Kamis, 21 Juli 2016

Status Konservasi Ikan Capungan Banggai, Banggai Cardinal Fish, BCF



1.   Pendahuluan

Ikan capungan banggai atau banggai cardinal fish atau ada yang menyingkat namanya dengan sebutan BCF, yang selanjutnya dalam tulisan ini nama yang akan disebutkan adalah ikan banggai, adalah jenis ikan yang akhir akhir ini popularitasnya meningkat tajam, seiring dengan masuknya jenis ikan ini ke dalam perundang-undangan lingkungan hidup Amerika dan diusulkan oleh Uni Eropa supaya dapat masuk ke dalam daftar apendiks CITES pada pertemuan negara para pihak, CoP CITES ke 17 di Johanesburg Afrika Selatan pada September – Oktober 2016 ini.
Dari namanya saja ikan ini sudah dapat ditebak bahwa ikan ini adalah ikan asli Indonesia atau ikan endemis Indonesia, khususnya endemis di wilayah Kabupaten Banggai di Provinsi Sulawesi Tengah.  Namun karena penyebarannya baik secara sengaja maupun tidak sengaja, ikan banggai ini sudah dapat dikembang biakan di luar habitatnya di wilayah Banggai. Beberapa negara lain yang tercatat sudah dapat mengembangbiakan ikan banggai ini adalah: Vietnam, Hawaii, Amerika Latin dan lainnya.
Walaupun sebenarnya ikan banggai ini tidak terlalu sulit untuk dikembangbiakan/dibudidayakan di Indonesia, namun karena dari Indonesia belum ada yang mengekspos secara ilmiah secara internasional termasuk ke secretariat CITES, maka Indonesia belum diakui ‘sudah dapat’ melakukan pengembangbiakan/budidaya ikan banggai.

2.   Biologi dan Morfologi Ikan Banggai

Taksonomi
         Kingdom       :         Animalia
         Filum           :         Chordata
         Kelas           :         Actinopterygii
         Ordo            :         Perciformes
         Famili           :         Apogonidae
         Genus          :         Pterapogon
         Spesies        :         Pterapogon kauderni

Nama umum :
     Nama local     : ikan capungan banggai, ikan banggai, ikan banggai
                           kardinal
Bahasa Inggris   : Banggai cardinalfish
Perancis            : Poisson-cardinal de Banggai
Spanyol            : Pez cardenal de Banggai

Menurut Vagelli (2008), ikan Banggai  (Pterapogon kauderni) memiliki sejumlah karakteristik biologis yang membuatnya rentan terhadap eksploitasi berlebihan, termasuk penyebaran atau distribusi yang sangat terbatas, tingkat produktivitas rendah, dan tidak adanya mekanisme penyebaran sebagaimana dimiliki oleh ikan laut yang lain.[1] Selain itu, beberapa karakteristik ekologi ikan Banggai sangat memudahkan untuk ditangkap, termasuk preferensi untuk habitat perairan dangkal, perilaku yang sangat bergantung pada habitat, dan pembentukan kelompok individu dalam habitat (Vagelli, 2005).[2] Selanjutnya, diantara spesies yang termasuk dalam family Apogonidae, ikan Banggai memiliki fekunditas yang paling rendah dengan jumlah sekitar 60 telur (Vagelli, 2011).[3] Selanjutnya, menurut Vagelli (2011), kematangan seksual ikan Banggai  dicapai pada umur sekitar sembilan bulan, dengan rentang umur spesies sekitar 3-5 tahun. Adapun tingkat pengasuhan indukan terhadap telur adalah cukup tinggi, dengan jenis kelamin jantan akan mengerami atau melindungi telur selama sekitar 20 hari dan mempertahankan embrio sebelum menetas selama sekitar satu minggu sebelum kemudian melepaskannya (Vagelli, 2011).
Spesies ini memiliki peran secara terbalik dalam hal reproduksi. Spesies jantan akan membatasi hasil reproduksi betina dan perkawinan membutuhkan keberhasilan spesies betina untuk bersaing mendapatkan spesies jantan (Vagelli, 2011).[4] Sebagai konsekuensi, tidak semua spesies betina dewasa dalam suatu populasi dapat kawin pada waktu tertentu yang mengakibatkan dapat terjadi penurunan fekunditas populasi. Sebagai tambahan, spesies jantan tidak akan makan selama periode inkubasi (kira-kira 28 hari) yang menghambat kemampuan mereka untuk mengerami (kawin) dengan segera setelah melepaskan anakan sehingga membatasi ketersediaan populasi. Dengan demikian, spesies jantan hanya memiliki beberapa siklus pengeraman per tahun sehingga membatasi tingkat reproduksi populasi dan perekrutan maksimum (Vagelli, 2011). Adapun siklus hidup ikan Banggai, meliputi: fase induk, telur, larva, benih, juvenil, dewasa, dan induk (Gambar 1).

