Minggu, 26 November 2017

Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari Kawasan Konservasi Perairan Nasional


PNBP vs PAJAK
Pada dasarnya, penerimaan negara terbagi atas 2 jenis penerimaan, yaitu penerimaan dari pajak dan penerimaan bukan pajak yang disebut dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak atau PNBP.
PNBP adalah seluruh penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan (UU No. 20 Tahun 1997) sedangkan pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan UU, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar besarnya kemakmuran rakyat (UU no. 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan/ UU KUP).
Undang Undang No. 18 tahun 2016 lebih jelas lagi mendefinisikan dari PNBP. PNBP adalah semua penerimaan pemerintah pusat yang diterima dari Sumber Daya Alam (SDA), pendapatan bagian laba BUMN, PNBP lainnya serta pendapatan Badan Layanan Umum (BLU).
Menurut UU no. 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) menyebutkan ada 7 kelompok sumber PNBP, yaitu:
1. Penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana pemerintah;
2.  Penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam;
3.  Penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan;
4.  Penerimaan dari pelayanan yang dilaksanakan pemerintah;
5.  Penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi;
6.  Penerimaan berupa hibah yang merupakan hak pemerintah; dan
7.  Penerimaan lainnya yang diatur dalam undang-undang tersendiri.
Dengan demikian, pungutan PNBP dalam pemanfaatan kawasan konservasi hanya berlaku untuk kawasan konservasi perairan yang berskala nasional yang pengelolaannya merupakan kewenangan dari pemerintah pusat dan hanya Pemerintah Pusat yang memungutnya. 
Tarif dan jenis PNBP dalam pemanfaatan Kawasan Konservasi Perairan Nasional diatur melalui Peraturan Pemerintah No. 75 tahun 2015.
Zonasi Kawasan konservasi Perairan Nasional Kaitannya Dengan PNBP
Kawasan Konservasi Perairan didefinisikan sebagai kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan.  Pengertian KKP menurut UU 31/2004 tentang Perikanan beserta perubahannya (UU 45/2009) dan PP 60/2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan, zonasi yang dimaksud meliputi 4 (empat) pembagian zona yang dapat dikembangkan di dalam KKP yakni: zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya.
Sebenarnya, dari empat zona yang ada di kawasan konservasi perairan, semuanya memiliki potensi untuk menghasilkan PNBP, namun dari 4 zona tersebut, dua zona yang berpotensi paling besar untuk menghasilkan PNBP, yaitu: Zona perikanan berkelanjutan dan zona.



Kawasan konservasi perairan merupakan salah satu upaya konservasi ekosistem yang dapat dilakukan terhadap semua tipe ekosistem untuk berdasarkan kriteria ekologis, sosial budaya dan ekonomis.  Konservasi saat ini telah menjadi tuntutan dan kebutuhan yang harus dipenuhi sebagai harmonisasi atas kebutuhan ekonomi masyarakat dan keinginan untuk terus melestarikan sumberdaya yang ada bagi masa depan.  Kementerian Kelautan dan Perikanan menargetkan pengembangan kawasan konservasi perairan seluas 20 juta Ha  pada tahun 2020.  Sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan tersebut di atas, pemerintah daerah diberi kewenangan dalam mengelola kawasan konservasi di wilayahnya.
Pengenaan Pungutan PNBP dari Pemanfaatan Kawasan Konservasi Perairan Hanya Berlaku di 10 Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN)
Selain pengembangan kawasan konservasi perairan daerah, pada tahun 2008 Kementerian Kelautan dan Perikanan menerima pelimpahan kawasan konservasi sebanyak 8 (delapan) kawasan yang sebelumnya dikelola oleh Kementerian Kehutanan.  Kedelapan kawasan tersebut adalah TWP Pieh, TWP Kapoposang, SAP Raja Ampat, SAP Waigeo Sebelah Barat, TWP Padaido, TWP Laut Banda, TWP Kepulauan Aru dan TWP Gili Matra.  Kedelapan kawasan tersebut statusnya telah ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan dan menjadi Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN).   Selain kedelapan kawasan yang dilimpahkan tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan juga telah menginisiasi 2 (dua) kawasan konservasi perairan nasional yaitu Taman Nasional Laut Sawu dan Taman Wisata Perairan Kepulauan Anambas.   Penetapan 10 Kawasan Konservasi Perairan Nasional tersebut tertuang dalam SK - Men KP no. 67/MEN/2009. Selain untuk melindungi ekosistem dan keanekaragaman jenis ikan, penetapan kawasan konservasi ditujukan juga untuk meningkatkan ekonomi masyarakat di wilayah kawasan konservasi perairan.  Dengan demikian, sangat diperlukan adanya investasi awal dari pemerintah untuk mengembangkan ke 10 Kawasan Konservasi Perairan Nasional, minimal investasi berupa sarana prasarana pengelolaan (termasuk untuk pemanfaatannya). Setelah adanya sarana prasarana dasar tersedia, barulah Pemerintah dapat memungut PNBP.
Pemungutan PNBP di Kawasan Konservasi di lingkup Kementerian Kelautan dan Perikanan hanya berlaku di 10 KKPN berikut ini:

Jenis dan Tarif PNBP di Kawasan Konservasi Perairan Nasional menurut PP no. 75 tahun 2015, adalah sebagai berikut:



Manfaat PNBP
PNBP sebagai salah satu bentuk penerimaan negara yang nantinya akan dibelanjakan lagi untuk pembangunan nasional secara umum dan lebih khusus untuk pembangunan kegiatan yang dapat lebih banyak lagi yang menghasilkan PNBP, tentunya merupakan aturan yang harus diikuti. Namun demikian, apabila dalam pemanfaatan suatu kawasan konservasi perairan nasional sudah diberlakukan pungutan PNBP, pemerintah daerah tidak boleh memungut lagi untuk objek yang sama dengan nama dan bentuk yang lain. 

Target PNBP dari Kawasan Konservasi Perairan Nasional

Target PNBP dihitung dari data penerimaan 3 tahun ke belakang secara berturut-turut. Karena data penerimaan PNBP tahun 2014, 2015, 2016 belum tersedia, maka target penerimaan dari PNBP pemanfaatan Kawasan Konservasi Perairaan Nasional belum bisa disajikan. Target penerimaan PNBB 2018 harus sudah tersedia. 






Kamis, 28 September 2017

Pengelompokan Pulau-Pulau Kecil Berdasarkan Letak Geografis dan Status Peruntukannya.


Jumlah Pulau di Indonesia

Jumlah pulau di Indonesia adalah 17.504 pulau, jumlah pulau yang resmi dan telah dipublikasikan termasuk disampaikan pada pertemuan salah satu badan PBB, yaitu UNGEGN atau United Nation Group of Expert on Geographical Names pada bulan Agustus 2017 yang baru lalu.

Dari 17.504 pulau tersebut, hanya belasan pulau saja yang termasuk dalam katagori pulau besar atau yang berukuran >  2000 km2. Sedangkan sebagian besar lainnya, masuk daam katagori pulau-pulau kecil atau pulau dengan ukuran < =2000 km2.

Definisi Pulau

Pulau adalah masa daratan yang terbentuk secara alami dan selalu muncul di permukaan pada waktu pasang tertinggi (UNCLOS, 1982).

Dari definisi tersebut: yang namanya karang, batu, gosong, bahkan pulau buatan tidak termasuk ke dalam kriteria pulau. Namun, definisi UNCLOS tersebut lebih ditujukan kepada keperluan pelayaran dan pemanfaatan laut lepas,high seas. Dimana dikhawatirkan ada salah satu negara membuat pulau buatan di wilayah laut lepas tersebut dan kemudian diklaim sebagai wilayah yuridiksinya.

Pulau buatan selama itu dibangun di wilayah teritorial NKRI seperti 17 pulau di teluk Jakarta atau Pulau Lusi di Sidoarjo Jawa Timur adalah termasuk kedalam katagori ‘pulau’. Demikian juga pulau yang berupa gosong, batu, dan karang, selama itu berada di dalam wilayah NKRI, apalagi terdapat/memiliki titik dasar, maka itu tetap disebut pulau.

