengan masuknya jenis ikan ini ke dalam perundang-undangan lingkungan
hidup Amerika dan diusulkan oleh Uni Eropa supaya dapat masuk ke dalam daftar
apendiks CITES pada pertemuan negara para pihak, CoP CITES ke 17 di Johanesburg
Afrika Selatan pada September – Oktober 2016 ini.
Dari namanya saja ikan
ini sudah dapat ditebak bahwa ikan ini adalah ikan asli Indonesia atau ikan
endemis Indonesia, khususnya endemis di wilayah Kabupaten Banggai di Provinsi
Sulawesi Tengah. Namun karena
penyebarannya baik secara sengaja maupun tidak sengaja, ikan banggai ini sudah
dapat dikembang biakan di luar habitatnya di wilayah Banggai. Beberapa negara
lain yang tercatat sudah dapat mengembangbiakan ikan banggai ini adalah:
Vietnam, Hawaii, Amerika Latin dan lainnya.
Walaupun sebenarnya
ikan banggai ini tidak terlalu sulit untuk dikembangbiakan/dibudidayakan di
Indonesia, namun karena dari Indonesia belum ada yang mengekspos secara ilmiah
secara internasional termasuk ke secretariat CITES, maka Indonesia belum diakui
‘sudah dapat’ melakukan pengembangbiakan/budidaya ikan banggai.
2.
Biologi
dan Morfologi Ikan Banggai
Taksonomi
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Actinopterygii
Ordo : Perciformes
Famili : Apogonidae
Genus : Pterapogon
Spesies : Pterapogon
kauderni
Nama
umum :
Nama local : ikan capungan banggai, ikan banggai,
ikan banggai
kardinal
Bahasa
Inggris : Banggai cardinalfish
Perancis : Poisson-cardinal de Banggai
Spanyol : Pez cardenal de Banggai
Menurut
Vagelli (2008), ikan Banggai (Pterapogon kauderni) memiliki sejumlah
karakteristik biologis yang membuatnya rentan terhadap eksploitasi berlebihan,
termasuk penyebaran atau distribusi yang sangat terbatas, tingkat produktivitas
rendah, dan tidak adanya mekanisme penyebaran sebagaimana dimiliki oleh ikan
laut yang lain.[1] Selain
itu, beberapa karakteristik ekologi ikan Banggai sangat memudahkan untuk
ditangkap, termasuk preferensi untuk habitat perairan dangkal, perilaku yang
sangat bergantung pada habitat, dan pembentukan kelompok individu dalam habitat
(Vagelli, 2005).[2] Selanjutnya,
diantara spesies yang termasuk dalam family Apogonidae, ikan Banggai memiliki
fekunditas yang paling rendah dengan jumlah sekitar 60 telur (Vagelli, 2011).[3]
Selanjutnya, menurut Vagelli (2011), kematangan seksual ikan Banggai dicapai pada umur sekitar sembilan bulan,
dengan rentang umur spesies sekitar 3-5 tahun. Adapun tingkat pengasuhan indukan
terhadap telur adalah cukup tinggi, dengan jenis kelamin jantan akan mengerami
atau melindungi telur selama sekitar 20 hari dan mempertahankan embrio sebelum
menetas selama sekitar satu minggu sebelum kemudian melepaskannya (Vagelli,
2011).
Spesies
ini memiliki peran secara terbalik dalam hal reproduksi. Spesies jantan akan
membatasi hasil reproduksi betina dan perkawinan membutuhkan keberhasilan
spesies betina untuk bersaing mendapatkan spesies jantan (Vagelli, 2011).[4]
Sebagai konsekuensi, tidak semua spesies betina dewasa dalam suatu populasi
dapat kawin pada waktu tertentu yang mengakibatkan dapat terjadi penurunan
fekunditas populasi. Sebagai tambahan, spesies jantan tidak akan makan selama
periode inkubasi (kira-kira 28 hari) yang menghambat kemampuan mereka untuk
mengerami (kawin) dengan segera setelah melepaskan anakan sehingga membatasi
ketersediaan populasi. Dengan demikian, spesies jantan hanya memiliki beberapa
siklus pengeraman per tahun sehingga membatasi tingkat reproduksi populasi dan
perekrutan maksimum (Vagelli, 2011). Adapun siklus hidup ikan Banggai, meliputi:
fase induk, telur, larva, benih, juvenil, dewasa, dan induk (Gambar 1).