Gambar 1. Siklus hidup ikan Banggai (Vagelli and Volpedo, 2004)[5]

Kurangnya fase planktonik dalam distribusi telur dan periode larva, dan perilaku individu dewasa yang menetap pada suatu habitat mengakibatkan kapasitas penyebaran dari spesies ini sangat terbatas termasuk dalam hal perekrutan. Tidak seperti spesies lain yang termasuk dalam family Apogonidae, ikan Banggai memiliki kebiasaan mencari makan pada siang hari (Vagelli, 2005).[6] Selanjutnya, menurut Vagelli dan Erdman (2002) dan Vagelli (2005), ikan Banggai merupakan jenis planktivor yang memangsa kopepoda atau krustasea kecil. Adapun ukuran makanan spesies ini bervariasi yaitu mulai dari 0,1 mm sampai dengan 14 mm. Dalam rentang geografisnya di alam, spesies ini membentuk grup yang terdiri dari 9 individu. Namun demikian, secara umum ditemukan spesies ini membentuk grup dalam jumlah yang lebih sedikit.[7] Namun demikian, trend populasi saat ini telah menunjukkan adanya penurunan dengan intensitas perdagangan spesies untuk akuarium yang cukup tinggi.
Secara morfologi, ikan Banggai merupakan ikan berukuran kecil (panjang standar: 55-57 mm) dengan bagian tubuh yang memiliki pola kontras khas berwarna hitam dan memiliki bintik-bintik berwana putih. Bintik putih pada tubuh ikan ini merupakan tanda yang unik dan dapat digunakan sebagai dasar untuk mengidentifikasi spesimen (Vagelli, 2002).[8] Menurut Allen (2000), ikan Banggai berbeda dengan spesies lain yang termasuk dalam famili Apogonidae dimana spesies ini mempunyai sirip punggung pertama berbentuk kuncir, anus dan sirip punggung kedua yang memanjang, sirip ekor bercabang, dan pola warna tubuh yang berbeda.[9] Perbedaan sistematik tubuh bagian luar antar individu yang berbeda jenis kelamin dalam spesies yang sama belum dapat dideskripsikan dengan baik, namun individu jantan dapat dibedakan dari individu betina melalui rongga mulut yang membesar dan mencolok.[10]

3.   Distribusi ikan Bangggai

Penyebaran atau distribusi spesies ini sangat terbatas dan bersifat endemik di Kepulauan Banggai (Gambar 1).[11] Namun, sejak survei populasi dilakukan sejak tahun 2001, dilaporkan bahwa spesies ini ditemukan pada perairan dangkal di 34 pulau dari 67 pulau yang disurvei di Kepulauan Banggai (Vagelli, 2011 dan Vagelli, 2015).[12] [13] Selanjutnya, potensi habitat spesies ini ditemukan hingga lebih dari 100 meter dari garis pantai.[14] Ikan Banggai juga ditemukan di Selat Lembeh (Sulawesi Utara), Luwuk (Sulawesi Tengah) dan di Kepulauan Banggai.[15]
Gambar 1. Distribusi ikan Banggai (spesies pada angka berwarna hijau)