Pengelompokan Pulau-Pulau Kecil

Pulau-pulau kecil dikelompokan atas dasar:

1. Letak geografisnya; dan

2. Status dan peruntukannya.



Kelompok pulau-pulau kecil berdasarkan letak geografisnya, terdiri dari:

1. Pulau-Pulau Kecil Terluar atau PPKT; dan

2. Pulau-pulau kecil pedalaman atau inner islands.

Kelompok pulau-pulau kecil berdasarkan status peruntukannya, terdiri dari:

1. Pulau-Pulau Kecil Terluar atau PPKT;

2. Pulau-pulau kecil Kawasan Konservasi;

3. Pulau-pulau kecil peruntukan tertentu;

4. Pulau-pulau kecil hasil reklamasi; dan

5. Pulau-pulau kecil umum.

Pengertian dari masing-masing pulau-pulau kecil dalam kelompok seperti tersebut di atas adalah sebagai berikut:

Pulau-Pulau Kecil Terluar atau PPKT adalah pulau-pulau kecil yang memiliki titik dasar koordinat geografis yang menghubungkan garis pangkal laut kepulauan sesuai hukum nasional dan internasional.

Pulau-pulau kecil pedalaman atau inner islands adalah seluruh pulau-pulau kecil yang berada dalam wilayah NKRI yang tidak memiliki titik dasar geografis.

Pulau-pulau kecil kawasan konservasi adalah pulau-pulau kecil yang berstatus sebagai kawasan konservasi dan dikelola berdasarkan kaidah-kaidah konservasi sesuai aturan dan perundangan yang berlaku.

Contohnya: pulau-pulau kecil yang berada di kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu di DKI Jakarta, pulau-pulau kecil yang berada di Taman Nasional Karimun Jawa di Jawa Tengah.

Pulau-pulau kecil untuk peruntukan tertentu adalah pulau-pulau kecil yang dimiliki oleh lembaga/kementerian/instansi tertentu yang dipergunakan untuk kepentingan tertentu.

Misalnya: Pulau Nusakambangan di Jawa Tengah yang dimiliki oleh Kementerian Hukum dan Ham, yang diperuntukan sebagai Lembaga Pemasyarakatan.

Pulau-pulau kecil hasil reklamasi misalnya: 17 pulau reklamasi di Jakarta Utara dan Pulau Lusi di Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur.

Pulau-pulau kecil umum adalah pulau-pulau kecil diluar kriteria yang telah disebutkan di atas.

Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil

Pengelompokan pulau-pulau kecil seperti tersebut di atas akan berkaitan langsung dengan: siapa yang berwenang mengelolanya/kewenangan, tata kelola, dan tarif dan jenis PNBP yang diberlakukan.

 
Melintas di depan Pulau Birah Birahan di Kabupaten Kutai Timur - Kaltim

Senin, 21 Agustus 2017

Pulau Lusi atau Pulau Lumpur Sidoarjo di Jawa Timur Bisa Dimanfaatkan Untuk Eduekowisata



Asal Material Pulau Lusi

Pulau Lusi adalah pulau buatan yang dibuat dari timbunan hasil semburan Lumpur Sidoarjo. Lumpur Sidoarjo sendiri mulai menyembur dari perut bumi pada Mei 2006 yang terjadi pada saat dilakukan pengeboran minyak dan gas di desa Renokenongo, Kabupaten Sidoarjo. Volume semburan pada awal awal terjadinya semburan sekitar 50.000 m2 per hari, kemudian sampai mencapai 120.000 m3 per hari, dan kini sudah banyak mengalami penurunan.

Ada 2 cara untuk menanggulangi dampak semburan lumpur sidoarjo, yaitu:

1.  Membangun waduk penampungan semburan lumpur. Hal ini sudah dilakukan tetapi terkendala dengan mahalnya pembebasan lahannya, dan

2.  Membuang langsung lumpur Sidoarjo ke Kali Porong dengan maksud agar terbawa arus sampai ke muara sungai terus ke laut (wikipedia).


Kedalaman di tengah badan sungai (kali) Porong sekitar 10 m, yang artinya kali Porong dapat menampung sekitar 300.000 m3 per km nya atau 5 juta m3 untuk keseluruhan badan kali porong. Namun demikian, agar kali Porong tidak berubah menjadi ‘waduk’ lumpur, maka perlu dilakukan penggelontoran air kali Porong dari induk sungainya yaitu sungai Brantas dan pengerukan secara rutin di badan kali Porong. Pengerukan secara rutin perlu dilakukan karena Kali Porong sendiri sudah mengalami pendangkalan sebagai akibat proses sedimentasi alami karena ketidakmampuan arus sungai membawa sedimentasi dari hulu sungai sampai ke muara sungai.

