Kawasan Gunung Bromo yang termasuk wilayah Taman Nasional
Semeru Bromo Tengger berada di bagian dari 3 wilayah kabupaten di provinsi Jawa
Timur, yaitu Malang, Pasuruan, dan Probolinggo. Sehingga untuk pergi ke Bromo
ini dapat melalui jalan dari masing-masing tiga kabupaten tersebut.
Atas pertimbangan kepraktisan saja, karena saya berangkat
dari Surabaya, maka saya pilih lewat kabupaten Probolinggo untuk mencapai Bromo.
Dari Surabaya ke Probolinggo lewat tol Porong memakan waktu 2 jam. Kemudian
hanya satu jam saja waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kawasan Taman Nasional
Semeru Bromo Tengger dimana kawasan Gunung Bromo berada. Jalan menuju Bromo
dari Probolinggo keadaannya mulus sekali hanya saja tidak terlalu lebar,
sehingga ketika berpapasan dengan mobil lain, harus melambatkan kecepatan
kendaraan. Kontur jalan yang khas daerah pegunungan yaitu naik turun dan banyak
belokan namun keindahan panorama alam pegunungan sangat memanjakan pandangan.
Hamparan kebun hortikultura atau sayuran di lereng-lereng perbukitan menyerupai
permadani yang berwarna warni. Banyak petani yang sedang mencangkul tanah
pertaniannya atau sedang memetik sayur panennya adalah pemandangan yang banyak
ditemukan.
Sesampai di kawasan Bromo, saya langsung masuk salah satu
hotel disana, yang ada di desa Ngadipura, tapi agak nyesel, sudah harganya
relatif mahal tapi tidak ada pemandangan ke perbukitan atau gunung sama sekali.
Murah mahalna tarif nginap hotel di Bromo tergantung dari jauh tidaknya dari
kawasan Bromo dan view-nya.
Penginapan atau hotel di Bromo, tarifnya bervariasi antara Rp 150rb s/d Rp 1,5
juta per malam. Penginapan/hotel yang banyak didatangi turis mancanegara adalah
yang bertarif Rp 350 rb/malam yang berada tidak jauh dari pintu gerbang terakhir
masuk kawasan Gunung Bromo.
Kami sampai di Ngadipura yang masuk kabupaten Probolinggo di
wilayah wisata Gunung Bromo sekitar pk 13, jadi masih banyak waktu untuk bisa
menikmati suasana Gunung Bromo, bertanya ke resepsionist hotel dimana kami
menginap, kami utarakan untuk rencana naik Gunung Bromo pada siang ini juga.
Penjelasan dari petugas resepsionist; itu memungkinkan karena cuaca siang ini
sangat bagus dalam artian tidak akan turun hujan.Dan melalui resepsionist hotel
juga, kami menyewa jip Toyota Hardtop untuk bisa sampai ke sekitaran Gunung
Bromo. Sewa Toyota Hardtop sebesar Rp 250 rb yang dapat diisi maksimum 5 orang
penumpang. Sewa mobil Toyota Hardtop ini memang sudah menjadi ketentuan
masyarakat setempat bagi yang ingin naik Gunung Bromo, tidak diperbolehkan
membawa kendaraan roda 4 sendiri. Kalau mau jalan kaki, itu sih diperbolehkan.
Turis bule tidak sedikit yang berjalan kaki dari hotel ke Gunung Bromo.
Satu kendaraan jip Toyota hardtop diisi 5 penumpang dan 1
supir. Satu penumpang duduk di depan bersama supir. Dan empat di belakang
dengan posisi 2-2 duduk saling berhadapan. Mobilnya gagah-gagah dengan ukuran
ban yang besar-besar walaupun mobil ini yang paling muda keluaran th 1981,
kebanyakan yang ada di bromo umumnya
keluaran tahun 1970-an. Sampai saat ini, jumlah jip Toyota hardtop yang
beroperasi untuk wisata gunung Bromo yang dari Probolinggo saja ada sekitar 600
jip.
Naik mobil jip ini adalah keceriaan tersendiri dengan sedikit
ajrut-ajrutan dan bagi yang tahun kelahirannya dibawah tahun 70, naik hardtop
ini dapat mengenang kembali ke era tahun 80-an dimana jip toyota hardtop ini
sedang populer-populernya dan punya strata tinggi karena yang memiliki hardtop
ini hanya pejabat-pejabat tertentu.