Gambar 1. Siklus hidup ikan Banggai
(Vagelli and Volpedo, 2004)[5]
Kurangnya
fase planktonik dalam distribusi
telur dan periode larva, dan perilaku individu dewasa yang menetap pada suatu
habitat mengakibatkan kapasitas penyebaran dari spesies ini sangat terbatas
termasuk dalam hal perekrutan. Tidak seperti spesies lain yang termasuk dalam
family Apogonidae, ikan Banggai
memiliki kebiasaan mencari makan pada siang hari (Vagelli, 2005).[6]
Selanjutnya, menurut Vagelli dan Erdman (2002) dan Vagelli (2005), ikan Banggai
merupakan jenis planktivor yang
memangsa kopepoda atau krustasea kecil. Adapun ukuran makanan spesies
ini bervariasi yaitu mulai dari 0,1 mm sampai dengan 14 mm. Dalam rentang
geografisnya di alam, spesies ini membentuk grup yang terdiri dari 9 individu.
Namun demikian, secara umum ditemukan spesies ini membentuk grup dalam jumlah
yang lebih sedikit.[7]
Namun demikian, trend populasi saat
ini telah menunjukkan adanya penurunan dengan intensitas perdagangan spesies
untuk akuarium yang cukup tinggi.
Secara
morfologi, ikan Banggai merupakan
ikan berukuran kecil (panjang standar: 55-57 mm) dengan bagian tubuh yang memiliki
pola kontras khas berwarna hitam dan memiliki bintik-bintik berwana putih.
Bintik putih pada tubuh ikan ini merupakan tanda yang unik dan dapat digunakan
sebagai dasar untuk mengidentifikasi spesimen (Vagelli, 2002).[8]
Menurut Allen (2000), ikan Banggai berbeda dengan spesies lain yang termasuk
dalam famili Apogonidae dimana spesies
ini mempunyai sirip punggung pertama berbentuk kuncir, anus dan sirip punggung
kedua yang memanjang, sirip ekor bercabang, dan pola warna tubuh yang berbeda.[9]
Perbedaan sistematik tubuh bagian luar antar individu yang berbeda jenis
kelamin dalam spesies yang sama belum dapat dideskripsikan dengan baik, namun individu
jantan dapat dibedakan dari individu betina melalui rongga mulut yang membesar
dan mencolok.[10]
3. Distribusi ikan Bangggai
Penyebaran
atau distribusi spesies ini sangat terbatas dan bersifat endemik di Kepulauan
Banggai (Gambar 1).[11]
Namun, sejak survei populasi dilakukan sejak tahun 2001, dilaporkan bahwa
spesies ini ditemukan pada perairan dangkal di 34 pulau dari 67 pulau yang
disurvei di Kepulauan Banggai (Vagelli, 2011 dan Vagelli, 2015).[12]
[13]
Selanjutnya, potensi habitat spesies ini ditemukan hingga lebih dari 100 meter
dari garis pantai.[14]
Ikan Banggai juga ditemukan di Selat Lembeh (Sulawesi Utara), Luwuk (Sulawesi
Tengah) dan di Kepulauan Banggai.[15]
Gambar 1. Distribusi ikan Banggai (spesies pada angka
berwarna hijau)
Selanjutnya,
introduksi secara langsung ikan banggai mengakibatkan
jumlah individu yang kurang dari habitat aslinya di Kepulauan Banggai
sebagaimana ditemukan di Luwuk dan Teluk Palu (Sulawesi Tengah), Selat Lembeh
dan Tumbak (Sulawesi Utara) dan Bali.[16]
[17]
4.