Selanjutnya, introduksi secara langsung ikan banggai  mengakibatkan jumlah individu yang kurang dari habitat aslinya di Kepulauan Banggai sebagaimana ditemukan di Luwuk dan Teluk Palu (Sulawesi Tengah), Selat Lembeh dan Tumbak (Sulawesi Utara) dan Bali.[16] [17]

4.   Perdagangan Ikan Banggai

CITES Trade Database mencatat bahwa perdagangan internasional Banggai cardinalfish (BCF) dalam periode 2008–2014 dengan jumlah sebanyak 100.461 spesimen (Tabel 1).[18] Negara pengekspor ikan banggai terbesar adalah Indonesia dengan total ekspor sebanyak 75.730 spesimen selama periode 2008–2014 (Gambar 2). Negara tujuan ekspor ikan banggai dari Indonesia adalah Inggris, Jerman, Belgia, Perancis, Denmark, Italia, dan Spanyol. Sedangkan negara pengimpor ikan banggai terbesar adalah Inggris dengan total impor sebanyak 69.180 spesimen (periode 2008–2014);



Gambar 2. Ekspor ikan banggai dari Indonesia


Spesimen ikan banggai yang diperdagangkan secara internasional bersumber dari:
a)     I     Spesimen hasil sitaan
b)       C    Hasil penangkaran sesuai Resolusi CITES 10.16 (Spesimen hasil pembesaran di penangkaran), diekspor sesuai aturan Artikel VII, paragraph 5 dari Teks Konvensi CITES
c)        U   Sumber tidak diketahui
d)       W  Spesimen yang diambil dari alam
       Ikan banggai dari Indonesia yang diperdagangkan secara internasional berkode   
       Atau bersumber dari specimen yang diambil dari alam atau W.  
          





Tujuan:
T: Komersial











5.   Status Konservasi Ikan Banggai Secara Nasional



Sampai saat ini ikan Banggai belum termasuk ke dalam jenis ikan yang dilindungi secara nasional. Namun secara lokal, Badan Pengelola Lingkungan Hidup, Kabupaten Banggai Kepulauan (2012) mencatat bahwa telah ada upaya ditingkat pemerintah lokal melalui surat Nomor: 523.870/29/DISLUTKAN/2011 tanggal 28 Februari 2011 terkait usulan inisiatif status perlindungan terhadap spesies ini, dimana Bupati Banggai Kepulauan telah mengusulkan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan untuk menetapkan spesies ini untuk mendapatkan status perlindungan secara terbatas. Sampai saat itu, pemerintah pusat dengan mengacu pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.03/MEN/2010 tentang Tata Cara Penetapan Status Perlindungan Jenis Ikan[19], masih terus melakukan pendataan dan kajian untuk menetapkan ikan banggai ini sebagai jenis ikan yang dilindungi secara terbatas menurut ukuran.

Sebagai tindak lanjut dari surat di atas, pada tanggal 13 September 2011, Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan atau Dit. KKJI (yang saat ini bernama: Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut atau Dit. KKHL), Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Tengah telah melakukan kegiatan konsultasi publik di Desa Bone Baru, Banggai Kepulauan. Kegiatan tersebut dihadiri oleh perwakilan dari Dit. KKHL, Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Sulawesi Tengah, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banggai Kepulauan, Stasiun Karantina Ikan, Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Banggai Kepulauan, Perguruan Tinggi, Kepala Desa Bone Baru, Tokoh Masyarakat Desa Bone Baru, BCF Center, Yayasan LINI, dan nelayan penangkap ikan banggai telah bersepakat untuk menyusun regulasi perlindungan terbatas ikan banggai. Adapun opsi pengaturan pada saat itu terkait dengan larangan penangkapan dan perdagangan ikan dengan ukuran <4 cm, hal ini dikecualikan untuk kegiatan penelitian. Sedangkan pemanfaatan ikan banggai dengan ukuran >4 cm diatur dengan sistem kuota.