Waktu yang diperlukan untuk sampai lokasi Gunung Bromo dari
hotel di desa Ngadipura sekitar 30 menit saja tetapi sungguh pengalaman yang
luar biasa dapat merasakan naik jip diatas lautan pasir. Dan untuk masuk
wilayah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru ini dipungut karcis/restribusi Rp
12 rb/orang, atau hanya US$ 1,00, hanya satu dolar saja. Bandingkan ketika masuk
kebun raya di Singapura yang harus membayar Sin $ 70 atau Rp 570 rb. Luar
biasa, di indonesia memang serba murah.
Sesampainya di sekitar Gunung Bromo, kita turun dan
ditawarkan naik kuda tunggang untuk sampai di bawah gunung Bromo yang jaraknya
sekitar 500 meter, tarifnya Rp 150 rb. Naik kudanya tidak dilepas, tetap
dituntun oleh si empunya. Rasanya seperti naik kuda tunggang yang ada di puncak
Bogor, atau tempat tempat wisata di Bandung.
Yang benar-benar terasa olah raga-nya adalah ketika naik
tangga yang sudah disediakan, jalan sampai ke puncak gunung Bromo, ada sekitar
250 anak tangga dengan sudut kemiringan yang tegak. Cukup melelahkan juga.
Tapi, rasa lelah hilang karena keindahan yang didapat jauh melebihinya. Di bibir
kawah Gunung Bromo walaupun bau belerang sangat menyengat tetapi kami dapat
menikmati panorama alam di sekitarnya dari
ketinggian yang menakjubkan. Namun, itu dilakukan dengan tetap memegang erat
pagar beton yang tersedia, bagaimana-pun kita berdiri di bibir puncak bromo
yang hanya selebar 50 cm. Di sisi kanan adalah jurang lereng gunung dan di sisi
kiri adalah jurang kawah Bromo. Agak gamang dan ketakutan bagi yang takut
ketinggian. Walaupun berada di puncak gunung Bromo tetapi kalau kita ingin
ngopi, teh panas, atau rebus mie instan, ada lho seorang ibu-ibu yang jualan
itu.
Hari sudah menjelang sore dan sebentar lagi akan turun hujan,
kami putuskan untuk segera turun dan kembali ke hotel. Dan esok hari kami akan
lihat matahari terbit (sunrise) di
Pananjakan.
Lagi-lagi kami minta informasi untuk melihat sunrise ke pihak resepsionist hotel. Dan
menurut petugas resepsionist, untuk melihat sun rise harus berangkat jam 3 dini
hari dan sewa jip toyota hardtopnya Rp 450 rb per mobil.
Keesokan harinya. Dinihari pk 02 sudah dibangunkan untuk
segera siap-siap menuju lokasi Pananjakan untuk melihat matahari terbit. Dua
jip Toyota hardtop sudah standbye.
Jalan ke Pananjakan memang lebih jauh, hampir dua kali lipat
yang kemarin ke Gunung Bromo. Karena sebelum sampai di Pananjakan, kami harus
melewati Gunung Bromo terlebih dahulu kemudian naik bukit lagi. Butuh waktu 1
jam untuk sampai lokasi Pananjakan dari hotel tadi.
Di lokasi Pananjakan, sudah berderet mobil-mobil jip hardtop yang
terparkir di area untuk melihat matahari terbit. Pengunjung yang
sudah datang lebih dulu, ada yang memanfaatkan waktu menunggu terbitnya
matahari dengan minum teh, ngopi, atau makan jagung bakar dan lainnya di
warung-warung yang berderet disini. Waktu baru menunjukan pk 04, sunrise muncul
sekitar jam lima lebih, kami juga minum teh hangat dulu. Setelah selesai itu
kami menuju tempat melihat sunrise
yang memang sudah didesign dengan
kursi panjangnya dan itu disediakan oleh pemerintah daerah setempat. Banyak
turis asing yang sudah siap untuk menyambut sunrise.
Udara disini sangat dingin untuk ukuran orang indonesia, bayangkan saja hanya 50C.
Kata orang-orang disini; kalau musim kemarau dinginnya bisa mendekati 00C,
waw, engga usah ke Eropa kalau mau merasakan dingin, cukup datang ke Bromo juga
bisa. Bagi yang masih kedinginan, disini bisa menyewa jaket tebal seharga Rp
10rb.