Perdagangan
Ikan Banggai
CITES
Trade Database mencatat bahwa
perdagangan internasional Banggai
cardinalfish (BCF) dalam periode 2008–2014 dengan jumlah sebanyak 100.461
spesimen (Tabel 1).[18]
Negara pengekspor ikan banggai terbesar adalah Indonesia dengan total ekspor
sebanyak 75.730 spesimen selama periode 2008–2014 (Gambar 2). Negara tujuan
ekspor ikan banggai dari Indonesia adalah Inggris, Jerman, Belgia, Perancis,
Denmark, Italia, dan Spanyol. Sedangkan negara pengimpor ikan banggai terbesar
adalah Inggris dengan total impor sebanyak 69.180 spesimen (periode 2008–2014);
Gambar 2. Ekspor ikan banggai dari
Indonesia
Spesimen
ikan banggai yang diperdagangkan secara internasional bersumber dari:
a) I Spesimen
hasil sitaan
b) C Hasil penangkaran sesuai Resolusi CITES 10.16
(Spesimen hasil pembesaran di penangkaran), diekspor sesuai aturan Artikel VII,
paragraph 5 dari Teks Konvensi CITES
c)
U Sumber
tidak diketahui
d) W Spesimen yang diambil dari alam
Ikan banggai dari Indonesia yang diperdagangkan secara internasional
berkode
Atau bersumber dari specimen yang diambil dari alam atau W.
Tujuan:
T: Komersial
5.
Status
Konservasi Ikan Banggai Secara Nasional
Sampai
saat ini ikan Banggai belum termasuk ke dalam jenis ikan yang dilindungi secara
nasional. Namun secara lokal, Badan Pengelola Lingkungan Hidup, Kabupaten
Banggai Kepulauan (2012) mencatat bahwa telah ada upaya ditingkat pemerintah
lokal melalui surat Nomor: 523.870/29/DISLUTKAN/2011 tanggal 28 Februari 2011 terkait
usulan inisiatif status perlindungan terhadap spesies ini, dimana Bupati
Banggai Kepulauan telah mengusulkan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan untuk
menetapkan spesies ini untuk mendapatkan status perlindungan secara terbatas.
Sampai saat itu, pemerintah pusat dengan mengacu pada Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor PER.03/MEN/2010 tentang Tata Cara Penetapan Status
Perlindungan Jenis Ikan[19],
masih terus melakukan pendataan dan kajian untuk menetapkan ikan banggai ini
sebagai jenis ikan yang dilindungi secara terbatas menurut ukuran.
Sebagai
tindak lanjut dari surat di atas, pada tanggal 13 September 2011, Direktorat
Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan atau Dit. KKJI (yang saat ini bernama: Direktorat
Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut atau Dit. KKHL), Kementerian Kelautan
dan Perikanan bersama Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Tengah telah
melakukan kegiatan konsultasi publik di Desa Bone Baru, Banggai Kepulauan.
Kegiatan tersebut dihadiri oleh perwakilan dari Dit. KKHL, Dinas Kelautan dan
Perikanan Propinsi Sulawesi Tengah, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Banggai Kepulauan, Stasiun Karantina Ikan, Badan Lingkungan Hidup Kabupaten
Banggai Kepulauan, Perguruan Tinggi, Kepala Desa Bone Baru, Tokoh Masyarakat
Desa Bone Baru, BCF Center, Yayasan LINI, dan nelayan penangkap ikan banggai telah
bersepakat untuk menyusun regulasi perlindungan terbatas ikan banggai. Adapun
opsi pengaturan pada saat itu terkait dengan larangan penangkapan dan
perdagangan ikan dengan ukuran <4 cm, hal ini dikecualikan untuk kegiatan
penelitian. Sedangkan pemanfaatan ikan banggai dengan ukuran >4 cm diatur dengan
sistem kuota.
6.