6.   Status Konservasi Ikan Banggai di Amerika Serikat Terkait Undang Undang Spesies Terancam Punah, Endangered Species Act atau ESA



Beberapa dokumen yang digunakan oleh Pemerintah Amerika Serikat dalam penetapan status Banggai cardinal fish sebagai spesies dengan kategori “terancam - threatened” (Tabel 2), sebagai berikut:





Tabel 2. Dokumen terkait penetapan status perlindungan Ikan Banggai 





Pada tanggal 15 Juli 2003, WildEarth Guardians menyampaikan petisi kepada Pemerintah Amerika Serikat melalui Kantor Perlindungan Sumber Daya, National Marine Fisheries Service (NMFS) untuk memasukan 81 spesies laut ke dalam kategori terancam dan terancam punah Endangered Species Act (ESA). Di Amerika Serikat, ESA merupakan Undang-Undang yang mengatur konservasi spesies yang terancam (threatened) dan terancam punah (endangered) beserta ekosistemnya.[20]

Setelah melalui proses kajian atau tinjauan status terhadap spesies Banggai cardinal fish, NMFS selanjutnya membuat kajian resiko bahaya kepunahan. Dalam melakukan kajian tersebut, NMFS mempertimbangkan faktor viabilitas demografi (kemungkinan suatu spesies untuk dapat hidup pada suatu habitat tertentu) dan matriks resiko bahaya kepunahan. Adapun kondisi keseluruhan dari populasi dipertimbangkan sampai pada level spesies berdasarkan empat faktor utama, yaitu kepadatan, produktivitas/rata-rata pertumbuhan, konektivitas/wilayah, dan keragaman.

Langka selanjutnya, NMFS melakukan kajian terhadap upaya perlindungan spesies untuk menentukan apakah upaya konservasi tersebut sudah cukup untuk meminimalkan atau mitigasi berbagai ancaman terhadap kelangsungan hidup spesies ini, termasuk upaya negara lain (dalam hal ini Indonesia) dalam konservasi Banggai cardinal fish. NMFS kemudian menerima komentar dan masukan (public comment) dari berbagai pihak terhadap petisi dan hasil kajian yang sudah dilakukan oleh NMFS (12 masukan diterima yang kemudian dijadikan bahan masukan untuk menentukan penetapan status perlindungan Banggai cardinal fish). Berdasarkan informasi yang diperoleh dari dalam petisi, hasil kajian NMFS (keilmuan dan informasi perdagangan) dan masukan dari berbagai pihak, Banggai cardinal fish dimasukan dalam daftar spesies dengan kategori terancam/threatened dan ketentuan tersebut mulai berlaku efektif sejak tanggal 19 Februari 2016.



Banggai cardinal fish berada dibawah yurisdiksi National Marine Fisheries Service (NMFS), National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), United States Department of Commerce. Saat ini, NMFS mengatur 139 spesies laut dan 49 spesies yang secara eksklusif terdapat di luar teritorial laut Amerika Serikat. Adapun total spesies yang diatur dalam Endangered Species Act berjumlah 2.245 spesies (Tabel 3).[21]















Tabel 3. Spesies Laut Terancam dan Terancam Punah dibawah Yurisdiksi NMFS



Spesies
Tahun Pengaturan
Status
Habitat Penting
Rencana Pemulihan
Ikan:
Pteropogon kauderni
2016
Terancam (Luar Negeri) (T/F)
Tidak (di luar wilayah/yurisdiksi Pemerintah Amerika Serikat)
Tidak ada
Mamalia laut (26 spesies)
Penyu dan reptil laut (26 spesies)
Ikan (59 spesies)
Invertebrata laut (27 spesies)



Keterangan:

T: Threatened; F: Foreign





Penetapan status spesies laut yang berada di luar teritorial laut Amerika Serikat berlaku sama dengan penetapan status spesies yang berada di wilayah yurusdiksi Pemerintah Amerika Serikat.[22] Manfaat perlindungan spesies melalui pengaturan Endangered Spesies Act untuk spesies yang berada di luar teritorial laut Amerika Serikat terutama diwujudkan dalam bentuk pembatasan perdagangan dan termasuk larangan kegiatan tertentu, yaitu impor, ekspor, kegiatan komersial, perdagangan antar negara bagian, dan perdagangan luar negeri.