Hasil pengerukan kali porong inilah yang ditimbun berlokasi tidak jauh dari muara sungai untuk dijadikan pulau buatan. Yang kemudian populer timbunan material lumpur Sidoarjo tersebut disebut Pulau Lusi atau Pulau Lumpur Sidoarjo. Awal penimbunan material lumpur Sidoarjo untuk menjadi Pulau Lusi dilakukan pada tahun 2012.


Pulau Lusi

Dimulai tahun 2012, Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) melalui melakukan penimbunan (reklamasi) di perairan muara sungai / Kali Porong dari hasil pengerukan endapan lumpur Sidoarjo serta sedimentasi di badan Kali Porong. Penimbunan dilakukan secara ektens (perluasan) dari pulau alami yang sudah ada yaitu Pulau Sarinah. Pulau Sarinah sendiri luasannya sekitar 5 Ha. Saat ini antara Pulau Sarinah dengan Pulau Lusi sudah tidak terlihat batasnya, batas yang ada hanya berupa kanal air dengan lebar 2 meter. Tidak heran apabila masyarakat masih menyebutnya sebagai Pulau Sarinah untuk keseluruhan daratan pulau, baik daratan pulau Sarinah maupun daratan pulau Lusi. Tumbuhan di Pulau Sarinah berupa mangrove dan beberapa jenis tumbuhan pantai seperti cemara api api. Sedangkan tumbuhan di pulau lusi lebih didominasi oleh alang-alang dan rerumputan dan mangrove terlihat mulai tumbuh.


Sumber air tawar yang sedikit payau bisa didapatkan di sebuah sumur kecil di tengah tengah Pulau Lusi ini. Sampai saat ini sumur air tawar ini dimanfaatkan para nelayan yang sedang beristirahat dalam operasinya.


Pulau Lusi yang pengukurannya pada waktu surut memiliki luasan sekitar 94 Hektar yang selama ini dikelola oleh Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), pada Januari 2017 diserahkan pengelolaan berikut kepemilikannya kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk dimanfaatkan sesuai dengan tugas dan fungsi (tupoksi) nya. Dan selanjutnya pada Juli 2017. Dengan rincian: luas hamparan tanah muara termasuk area wanamina (Pulau Lusi) seluas 93,34 Ha dengan nilai aset Rp 30,8 milyar.  Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti meresmikan nama pulau tersebut secara keseluruhan adalah dengan nama Pulau Lusi yang merupakan akronim dari Pulau Lumpur Sidoarjo.

Letak koordinat Pulau Lusi adalah 7 573371, 112 880479 atau 7 34'24.1"LS 112 52'49.7"BT

Pulau Lusi Sebagai Pulau Kecil?

Pengertian pulau menurut UNCLOS 1982 pasal 121, pulau didefinisikan sebagai; An island is a naturally formed area of land, sorrounded by water, which above at high tide atau massa daratan yang terbentuk secara alamiah, dikelilingi air, dan selalu berada di permukaan pasang tertinggi. Dari pengertian tersebut ada empat kriteria atau persyaratan ketika suatu unsur bumi bisa dikatakan sebuah pulau, yaitu:

1. Ada area lahan daratan (land bukan soil. Land diartikan ada ekosistem kehidupan),

2.  Terbentuk secara alami bukan hasil reklamasi,

3.  Dikelilingi oleh air baik tawar maupun laut, dan

4.  Selalu berada di permukaan pada waktu pasang tertinggi.

Mangrove, gosong, batu tidak termasuk kriteria pulau menurut pengertian UNCLOS, termasuk Pulau Lusi juga. Namun menurut pendapat pribadi saya, Pulau Lusi adalah sebuah pulau. Karena wujud fisiknya ada, tidak tenggelam sewaktu pasang tertinggi, dan yang penting lagi sudah dimasukkan kedalam administrasi (gatsetir) pemerintahan.

Ukuran besar kecil atau luasan pulau tidak menjadi kriteria sebuah pulau. Ada pulau yang kurang dari 1 Ha seperti pulau nipah, pulau lusi, dan lainnya, bahkan ada pulau yang sangat luas seperti pulau Kalimantan yang memiliki luasan 743.330 Ha. Beberapa pulau kecil yang mengelompok disebut kepulauan.