Status
Konservasi Ikan Banggai di Amerika Serikat Terkait Undang Undang Spesies
Terancam Punah, Endangered Species Act
atau ESA
Beberapa
dokumen yang digunakan oleh Pemerintah Amerika Serikat dalam penetapan status Banggai cardinal fish sebagai spesies dengan kategori “terancam - threatened” (Tabel 2), sebagai berikut:
Tabel 2. Dokumen terkait penetapan status perlindungan Ikan Banggai
Pada tanggal 15 Juli 2003, WildEarth Guardians menyampaikan petisi
kepada Pemerintah Amerika Serikat melalui Kantor Perlindungan Sumber Daya, National Marine Fisheries Service (NMFS)
untuk memasukan 81 spesies laut ke dalam kategori terancam dan terancam punah Endangered Species Act (ESA). Di Amerika
Serikat, ESA merupakan Undang-Undang yang mengatur konservasi spesies yang
terancam (threatened) dan terancam
punah (endangered) beserta
ekosistemnya.[20]
Setelah melalui proses kajian atau tinjauan status terhadap
spesies Banggai cardinal fish, NMFS
selanjutnya membuat kajian resiko bahaya kepunahan. Dalam melakukan kajian
tersebut, NMFS mempertimbangkan faktor viabilitas demografi (kemungkinan suatu
spesies untuk dapat hidup pada suatu habitat tertentu) dan matriks resiko
bahaya kepunahan. Adapun kondisi keseluruhan dari populasi dipertimbangkan
sampai pada level spesies berdasarkan empat faktor utama, yaitu kepadatan,
produktivitas/rata-rata pertumbuhan, konektivitas/wilayah, dan keragaman.
Langka selanjutnya, NMFS melakukan kajian terhadap upaya
perlindungan spesies untuk menentukan apakah upaya konservasi tersebut sudah
cukup untuk meminimalkan atau mitigasi berbagai ancaman terhadap kelangsungan
hidup spesies ini, termasuk upaya negara lain (dalam hal ini Indonesia) dalam
konservasi Banggai cardinal fish. NMFS
kemudian menerima komentar dan masukan (public
comment) dari berbagai pihak terhadap petisi dan hasil kajian yang sudah
dilakukan oleh NMFS (12 masukan diterima yang kemudian dijadikan bahan masukan
untuk menentukan penetapan status perlindungan Banggai cardinal fish). Berdasarkan informasi yang diperoleh dari
dalam petisi, hasil kajian NMFS (keilmuan dan informasi perdagangan) dan
masukan dari berbagai pihak, Banggai
cardinal fish dimasukan dalam daftar spesies dengan kategori terancam/threatened dan ketentuan tersebut mulai
berlaku efektif sejak tanggal 19 Februari 2016.
Banggai cardinal fish berada dibawah yurisdiksi National
Marine Fisheries Service (NMFS), National
Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), United States Department of Commerce. Saat ini, NMFS mengatur 139
spesies laut dan 49 spesies yang secara eksklusif terdapat di luar teritorial
laut Amerika Serikat. Adapun total spesies yang diatur dalam Endangered Species Act berjumlah 2.245
spesies (Tabel 3).[21]
Tabel 3. Spesies Laut Terancam dan
Terancam Punah dibawah Yurisdiksi NMFS
Spesies
|
Tahun Pengaturan
|
Status
|
Habitat Penting
|
Rencana Pemulihan
|
Ikan:
Pteropogon
kauderni
|
2016
|
Terancam
(Luar Negeri) (T/F)
|
Tidak
(di luar wilayah/yurisdiksi Pemerintah Amerika Serikat)
|
Tidak
ada
|
Mamalia
laut (26 spesies)
|
||||
Penyu
dan reptil laut (26 spesies)
|
||||
Ikan
(59 spesies)
|
||||
Invertebrata
laut (27 spesies)
|
Keterangan:
T: Threatened; F: Foreign
Penetapan status spesies laut yang berada di luar teritorial laut
Amerika Serikat berlaku sama dengan penetapan status spesies yang berada di
wilayah yurusdiksi Pemerintah Amerika Serikat.[22]
Manfaat perlindungan spesies melalui pengaturan Endangered Spesies Act untuk spesies yang berada di luar teritorial
laut Amerika Serikat terutama diwujudkan dalam bentuk pembatasan perdagangan
dan termasuk larangan kegiatan tertentu, yaitu impor, ekspor, kegiatan
komersial, perdagangan antar negara bagian, dan perdagangan luar negeri.