Dalam penetapan status perlindungan, Pemerintah Amerika Serikat menggunakan Bagian Ke-3 dari Teks Endangered Species Act yang mengatur tentang definisi “endangered (terancam punah) dan threatened (terancam) species.” Perbedaan hukum antara status spesies yang “terancam” dan spesies yang “terancam punah” adalah dititikberatkan pada waktu ketika spesies yang dibuktikan berada dalam bahaya kepunahan, baik saat ini (terancam punah) atau di masa mendatang (terancam).

Section 3 (6) The term “endangered species” means any species which is in danger of extinction throughout all or a significant portion of its range other than a species of the Class insecta determined by the Secretary to constitute a pest whose protection under the provisions of this Act would present an overwhelming and overriding risk to man.

Section 3 (20) The term “threatened species” means any species which is likely to become an endangered species within the foreseeable future throughout all or a significant portion of its range.

Selanjutnya, dalam penetapan status perlindungan, Pemerintah Amerika Serikat menggunakan Tata Cara Penetapan Status Perlindungan Spesies yang tertuang pada Bagian Ke-4 (a)(1) dari Teks Endangered Species Act yang mengatur tentang faktor penentu dalam penetapan status perlindungan spesies menjadi kategori terancam (threatened) dan terancam punah (endangered).

Ketentuan pelanggaran terhadap penetapan status terkait perlindungan Banggai cardinal fish menjadi kategori terancam oleh pemerintah Amerika Serikat sebagaimana dimandatkan dalam Bagian Ke-9 Teks Endangered Species Act adalah perbuatan melanggar hukum bagi setiap orang di dalam wilayah yurisdiksi Amerika Serikat untuk:

-     Mengimpor spesies tersebut ke dalam, atau ekspor spesies tersebut dari Amerika Serikat;

-     Mengambil spesies tersebut di Amerika Serikat atau dari wilayah teritorial laut Amerika Serikat;

-     Mengambil spesies tersebut dari laut lepas;

-     Memiliki, menjual, memberikan, membawa, memindahkan dengan cara apapun, spesies tersebut

-     Menyampaikan, menerima, membawa, memindahkan melalui perdagangan antar negara bagian atau perdagangan luar ngeri, dan dalam kegiatan komersial jenis apapun;

-     Menjual atau menawarkan untuk dijual antar negara bagian atau perdagangan luar negeri dari spesies tersebut; atau

-     Melanggar peraturan apapun yang berkaitan dengan spesies tersebut atau untuk setiap spesies terancam dan terdaftar sesuai dengan Bagian 4 Endangered Species Act ini dan diumumkan secara resmi oleh Sekretaris berdasarkan otoritas yang diberikan oleh Endangered Species Act.



7.   Status Ikan Banggai di IUCN Red List



Saat ini, IUCN Red List mengkategorikan ikan Banggai cardinal sebagai species yang terancam punah (endangered) (Gambar 4).[23] Selain sifatnya yang endemik, spesies ini juga ditemukan dalam jumlah populasi yang kecil, wilayah sebaran yang terbatas, fekunditas yang rendah, dan kemampuan penyebaran yang terbatas.