Pengembangan Pulau Lusi Sebagai Destinasi Eduekowisata Bahari

Ada 6 isu strategis dalam pembangunan / pengembangan pulau-pulau kecil, yaitu: (1). Kemiskinan penduduknya, (2). konflik penggunaan ruang, (3). Menurunnya kualitas lingkungan, (4). Belum optimalnya pemanfaatan akan potensinya, (5). Belum optimalnya implementasi kegiatan konservasi, dan (6). Belum sepenuhnya ada kepastian hukum.

Sebagai antisipasi terhadap 6 isu strategis di atas, maka dipelukan langkah-langkah sebagai berikut:

1. mengeliminir terjadinya konflik pemanfaatan ruang di kawasan pulau-pulau kecil,

2. mendukung pengelolaan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan beserta pemanfaatannya secara baik dan benar,

3. mendukung pengelolaan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan,

4. mendukung pengelolaan pulau-pulau kecil untuk aktivitas ekonomi secara berkelanjutan,

5. memfasilitasi percepatan penerbitan Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi daerah setempat beserta pulau-pulau kecil, dan

6. menyiapkan kerangka hukum yang mendukung rencana zonasi dana atau tata ruang pulau-pulau kecil. Yang nantinya akan mendukung pemanfaatan pulau-pulau kecil yang memiliki legitimasi.

Regulasi Terkait Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil

Pengelolaan dan pemanfaatan pulau-pulau kecil sudah semestinya sesuai dengan perundang-undangan dan peraturan yang berlaku, sehingga pengelolaan dan pemanfaatan pulau-pulau akan memiliki legitimasi kuat dan dapat mengeliminir terjadinya konflik pemanfaatan ruang dan konflik social. Undang-Undang yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan pulau-pulau kecil adalah: Undang Undang no. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah diubah menjadi Undang Undang No. 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Beberapa pasal yang terkait langsung dengan pengelolaan dan pemanfaatan pulau-pulau kecil, adalah sebagai berikut:

Pasal 1: Dalam Undang-Undang yang dimaksud dengan:

1. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau kecil adalah suatu pengkoordinasian perencanaan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah, antar sektor, antara ekosistem darat laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

2. Dst

3. Dst

4. Sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil adalah sumber daya hayati, sumber daya non hayati, sumber daya buatan, dan jasa jasa lingkungan; sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove, dan biota laut lainnya; sumber daya non hayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut; sumber daya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan, dan jasa jasa kelautan meliputi keindahan alam, permukaan dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan, serta energi gelombang yang terdapat di wilayah pesisir

Pasal 16:

(1)  Setiap orang yang melakukan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil secara menetap wajib memiliki ijin lokasi.

(2)   izin lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar pemberian izin pengelolaan.

Pasal 17:

(1)  Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (1) diberikan berdasarkan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K).

(2)  Pemberian Izin Lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mempertimbangkan kelestarian ekosistem dan pulau-pulau kecil, masyarakat, nelayan tradisional, kepentingan nasional, dan hak lintas damai bagi kapal asing.

(3)  Izin Lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam luasan dan waktu tertentu.

(4)  Izin Lokasi tidak dapat diberikan pada zona inti di kawasan konservasi, alur laut, kawasan pelabuhan, dan pantai umum.

Pasal 18: Dalam hal pemegang Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (1) tidak merealisasikan kegiatannya dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak izin diterbitkan, dikenai sangsi administrative berupa pencabutan izin lokasi.

Pasal 19: 

(1)  Setiap orang yang melakukan pemanfaatan sumber daya perairan pesisir dan pulau-pulau kecil untuk kegiatan:

a.  produksi garam;

b.  farmakologi laut;

c.  bioteknologi laut;

d.  pemanfaatan air laut selain energy;

e.  wisata bahari;

f.  pemasangan pipa dan kabel bawah laut; dan/atau

g.  pengangkatan benda muatan kapal tenggelam (BMKT), wajib memiliki Izin Pengelolaan.

Pasal 23:

(1)  Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya dilakukan berdasarkan kesatuan ekologis dan ekonomis secara menyeluruh dan terpadu dengan pulau besar di dekatnya.

(2)  Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk kepentingan sebagai berikut:

a.  konservasi;

b.  pendidikan dan pelatihan;

c.  penelitian dan pengembangan;

d.  budidaya laut;

e.  pariwisata;

f.  usaha perikanan dan kelautan serta industri perikanan secara lestari;

g.  pertanian organik;

h.  peternakan; dan/atau

i.  pertahanan dan keamanan negara

(3)  Kecuali untuk tujuan konservasi, pendidikan dan pelatihan, serta penelitian dan pengembangan, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya wajib:

a.  memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan;

b.  memperhatikan kemampuan dan kelestarian sistem tata air setempat; dan

c.  menggunakan teknologi ramah lingkungan. 