Dalam penetapan status perlindungan, Pemerintah Amerika Serikat
menggunakan Bagian Ke-3 dari Teks Endangered
Species Act yang mengatur tentang definisi “endangered (terancam punah) dan threatened
(terancam) species.” Perbedaan
hukum antara status spesies yang “terancam” dan spesies yang “terancam punah”
adalah dititikberatkan pada waktu ketika spesies yang dibuktikan berada dalam
bahaya kepunahan, baik saat ini (terancam punah) atau di masa mendatang
(terancam).
Section 3 (6) The term “endangered
species” means any species which is in danger of extinction throughout all
or a significant portion of its range other than a species of the Class insecta
determined by the Secretary to constitute a pest whose protection under the
provisions of this Act would present an overwhelming and overriding risk to
man.
Section 3 (20) The term “threatened
species” means any species which is likely to become an endangered species
within the foreseeable future throughout all or a significant portion of its
range.
Selanjutnya, dalam penetapan status perlindungan, Pemerintah
Amerika Serikat menggunakan Tata Cara Penetapan Status Perlindungan Spesies
yang tertuang pada Bagian Ke-4 (a)(1) dari Teks Endangered Species Act yang mengatur tentang faktor penentu dalam
penetapan status perlindungan spesies menjadi kategori terancam (threatened) dan terancam punah (endangered).
Ketentuan pelanggaran terhadap penetapan status terkait perlindungan Banggai
cardinal fish menjadi
kategori terancam oleh pemerintah Amerika Serikat sebagaimana dimandatkan dalam Bagian Ke-9 Teks Endangered Species Act adalah perbuatan
melanggar hukum bagi setiap orang di dalam wilayah yurisdiksi Amerika Serikat
untuk:
-
Mengimpor spesies tersebut ke
dalam, atau ekspor spesies tersebut dari Amerika Serikat;
-
Mengambil spesies tersebut di
Amerika Serikat atau dari wilayah teritorial laut Amerika Serikat;
-
Mengambil spesies tersebut dari
laut lepas;
-
Memiliki, menjual, memberikan,
membawa, memindahkan dengan cara apapun, spesies tersebut
-
Menyampaikan, menerima, membawa,
memindahkan melalui perdagangan antar negara bagian atau perdagangan luar
ngeri, dan dalam kegiatan komersial jenis apapun;
-
Menjual atau menawarkan untuk
dijual antar negara bagian atau perdagangan luar negeri dari spesies tersebut;
atau
-
Melanggar peraturan apapun yang
berkaitan dengan spesies tersebut atau untuk setiap spesies terancam dan
terdaftar sesuai dengan Bagian 4 Endangered
Species Act ini dan diumumkan secara resmi oleh Sekretaris berdasarkan
otoritas yang diberikan oleh Endangered
Species Act.
7.
Status
Ikan Banggai di IUCN Red List
Saat
ini, IUCN Red List mengkategorikan ikan Banggai cardinal sebagai species yang
terancam punah (endangered) (Gambar
4).[23]
Selain sifatnya yang endemik, spesies ini juga ditemukan dalam jumlah populasi
yang kecil, wilayah sebaran yang terbatas, fekunditas yang rendah, dan
kemampuan penyebaran yang terbatas.
Gambar 4. Status Konservasi Species IUCN Red List
8.
Status
Ikan Banggai di CITES
Pada
tahun 2007, Pemerintah Amerika Serikat telah mengajukan proposal dalam Konferensi
Para Pihak (CoP) ke-14 di Hague, Belanda untuk memasukkan ikan banggai dalam
apendiks II CITES. Argumentasi yang digunakan oleh negara pengusul (negara
proponen) pada saat itu adalah terjadinya penurunan populasi pada wilayah
distribusi, penurunan jumlah populasi, penurunan jumlah sub-populasi, penurunan
tangkapan per unit usaha (catch per unit
effort atau CPUE) dan eksploitasi untuk perdagangan yang tinggi.