Gambar 4. Status Konservasi Species IUCN Red List



8.   Status Ikan Banggai di CITES



Pada tahun 2007, Pemerintah Amerika Serikat telah mengajukan proposal dalam Konferensi Para Pihak (CoP) ke-14 di Hague, Belanda untuk memasukkan ikan banggai dalam apendiks II CITES. Argumentasi yang digunakan oleh negara pengusul (negara proponen) pada saat itu adalah terjadinya penurunan populasi pada wilayah distribusi, penurunan jumlah populasi, penurunan jumlah sub-populasi, penurunan tangkapan per unit usaha (catch per unit effort atau CPUE) dan eksploitasi untuk perdagangan yang tinggi.

Saat ini, ikan banggai akan diusulkan kembali untuk dimasukkan dalam daftar apendiks II pada Konferensi Para Pihak (Conference of Parties, CoP) ke-17 yang akan dilaksanakan di Johannesburg, Afrika Selatan pada tanggal 24 September-5 Oktober 2016. Negara pengusul (proponen) adalah Uni-Eropa/The European Union yang saat ini berjumlah 27 negara (tidak termasuk Inggris yang baru memisahkan diri). Pada prinsipnya, argumentasi yang sama digunakan untuk mengusulkan spesies ini masuk dalam daftar apendiks II CITES. Sebagai tambahan, instrumen pengaturan di tingkat nasional yang dibahas dalam proposal yang disampaikan oleh Uni-Eropa menyebutkan bahwa ikan Banggai bukan merupakan jenis ikan dilindungi di Indonesia dibawah regulasi Pemerintah Indonesia.



9.   Posisis Indonesia Terkait Uplisting Ikan Banggai ke Apendiks II CITES



Ikan Banggai adalah salah satu sumberdaya yang dimiliki Indonesia dan memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi karena telah diperdagangkan sebagai ikan yang dipelihara di akuarium.[24] [25]Oleh karena itu, Indonesia berkeinginan sumberdaya yang dimilikinya tersebut dapat dimanfaatkan sebesar besarnya untuk kesejahteran masyarakat luas. Sehingga, posisi Indonesia tidak pernah mendukung jenis atau spesies apapun untuk uplisting ke dalam apendiks CITES.

Namun demikian, apabila suatu jenis atau spesies sudah ditetapkan masuk ke dalam apendiks CITES, maka Indonesia akan mengikuti aturan perdagangan internasionalnya sesuai ketentuan yang berlaku di CITES karena Indonesia sudah meratifikasi ketentuan CITES melalui Keputusan Presiden No. 43 tahun 1978.



10.               Apa yang harus dilakukan Kita



CITES adalah satu satunya perjanjian global dengan focus kepada perlindungan satwa dan tumbuhan. Perlindungan satwa dan tumbuhan tersebut diimplementasikan dalam pengaturan perdagangannya. Walaupun keikutsertaan suatu negara dalam CITES bersifat sukarela, namun negara yang menyatakan ikut menandatangani kesepakatan dalam CITES atau disebut negara para pihak (parties) seperti halnya Indonesia, maka secara hukum akan mengikat pada setiap kegiataan perdagangan internasional dari satwa dan tumbuhan yang terancam punah yang dilakukan oleh negara bersangkutan.

Setiap 3 tahun sekali negara para pihak melakukan sidang (CoP) dimana dalam sidang tersebut dibahas berbagai isyu kekinian dari perlindungan satwa dan tumbuhan terancam punah serta perdagangannya. Seperti memutuskan untuk uplisting beberapa spesies tertentu satwa dan tumbuhan ke dalam apendiks CITES, seperti pada CoP CITES ke 17 di Afrika Selatan yang akan datang, beberapa negara (negara pengusul/proponen) ada yang mengusulkan ikan banggai ke dalam apendiks ll CITES (uplisting), ini diusulkan oleh Uni Eropa. Kemudian negara Maladewa mengusulkan jenis hiu alopias ke dalam apendiks CITES (uplisting). Srilangka bersama Maladewa dan Fiji mengusulkan mobula (saudara kembarnya pari manta) masuk ke dalam apendiks ll CITES (uplisting) juga.  Tetapi, Malaysia akan mengusulkan buaya muara dari apendiks l ke apendiks ll CITES (downlisting). Putusan sidang akan dilakukan pertama secara mufakat / kesepakatan dari negara negara anggota, tetapi apabila cara kesepakatan tidak disetujui, maka cara pengambilan keputusan akan dilakukan secara voting dengan suara yang disetujui adalah 50% + 1.