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan dan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan yang terkait adalah:

1.  Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 20 tahun 2008 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan Perairan di Sekitarnya.

2.  Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 39 tahun 2004 tentang Pedoman Umum Investasi di Pulau-Pulau Kecil.

Substansi dari Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 20 tahun 2008 ini adalah:

BAB I.  KETENTUAN UMUM

Pasal 2:

(1) Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya dilakukan untuk kepentingan pembangunan di bidang ekonomi, social, dan budaya dengan berbasis masyarakat dan secara berkelanjutan,

(2) Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya, dilakukan dengan memperhatikan aspek:

a. keterpaduan antara kegiatan pemerintah (pusat) dengan pemerintah daerah, antar pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat dalam perencanaan dan pemanfaatan ruang pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya,

b. kepekaan / kerentanan ekosistem suatu kawasan yang berupa daya dukung lingkungan , dan sistem tata air suatu pulau kecil,

c. ekologis yang mencakup fungsi perlindungan dan konservasi,

d. kondisi social dan ekonomi masyarakat,

e. politik yang mencakup fungsi pertahanan, keamanan, dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia,

f. teknologi ramah lingkungan, dan

g. budaya dan hak masyarakat local serta masyarakat tradisional.

BAB II. PEMANFAATAN

Pasal 3:

(1) Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnyadipriotaskan untuk salah satu atau lebih kepentingan berikut:

a. Konservasi;

b. pendidikan dan pelatihan;

c. penelitian dan pengembangan;

d. budidaya laut;

e. pariwisata;

f. usaha perikanan;

g. pertanian organic; dan/atau

h. peternakan.

(2) Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya, selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dimanfaatkan antara lain untuk usaha: pertambangan, pemukiman, industri, perkebunan, transportasi, dan pelabuhan.

Catatan saya: pelaksanaan dari ayat (1) dan ayat (2), harus melihat dan mempertimbangkan ayat (3) berikut ini.

Ayat (3). Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kecuali untuk konservasi, pendidikan dan pelatihan, serta penelitian dan pengembangan, wajib:

a. sesuai dengan rencana zonasi;

b. memenuhi persyaratan lingkungan;

c. memperhatikan kemampuan system tata air setempat; dan

d. menggunakan teknologi ramah lingkungan

Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 39 tahun 2004 tentang Pedoman Umum Investasi di Pulau-Pulau Kecil. Substansi nya adalah:

Bab lll. Pendekatan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil.

Pengelolaan pulau-pulau kecil dilakukan secara berkelanjutan dan berbasis masyarakat berdasarkan beberapa pendekatan sebagai berikut:

1. ekosistem;

2. ruang;

3. hak atas tanah dan perairan;

4. kearifan lokal.

Keempat pendekatan sebagaimana di atas dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi wilayah setempat.


Bagaimana Dengan Pengelolaan dan Pemanfaatan Pulau Lusi Ke depan?


Pulau Lusi baru terbentuk sekitar 5 tahun, kondisinya belum tumbuhnya pepohonan budidaya(tumbuhan yang memiliki batang) seperti pohon kelapa dan lainnya, yang ada hanya semak belukar dan mangrove. Binatang yang ada lebih didominasi oleh berbagai jenis burung laut, berbagai macam serangga, dan ular. Binatang yang berukuran besar hanya ada dari jenis monyet, dimana monyet ini sengaja didatangkan oleh penduduk sekitar ke kawasan ini.

Sesungguhnya Pulau Lusi memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebagai kegiatan ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan yang akan berdampak positif terhadap masyarakat di sekitarnya.