Saat
ini, ikan banggai akan diusulkan kembali untuk dimasukkan dalam daftar apendiks
II pada Konferensi Para Pihak (Conference
of Parties, CoP) ke-17 yang akan dilaksanakan di Johannesburg, Afrika
Selatan pada tanggal 24 September-5 Oktober 2016. Negara pengusul (proponen) adalah Uni-Eropa/The European Union yang saat ini
berjumlah 27 negara (tidak termasuk Inggris yang baru memisahkan diri). Pada
prinsipnya, argumentasi yang sama digunakan untuk mengusulkan spesies ini masuk
dalam daftar apendiks II CITES. Sebagai tambahan, instrumen pengaturan di
tingkat nasional yang dibahas dalam proposal yang disampaikan oleh Uni-Eropa
menyebutkan bahwa ikan Banggai bukan merupakan jenis ikan dilindungi di
Indonesia dibawah regulasi Pemerintah Indonesia.
9.
Posisis
Indonesia Terkait Uplisting Ikan Banggai ke Apendiks II CITES
Ikan Banggai adalah salah satu sumberdaya yang dimiliki Indonesia
dan memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi karena telah diperdagangkan
sebagai ikan yang dipelihara di akuarium.[24]
[25]Oleh
karena itu, Indonesia berkeinginan sumberdaya yang dimilikinya tersebut dapat
dimanfaatkan sebesar besarnya untuk kesejahteran masyarakat luas. Sehingga,
posisi Indonesia tidak pernah mendukung jenis atau spesies apapun untuk
uplisting ke dalam apendiks CITES.
Namun demikian, apabila suatu jenis atau spesies sudah ditetapkan
masuk ke dalam apendiks CITES, maka Indonesia akan mengikuti aturan perdagangan
internasionalnya sesuai ketentuan yang berlaku di CITES karena Indonesia sudah
meratifikasi ketentuan CITES melalui Keputusan Presiden No. 43 tahun 1978.
10.
Apa
yang harus dilakukan Kita
CITES
adalah satu satunya perjanjian global dengan focus kepada perlindungan satwa
dan tumbuhan. Perlindungan satwa dan tumbuhan tersebut diimplementasikan dalam
pengaturan perdagangannya. Walaupun keikutsertaan suatu negara dalam CITES
bersifat sukarela, namun negara yang menyatakan ikut menandatangani kesepakatan
dalam CITES atau disebut negara para pihak (parties)
seperti halnya Indonesia, maka secara hukum akan mengikat pada setiap kegiataan
perdagangan internasional dari satwa dan tumbuhan yang terancam punah yang
dilakukan oleh negara bersangkutan.
Setiap
3 tahun sekali negara para pihak melakukan sidang (CoP) dimana dalam sidang
tersebut dibahas berbagai isyu kekinian dari perlindungan satwa dan tumbuhan
terancam punah serta perdagangannya. Seperti memutuskan untuk uplisting
beberapa spesies tertentu satwa dan tumbuhan ke dalam apendiks CITES, seperti
pada CoP CITES ke 17 di Afrika Selatan yang akan datang, beberapa negara
(negara pengusul/proponen) ada yang
mengusulkan ikan banggai ke dalam apendiks ll CITES (uplisting), ini diusulkan oleh Uni Eropa. Kemudian negara Maladewa
mengusulkan jenis hiu alopias ke dalam apendiks CITES (uplisting). Srilangka
bersama Maladewa dan Fiji mengusulkan mobula (saudara kembarnya pari manta)
masuk ke dalam apendiks ll CITES (uplisting)
juga. Tetapi, Malaysia akan mengusulkan
buaya muara dari apendiks l ke apendiks ll CITES (downlisting). Putusan sidang akan dilakukan pertama secara mufakat
/ kesepakatan dari negara negara anggota, tetapi apabila cara kesepakatan tidak
disetujui, maka cara pengambilan keputusan akan dilakukan secara voting dengan
suara yang disetujui adalah 50% + 1.