Anggota delegasi negara yang hadir dalam sidang para pihak (CoP) tersebut baik yang tidak setuju maupun yang setuju harus memiliki data base dari spesies / jenis yang diusulkan tersebut. Apalagi bagi negara pengusul (proponen) tentunya data yang dimilikinya harus jauh lebih lengkap. Dengan demikian, dalam menghadapi CoP CITES ke 17 di Afrika Selatan tersebut, Indonesia harus menyiapkan data-data terkait ikan banggai, mobula, dan hiu jenis alopias.

Tentunya negara pengusul (proponen) untuk memasukkan salah satu spesies atau jenis ke dalam apendiks CITES (uplisting) mauoun ingin menurunkan atau mengeluarkan level di apendiks CITES (downlisting) sudah secara matang dipikirkan untung ruginya, baik secara ekonomi, maupun secara secara sosial dan lingkungan. Maladewa atau Maldive dan Srilangka mengusulkan hiu alopias dan mobula ke dalam apendiks CITES karena ke dua jenis ikan tersebut di negara-negara tersebut menjadi andalan (atraksi) wisata baharinya. Kita tahu, bahwa negara Maladewa dan Srilangka, perekonomiannya sangat tergantung dari pariwisata. Lain halnya dengan Uni Eropa yang menjadi pengusul untuk ikan banggai. Dimana ditengarai bahwa usulan yang mereka lakukan tidak lepas dari politik dagang. Sebagaimana diketahui, kalau suatu jenis satwa atau tumbuhan terancam punah sudah dapat dibudidayakan, maka ketentuan perdagangannya tidak lagi dibatasi berdasarkan kuota.

Indonesia harus bisa menunjukkan bahwa kita sudah bisa melakukan pengembangbiakan atau budidaya ikan banggai. Sehingga perdagangannya di dalam CITES tidak lagi berkode ‘W’ atau wild tetapi berkode ‘C’ ataau captive yang berarti tidak terbatas oleh kuota.

Kita bisa sejahtera dari sumberdaya yang kita miliki.