Kami tunggu-tunggu sunrise
itu, tetapi awan tebal tak pernah menjauh. Sampai pk 06.30 sunrise dimaksud yang kami cari-cari, ternyata hari ini tidak
muncul. Menurut orang-orang disitu: ‘memang sulit dan tidak tentu untuk
mendapatkan sunrise karena ini adalah
wisata alam yang sangat tergantung kepada anugerah alam itu sendiri’. ‘Dan kami
hanya menyediakan tempat untuk melihat sunrise,
bukan menyediakan sunrise-nya’,
sambungnya. Hanya menyediakan tempatnya, perkara ada atau tidak adanya sunrise,
itu sudah urusan alam. Kami beserta ratusan penanti sunrise beranjak dari Pananjakan ini dengan sedikit kecewa.
Hanya sekitar 15 menit kami turun dari puncak Pananjakan,
kami menemukan lokasi ‘Bukit Cinta’ yang ternyata disini kita dapat melihat
pemandangan gunung Bromo beserta hamparan pasir-nya yang sangat jelas dan indah
sekali. Kekecewaan tidak ketemu sunrise
di Pananjakan bisa terobati dengan melihat panorama yang sangat indah ini.
Selesai dari ‘Bukit Cinta’, kami menuju blok Savana.
Di blok Savana, kami nikmati kesunyian diantara hamparan
rerumputan dan berdinding perbukitan gunung Semeru yang menghijau. Rasanya
begitu damai di tempat ini.
Di blok Savana ini pula ada bukit dimana orang setempat
menyebutnya bukit ‘teletubis’ karena
bentuk punggung bukit kecil itu mirip teletubis.
Setelah dari blok savana kami berada di ‘pasir
berbisik’. Jaraknya hanya 2 km saja dari blok savana yang dikunjungi
sebelumnya. Disebut ‘pasir berbisik’
karena di lokasi ini pernah diambil sebagai lokasi syuting film dengan judul
pasir berbisik. Pasir berbisik adalah hamparan pasir yang sangat luas. Yang
pemandangannya-pun sangat menakjubkan. Rasanya hanya di wilayah Bromo ini,
tidak ada di tempat lain di Indonesia yang memiliki hamparan pasir yang begitu
luas.
Selesai dari wisata Bromo kami kembali ke hotel, namun
sebelumnya kami harus sarapan dulu di warung Semeru, satu-satunya warung nasi
yang rekomended di daerah Candipura
walaupun warung nasi ini sangat sederhana tetapi menunya lumayan banyak, ada
goreng ayam, ada soto, dan berbagai sayuran, dan bersih. Saya tanya supir hardtop
yang membawa kami, mas Febrianto yang asli penduduk setempat dan dari suku
Tengger juga sangat faham sopan santun, kenapa di daerah wisata Bromo tidak ada
restoran yang berskala besar. Jawaban Febrianto adalah: ‘di wilayah Bromo tidak
diperbolehkan orang luar untuk berinvestasi di bidang perhotelan, penginapan,
restoran, transportasi wisata, dan pengelolaan sumberdaya alam yang ada
seperti pertanian dan lainnya’. Mungkin
yang dimaksud mas Febrianto adalah tidak boleh membangun di wilayah taman
nasional, mungkin itu. Menarik juga klausul tersebut, jaman sekarang apa
ekonomi bisa bergerak kalau tanpa investasi?
Mas Febrianto yang ngantar kami menikmati wisata Bromo
Sebenarnya kami masih ingin lebih lama berada di Bromo ini,
karena kami belum mengeksplor tentang kehidupan masyarakatnya yang sebagian
sebagai petani sayuran, sebagai penganut agama Hindu, kehidupan kesehariannya,
ritual agamanya, adat istiadatnya dan masih banyak lagi hal-hal yang menarik
untuk diketahui. Katanya: waktu terbaik untuk datang dan menikmati wisata
Gunung Bromo adalah pada bulan Juli-Agustus. Pada bulan itu adalah musim
kemarau dimana dapat melihat sunrise, ada upacara adat Agama Hindu yaitu
Kesodo, dan ada pertunjukan jazz gunung dari artis-artis terkenal dari Jakarta
dan lainnya.
Secara umum, kami sangat puas dan sangat mengesankan berwisata
di Gunung Bromo ini. Kapan-kapan kami akan datang lagi ke Bromo bersama
keluarga.