Anggota
delegasi negara yang hadir dalam sidang para pihak (CoP) tersebut baik yang
tidak setuju maupun yang setuju harus memiliki data base dari spesies / jenis yang diusulkan tersebut. Apalagi
bagi negara pengusul (proponen)
tentunya data yang dimilikinya harus jauh lebih lengkap. Dengan demikian, dalam
menghadapi CoP CITES ke 17 di Afrika Selatan tersebut, Indonesia harus
menyiapkan data-data terkait ikan banggai, mobula, dan hiu jenis alopias.
Tentunya
negara pengusul (proponen) untuk
memasukkan salah satu spesies atau jenis ke dalam apendiks CITES (uplisting) mauoun ingin menurunkan atau
mengeluarkan level di apendiks CITES (downlisting)
sudah secara matang dipikirkan untung ruginya, baik secara ekonomi, maupun
secara secara sosial dan lingkungan. Maladewa atau Maldive dan Srilangka
mengusulkan hiu alopias dan mobula ke dalam apendiks CITES karena ke dua jenis
ikan tersebut di negara-negara tersebut menjadi andalan (atraksi) wisata
baharinya. Kita tahu, bahwa negara Maladewa dan Srilangka, perekonomiannya
sangat tergantung dari pariwisata. Lain halnya dengan Uni Eropa yang menjadi
pengusul untuk ikan banggai. Dimana ditengarai bahwa usulan yang mereka lakukan
tidak lepas dari politik dagang.
Sebagaimana diketahui, kalau suatu jenis satwa atau tumbuhan terancam punah
sudah dapat dibudidayakan, maka ketentuan perdagangannya tidak lagi dibatasi
berdasarkan kuota.
Indonesia
harus bisa menunjukkan bahwa kita sudah bisa melakukan pengembangbiakan atau
budidaya ikan banggai. Sehingga perdagangannya di dalam CITES tidak lagi
berkode ‘W’ atau wild tetapi berkode ‘C’ ataau captive yang
berarti tidak terbatas oleh kuota.
Kita
bisa sejahtera dari sumberdaya yang kita miliki.
[1] Vagelli, A.A. (2008). The unfortunate
journey of Pterapogon kauderni: A
remarkable apogonid endangered by the international ornamental fish trade, and
its case in CITES. SPC Live Reef Fish
Information Bulletin, 18: 17–28.
[2] Vagelli, A.A. (2005). Reproductive biology, geographic
distribution and ecology of the Banggai cardinalfish Pterapogon kauderni
Koumans, 1933 (Perciformes, Apogonidae), with Considerations on the
Conservation Status of this Species on its Natural Habitat. PhD Thesis.
University of Buenos Aires. 276 pp.
[3] Vagelli, A.A. (2011). The Banggai cardinalfish: natural history,
conservation, and culture of Pterapogon kauderni. Wiley-Blackwell, UK. 203
pp.
[4] Vagelli, A.A. (2011). The Banggai cardinalfish: natural history,
conservation, and culture of Pterapogon kauderni. Wiley-Blackwell, UK. 203
pp.
[5] Vagelli, A.A. and Volpedo, A. V.
(2004). Reproductive ecology of Pterapogon
kauderni, an endemic apogonid from Indonesia with direct development. Environmental Biology of Fishes, 70:
235–245.
[6] Vagelli, A.A. (2005). Reproductive biology, geographic
distribution and ecology of the Banggai cardinalfish Pterapogon kauderni
Koumans, 1933 (Perciformes, Apogonidae), with Considerations on the
Conservation Status of this Species on its Natural Habitat. PhD Thesis.
University of Buenos Aires. 276 pp.
[7] Allen, G.R & Donaldson, T.J.