[1] Vagelli, A.A. (2008). The unfortunate journey of Pterapogon kauderni: A remarkable apogonid endangered by the international ornamental fish trade, and its case in CITES. SPC Live Reef Fish Information Bulletin, 18: 17–28.
[2] Vagelli, A.A. (2005). Reproductive biology, geographic distribution and ecology of the Banggai cardinalfish Pterapogon kauderni Koumans, 1933 (Perciformes, Apogonidae), with Considerations on the Conservation Status of this Species on its Natural Habitat. PhD Thesis. University of Buenos Aires. 276 pp.
[3] Vagelli, A.A. (2011). The Banggai cardinalfish: natural history, conservation, and culture of Pterapogon kauderni. Wiley-Blackwell, UK. 203 pp.
[4] Vagelli, A.A. (2011). The Banggai cardinalfish: natural history, conservation, and culture of Pterapogon kauderni. Wiley-Blackwell, UK. 203 pp.
[5] Vagelli, A.A. and Volpedo, A. V. (2004). Reproductive ecology of Pterapogon kauderni, an endemic apogonid from Indonesia with direct development. Environmental Biology of Fishes, 70: 235–245.
[6] Vagelli, A.A. (2005). Reproductive biology, geographic distribution and ecology of the Banggai cardinalfish Pterapogon kauderni Koumans, 1933 (Perciformes, Apogonidae), with Considerations on the Conservation Status of this Species on its Natural Habitat. PhD Thesis. University of Buenos Aires. 276 pp.
[7] Allen, G.R & Donaldson, T.J. (2007). Pterapogon kauderni. The IUCN Red List of Threatened Species 2007: e.T63572A12692964. http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2007.RLTS.T63572A12692964.en
[8] Vagelli, A. (2002). Notes on the biology, geographic distribution, and conservation status of the Banggai cardinalfish Pterapogon kauderni Koumans 1933, with comments on captive breeding techniques. Tropical Fish Hobbyist, 84–88.
[9] Allen, G.R. (2000). Threatened fishes of the world: Pterapogon kauderni Koumans, 1933 (Apogonidae). Environmental Biology of Fishes, 57: 142.
[10] Vagelli, A.A. and Volpedo, A. V. (2004). Reproductive ecology of Pterapogon kauderni, an endemic apogonid from Indonesia with direct development. Environmental Biology of Fishes, 70: 235–245.
[11] Allen, G. R. & Steene, R.C. (1995). Notes on the ecology and behaviour of the Indonesian cardinalfish (Apogonidae) Pterapogon kauderni Koumans. Rev. Fr. Aquariol, 22: 7–9.
[12] Vagelli, A.A. (2011). The Banggai cardinalfish: natural history, conservation, and culture of Pterapogon kauderni. Wiley-Blackwell, UK. 203 pp.
[13] Vagelli, A.A. (2015). Update on populations' condition of the Banggai cardinalfish Pterapogon kauderni. Unpublished report.
[14] Vagelli, A.A. (2005). Reproductive biology, geographic distribution and ecology of the Banggai cardinalfish Pterapogon kauderni Koumans, 1933 (Perciformes, Apogonidae), with Considerations on the Conservation Status of this Species on its Natural Habitat. PhD Thesis. University of Buenos Aires. 276 pp.
[15] Allen, G.R & Donaldson, T.J. (2007). Pterapogon kauderni. The IUCN Red List of Threatened Species 2007: e.T63572A12692964. http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2007.RLTS.T63572A12692964.en
[16] Vagelli, A.A. and Erdmann, M. (2002). First comprehensive ecological survey of the Banggai cardinalfish, Pterapogon kauderni. Environmental Biology of Fishes, 63(1): 1–8.
[17] Moore, A., Ndobe, S. and Zamrud, M. (2011). Monitoring the Banggai cardinalfish, an endangered restricted range endemic species. Journal of Indonesia Coral Reefs, 1(2): 99-113.
[18] CITES. (n/d). CITES trade database. http://trade.cites.org/
[19] Pemerintah Kabupaten Banggai Kepulauan. (2012). Banggai cardinal fish (peterapogon keuderni) akan dilindungi secara terbatas. Badan Pengelola Lingkungan Hidup.
[20] U.S. Fish and Wildlife Service. (n/d). Endangered Species Act. Department of the Interior.
[21] NOAA. (2016). Endangered species act (ESA). http://www.nmfs.noaa.gov/pr/laws/esa/
[22] NOAA. (n/d). How are foreign species listed under the endangered species act (ESA)?. http://www.nmfs.noaa.gov/pr/species/esa/foreign.htm
[23] Allen, G.R & Donaldson, T.J. 2007. Pterapogon kauderni. The IUCN Red List of Threatened Species 2007: e.T63572A12692964. http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2007.RLTS.T63572A12692964.en
[24] Hopkins, S., Ako, H., & Tamaru, C. S. (2005). Manual for the production of the Banggai cardinalfish, Pterapogon kauderni, in Hawai‘i. University of Hawai‘i Sea Grant College Program.
[25] Rhyne, A. L., Tlusty, M. F., Schofield, P. J., Kaufman, L. Morris, J. A. M., & Bruckner, A. W. (2012). Revealing the appetite of the marine aquarium fish trade: The volume and biodiversity of fish imported into the United States. PloS ONE 7(5): e35808. doi:10.1371/journal.pone.0035808


Ikan Banggai di Yayasan LINI Buleleng Bali