Melihat dari latar belakang terbentuknya Pulau Lusi dan  mempertimbangkan hal-hal lainnya sesuai regulasi yang disebutkan di atas, maka Pulau Lusi sebaiknya dikelola dan dimanfaatakan sebagai EDUEKOWISATA, yaitu wisata yang selain hanya kegiatan dalam bentuk pelesiran, adventur, tetapi juga wisata untuk pendidikan terutama untuk pendidikan yang berkaitan dengan geologi, pertanian, perikanan, dan lingkungan. Eduekowisata geologi bisa dieksplor terkait dengan kandungan mineral,  proses pertumbuhan bebatuan/tanah, dan lainnya. Eduekowisata pertanian seperti: wisata botani atau ilmu tumbuh-tumbuhan, kesesuaian lahan untuk tumbuh berkembangnya satu jenis tumbuhan tertuntu, dan lainnya. Eduekowisata perikanan yang dilakukan misalnya untuk penelitian fisiologi ikan, pertumbuhan ikan dalam kondisi lumpur sidoarjo, dan lainnya. Wisata lingkungan juga demikian. Banyak yang dapat dilakukan untuk itu, seperti bird watching atau pengamatan burung, dan lainnya.

Implementasinya dalam pengelolaan dan pemanfaatan Pulau Lusi dapat dilakukan oleh pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai pemilik dari pulau tersebut. Bisa juga dikerjasamakan dengan pihak ketiga dengan landasan peraturan yang berlaku.


Bagaimana dengan PNBP dari pengelolaan dan Pemanfaatan Pulau Lusi?

PNBP atau Penerimaan Negara Bukan Pajak dibagi menjadi 2, yaitu: PNBP umum dan PNBP fungsional. PNBP umum adalah PNBP yang didapat dari hasil pemanfaatan aset yang dimiliki oleh kementerian/lembaga terkait, dan PNBP fungsional adalah penerimaan bukan pajak yang didapat atas pelaksanaan tugas dan fungsi yang menjadi kewenangan Kementerian Lembaga terkait.

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah nomor 75 tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Kelautan dan Perikanan. Lebih khusus lagi mulai pasal 9 s/d 11 beserta lampirannya. PNBP yang berlaku di Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut di (E) Pulau-Pulau Kecil Terluar dan Pulau-Pulau Kecil, adalah sebagai berikut (lihat foto di bawah ini):

PNBP yang dimaksud di atas lebih kepada jenis PNBP fungsional. Perhitungan untuk jenis PNBP umum mempunyai tata cara perhitungan tersendiri

Bagaimana Mencapai Pulau Lusi


Telusuri jalan utama dari Surabaya menuju Pasuruan, pas di jembatan Kali Porong di Sidoarjo, belok kiri ambil jalan persis sejajar dengan Kali Porong.

Jalan Inspeksi Kali Porong. Jalan Menuju Pulau Lusi

Walaupun tidak begitu lebar, jalan ini sangat mulus dimana sisi kiri terbentang tanggul lumpur Sidoarjo kemudian perumahan di pedesaan, kebun, ladang, tambak ikan, dan di sisi kanan ada perumahan, ladang, sawah, tambak ikan, dan lainnya. Jalan ini sebenarnya difungsikan untuk inspeksi Kali Porong tapi kini sudah menjadi jalan umum.
Tempat Penyeberangan ke Pulau Lusi di dusun Telocor

Kurang lebih setelah menelusuri 15 km jalan inspeksi kali porong, berujung di dusun Telocor. Dari tempat inilah kita menyeberang ke Pulau Lusi. Dengan menggunakan perahu kayu dengan mesin 5 pk, kita akan diantarkan ke pulau Lusi. Tarifnya Rp 150.000 per orang per PP.


Menelusuri muara Kali Porong, kita disuguhi pemandangan pertambakan ikan/udang dan pepohonan mangrove dengan burung-burungnya yang berseliweran atau lagi hinggap di dahan-dahan mangrove tersebut. Lebar muara kali Porong sendiri sekitar 500 – 800 meter.

Waktu yang dibutuhkan dari tempat penyeberangan di Dusun Telocor sampai di dermaga Pulau Lusi sekitar 45 menit, cukup lama untuk ukuran wisata berperahu. Karena kalau wisata naik perahu di Ancol Jakarta, maksimal hanya 30 menit.

Lokasi tempat masuknya ke Pulau Lusi

Begitu masuk pulau Lusi dan menginjakkan kaki, pertama yang terbayang adalah sunyi, betul-betul sunyi karena tak terdengar suara apa-apa, kemudian kita tidak percaya bahwa tanah yang diinjak ini adalah tanah yang berasal dari semburan lumpur Sidoarjo. Kemudian berguman dalam hati: sayang kalau pulau Lusi ini tidak dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat sekitarnya terutama masyarakat yang terdampak lumpur Sidoarjo
.