(2007). Pterapogon kauderni. The IUCN
Red List of Threatened Species 2007: e.T63572A12692964. http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2007.RLTS.T63572A12692964.en
[8] Vagelli, A. (2002). Notes on the
biology, geographic distribution, and conservation status of the Banggai
cardinalfish Pterapogon kauderni
Koumans 1933, with comments on captive breeding techniques. Tropical Fish Hobbyist, 84–88.
[9] Allen, G.R. (2000). Threatened fishes
of the world: Pterapogon kauderni
Koumans, 1933 (Apogonidae). Environmental
Biology of Fishes, 57: 142.
[10] Vagelli, A.A. and Volpedo, A. V.
(2004). Reproductive ecology of Pterapogon
kauderni, an endemic apogonid from Indonesia with direct development. Environmental Biology of Fishes, 70:
235–245.
[11] Allen, G. R. & Steene, R.C. (1995).
Notes on the ecology and behaviour of the Indonesian cardinalfish (Apogonidae) Pterapogon kauderni Koumans. Rev. Fr. Aquariol, 22: 7–9.
[12] Vagelli, A.A. (2011). The Banggai cardinalfish: natural history,
conservation, and culture of Pterapogon kauderni. Wiley-Blackwell, UK. 203
pp.
[13] Vagelli, A.A. (2015). Update on populations' condition of the
Banggai cardinalfish Pterapogon kauderni. Unpublished report.
[14] Vagelli, A.A. (2005). Reproductive biology, geographic
distribution and ecology of the Banggai cardinalfish Pterapogon kauderni
Koumans, 1933 (Perciformes, Apogonidae), with Considerations on the
Conservation Status of this Species on its Natural Habitat. PhD Thesis.
University of Buenos Aires. 276 pp.
[15] Allen, G.R & Donaldson, T.J.
(2007). Pterapogon kauderni. The IUCN
Red List of Threatened Species 2007: e.T63572A12692964. http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2007.RLTS.T63572A12692964.en
[16] Vagelli, A.A. and Erdmann, M. (2002).
First comprehensive ecological survey of the Banggai cardinalfish, Pterapogon kauderni. Environmental Biology of Fishes, 63(1):
1–8.
[17] Moore, A., Ndobe, S. and Zamrud, M. (2011).
Monitoring the Banggai cardinalfish, an endangered restricted range endemic
species. Journal of Indonesia Coral
Reefs, 1(2): 99-113.
[18] CITES. (n/d). CITES trade database. http://trade.cites.org/
[19] Pemerintah Kabupaten Banggai
Kepulauan. (2012). Banggai cardinal fish
(peterapogon keuderni) akan dilindungi secara terbatas. Badan Pengelola
Lingkungan Hidup.
[20] U.S. Fish and Wildlife Service. (n/d).
Endangered Species Act. Department of
the Interior.
[21] NOAA. (2016). Endangered species act (ESA). http://www.nmfs.noaa.gov/pr/laws/esa/
[22] NOAA. (n/d). How are foreign species listed under the endangered species act
(ESA)?. http://www.nmfs.noaa.gov/pr/species/esa/foreign.htm
[23] Allen, G.R & Donaldson, T.J. 2007.
Pterapogon kauderni. The IUCN Red
List of Threatened Species 2007: e.T63572A12692964.
http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2007.RLTS.T63572A12692964.en
[24] Hopkins, S., Ako, H., & Tamaru, C.
S. (2005). Manual for the production of
the Banggai cardinalfish, Pterapogon kauderni, in Hawai‘i. University of
Hawai‘i Sea Grant College Program.
[25] Rhyne, A. L., Tlusty, M. F.,
Schofield, P. J., Kaufman, L. Morris, J. A. M., & Bruckner, A. W. (2012).
Revealing the appetite of the marine aquarium fish trade: The volume and
biodiversity of fish imported into the United States. PloS ONE 7(5): e35808. doi:10.1371/journal.pone.0035808
Ikan Banggai di Yayasan LINI Buleleng Bali |