Selasa, 19 November 2013

Mekanisme Penetapan Kuota Penangkapan Ikan Hiu. Terkait Ketentuan CITES

Pengertian Kuota
Indonesia sudah meratifikasi Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) melalui Keputusan Presiden No. 43 tahun 1978, yang artinya Indonesia akan mengikuti aturan-aturan yang berlaku di CITES untuk perdagangan internasional (ekspor/impor) dari ikan, satwa, dan tumbuhan yang masuk dalam daftar Appendix ll CITES. Salah satu cara untuk memantau keadaan populasi terkait perdagangannya adalah melalui  mekanisme ‘kuota’. Appendix ll CITES adalah daftar yang memuat jenis-jenis yang saat ini belum terancam punah namun dapat terancam punah apabila perdagangan internasionalnya tidak dikendalikan. Sedangkan pengertian kuota adalah batas jumlah maksimum pengambilan jenis-jenis ikan, satwa, dan tumbuhan dari alam untuk pemanfaatan selama jangka waktu tertentu. Jumlah kuota tersebut ditetapkan oleh Direktur Jenderal dari kementerian yang menjadi Otoritas Pengelola (Management Authority/MA) berdasarkan rekomendasi dari Otoritas Keilmuan (Scientific Authority/SA, yang dalam hal ini adalam Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia/LIPI) untuk setiap kurun waktu 1 (satu) tahun. Penetapan kuota setidaknya berisi: nama, ukuran maksimum – minimum, dan wilayah penangkapan/pengambilannya (seperti tercantum dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 04 tahun 2010 tentang Tatacara Pemanfaatan Jenis Ikan yang Dilindungi).

Tujuan penetapan kuota penangkapan atau pengambilan ikan, satwa, dan tumbuhan dari alam, adalah: (1) untuk mengatur dan memantau perdagangan ikan, satwa, dan tumbuhan yang dilindungi dan (2) untuk memastikan bahwa perdagangan ikan, satwa, dan tumbuhan yang dilindungi tidak membahayakan kelangsungan hidup populasi di alam (Non Detrimental Finding/NDF). Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam penentuan kuota tangkap/pengambilan, adalah:

1.   Data Populasi,

2.   Dokumen realisasi kuota 3 tahun terahir,

3.   Dokumen usulan kuota dari provinsi dan atau asosiasi tahun berjalan dan tahun yang akan datang,

4.   Referensi dan laporan-laporan terkait lainnya,

5.   Hasil konsultasi dengan para pakar di LIPI maupun di luar LIPI,

6.   Hasil koordinasi antara Otoritas Keilmuan (Scientific Authority/SA)  dengan Otoritas Pengelola (Management Authority/MA), dan

7.   Hasil komunikasi dengan Otoritas Keilmuan dari negara-negara lain yang memiliki komoditas yang sama.

Kesulitan dalam menentukan kuota antara lain adalah:

1.   Daftar jumlah spesies Appendix ll (beserta derivasi dan bagian-bagiannya) yang sangat banyak,

2.   Tidak memadainya ketersediaan data ilmiah seperti stock/populasi, habitat, sebaran, dan lainnya, dan

3.   Keterbatasan dana dan sumberdaya manusia untuk pengumpulan data ilmiah beserta analisisnya.

Mekanisme Penetapan Kuota


Kuota Penangkapan dan Pengambilan Spesies Aquatik
Beberapa jenis biota perairan yang dapat ditemukan di perairan Indonesia dan masuk dalam daftar Appendix ll CITES diantaranya adalah:

1.   Ikan napoleon (Cheilinus undulatus),

2.   Karang,

3.   Ikan hiu dan pari,

4.   Lola (Trochus niloticus),

5.   Kuda laut (Hyppocampus), dan

6.   Ambergis (kekerangan)

Dari enam jenis biota laut di atas, hanya ikan napoleon yang sudah memiliki kuotanya (sampai tahun 2013) dan usulan kuota tahun 2014, sedangkan 5 jenis-jenis lainnya belum pernah ada dan belum dapat diusulkan kuotanya untuk tahun 2014. Hal tersebut terjadi karena minimnya data ilmiah yang ada dan tidak ada yang mengusulkan baik dari provinsi yang memiliki potensi biota tersebut maupun dari pihak asosiasi pengusaha/eksportir biota-biota tersebut. Kuota penangkapan  ikan napoleon untuk  tahun 2014 diusulkan sama dengan kuota tahun 2013 yaitu sebanyak 2000 ekor. Angka tersebut diusulkan karena realisasi kuota tahun 2013 hanya 1400 ekor yang berarti dibawah kuota yang telah ditetapkan.
Kuota Penangkapan Ikan Hiu
Beberapa jenis ikan hiu yang telah masuk dalam daftar Appendix ll CITES, yaitu:

1.   Hiu paus (Rhincodon typus)

2.   Tiga jenis hiu martil (Sphyrna lewini, Sphyrna zygaena, dan Sphyrna mokkaran), dan

3.   Hiu koboy (Carcharinus longimanus)
Hiu Paus
Empat jenis ikan hiu yang masuk Appendix ll

Hiu paus masuk dalam daftar Appendix ll CITES pada pertemuan para pihak atau Conference of the Parties/COP ke 12 CITES tahun 2002 yang seyogyanya aturan perdagangan internasionalnya sudah harus mengikuti ketentuan CITES, namun karena hiu paus ini secara nasional telah ditetapkan dengan status sebagai jenis ikan yang dilindungi penuh melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 18 tahun 2013, yang artinya bahwa ikan hiu paus ini tidak boleh ditangkap dan diperdagangkan. Sehingga ketentuan CITES tentang Appendix ll yang membolehkan memperdagangkan hiu paus ini tidak berlaku di Indonesia.

Tiga jenis hiu martil dan satu jenis hiu koboy baru masuk daftar Appendix ll CITES pada bulan Maret 2013, dimana sesuai ketentuan dari CITES sendiri yaitu aturan pedagangan internasionalnya baru efektif berjalan setelah 18 bulan sejak masuk daftar Appendix  atau sekitar bulan September 2014 yang akan datang, sehingga 3 jenis hiu martil dan hiu koboy aturan CITES nya belum berlaku sampai bulan September 2014. Tetapi tahun 2014, Indonesia harus sudah mengusulkan besaran kuota untuk dilaksanakan pada tahun 2015 dan seterusnya.
Anakan ikan hiu di Tanjung Luar-Lombok
Ekspor Sirip hiu (sumber data BKIPM-KKP 2013)
Walaupun opsi penentuan kuota ini adalah bersifat voluntary namun dalam penentuan jumlahnya harus dihitung  secara optimal dengan prinsip kehatian-hatian. Penentuan jumlah kuota penagkapan hiu dari alam selain atas perhitungan stock/populasi potensi yang ada di Indonesia juga sangat perlu untuk memperhitungkan jumlah nelayan dan masyarakat Indonesia yang terlibat dalam perikanan hiu ini. Produksi ikan hiu Indonesia  sekitar 60.000 ton (data 2012) yang dihasilkan dari nelayan dengan target penangkapannya adalah hiu (sekitar 30%) sedangkan 70% nya merupakan hasil/produk bycatch. Dan ekspor sirip hiu mencapai 400 ton (data 2012). Angka-angka tersebut dapat menjadi acuan ketika kita akan mengusulkan angka kuota penangkapan hiu dari perairan laut kita.

Senin, 11 November 2013

Ikan Hiu Terkait Regulasi Perdagangannya

Ikan Hiu dan Pari
Bagi orang awam atau nelayan, untuk beberapa jenis ikan hiu dan pari -sulit membedakannya-, mana  yang masuk jenis ikan hiu dan
Pari gergaji
mana yang masuk jenis ikan pari. ikan hiu gergaji (Pristis microdon), walaupun disebut hiu padahal itu termasuk jenis ikan pari. Bahkan sirip hiu yang katagori super atau yang paling mahal adalah sirip hiu dari jenis hiu lontar (Rhynchobatus sp) padahal hiu lontar ini bukan termasuk kedalam jenis ikan hiu tetapi masuk kedalam jenis ikan pari. Untuk mudah membedakannya bisa dilihat dari letak insang masing-masing. Insang ikan pari terletak di bawah mulut sedangkan letak insang pada ikan hiu berada di samping kanan dan kiri dekat bagian kepalanya.
Bagi Indonesia, perikanan hiu masih menjadi andalan baik bagi
Produksi ikan hiu (2011)
ekonomi nelayan maupun sebagai ekonomi nasional sebagai salah satu komoditas ekspor. Produksi ikan hiu nasional adalah sekitar 60.000 ton (data 2011), jumlah ekspornya mencapai 2500 ton (data 2006),
Ekspor sirip hiu
dan ekspor sirip hiu mencapai 486 ton (data 2006), suatu jumlah produksi dan pengekspor terbesar di dunia, baru kemudian disusul oleh negara India. Dalam hal produksi dan jumlah ekspor yang tinggi dari indonesia, hal itu sesuatu yang wajar karena luas perairan kita yang mencapai 5,5 juta km2 dengan memiliki 118 jenis hiu tentunya suatu potensi yang sangat besar dibandingkan dengan potensi perikanan hiu negara manapun.
Atas dasar fakta-fakta di atas, maka ketika kita akan menyiapkan regulasi nasional tentang ikan hiu, hal itu harus dilakukan secara hati-hati dengan mempertimbangkan tidak saja hal teknis biologi namun juga harus mempertimbangkan aspek sosial ekonomi nelayan.
Ikan Hiu di Dunia
Memang populasi ikan hiu  di dunia semakin menyusut sehingga beberapa pihak berupaya untuk memberikan status perlindungan terhadap ke dua jenis ikan tersebut. Beberapa negara Uni Eropa dan Amerika Serikat sedang gencar melakukan kampanye anti mengkonsumsi ikan hiu terutama siripnya sebagai upaya meningkatkan konservasi ikan hiu. Sehingga tidak sedikit berdampak terhadap perikanan hiu nasional. Harga sirip hiu saat ini tinggal 40% nya saja dari harga tahun 2012 dan itu menjadikan usaha penangkapan ikan hiu tidak ekonomis lagi.
Beberapa jenis ikan hiu yang ada di perairan Indonesia dan sudah masuk ke dalam Appendix CITES adalah sbb:


No

Nama/jenis ikan hiu

Daftar Appendix CITES

1

Hiu paus

Rhincodon thypus

                II




2    

Hiu martil

Sphyrna leweni,Sphyrna mokarran, dan Sphyrna zigaena.

                II

3

Hiu koboi

Carcharhinus longimanus

                II






Ikan yang termasuk kedalam appendix I adalah ikan yang sama sekali tidak boleh diperdagangkan secara internasional sedangkan yang masuk kedalam appendix II, ikan tersebut masih boleh diperdagangkan secara internasional namun dengan kontrol yang ketat yang salah satunya melalui mekanisme kuota.

Hiu martil masuk list appendix 2 CITES


Hiu koboy masuk appendix 2 CITES

Khusus untuk nomor 2 dan 3 terkait dengan perdagangan internasional 3 jenis hiu martil dan 1 jenis hiu koboi yang baru masuk daftar appendix pada pertemuan para pihak (Conference of the Parties/COP) Convention on International Trade in Endangered Spesies of Wild Fauna and Flora/CITES ke 16 bulan Maret 2013 di Bangkok kemarin, maka aturan perdagangan internasionalnya baru berjalan efektif setelah 18 bulan dari waktu penetapannya atau mulai berlaku tanggal 14 September 2014.

Peraturan Nasional Menyangkut Ikan Hiu
Indonesia sebagai salah satu penandatangan CITES dan telah meratifikasi aturan-aturan CITES dalamKeputusan Presiden No. 43 Tahun 1978, mau tidak mau, Indonesia harus mengikuti aturan internasional CITES yang menyangkut perdagangan internasional (ekspor-impor) satwa dan tumbuhan (termasuk  ikan) yang dilindungi dan berkewajiban untuk memberikan sejumlah tindakan konservasi-nya. Memang betul, keputusan CITES tidak mesti ditindaklanjuti oleh regulasi nasional yang mengatur perdagangan di dalam negeri-nya.
Ikan hiu paus
Secara nasional jenis ikan hiu yang sudah ditetapkan perlindungannya adalah jenis hiu paus (Rhincodon thypus) dengan status perlindungan penuh melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 18 tahun 2013. Artinya ikan hiu paus ini tidak boleh dimanfaatkan sama sekali termasuk diperdagangkan baik utuh maupun bagian-bagiannya.
Ikan hiu monyet
Regulasi lainnya mengenai ikan hiu adalah tentang hiu monyet /Thresher shark (Famili Alopiidae) terkait dengan perikanan tuna (Resolusi Indian Ocean Tuna Commission) melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 26 tahun 2013 atas perubahan Permen KP No.30 tahun 2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dimana disebutkan bahwa tindakan konservasi terhadap ikan hiu monyet sebagai hasil tangkapan sampingan (bycatch) meliputi: melepaskan ikan hiu monyet kembali ke laut yang tertangkap dalam keadaan hidup, melakukan penanganan/atau menyiangi ikan yang tertangkap dalam keadaan mati dan mendaratkannya dalam keadaan utuh, dan melakukan pencatatan jenis ikan yang tertangkap dalam keadaan mati dan melaporkan kepada Direktur Jenderal Perikanan Tangkap melalui kepala pelabuhan pangkalan sebagaimana tercantum dalam Surat Ijin Penangkapan Ikan/SIPI.

Perdagangan Ikan Hiu
Secara normatif atas dasar belum adanya regulasi nasional untuk beberapa jenis hiu dan secara internasional aturan CITES untuk 3 jenis hiu martil dan 1 jenis hiu koboi baru berlaku efektif tanggal 14 September 2014, maka perdagangan ikan hiu  beserta bagian-bagiannya tubuhnya (antara lain: sirip hiu) di dalam negeri maupun untuk tujuan ekspor selain dari jenis hiu paus (Rhincodon thypus) dan jenis hiu monyet /thresher shark (Allopiidae) masih bisa dimanfaatkan termasuk perdagangannya.
Dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 50/M-DAG/PER/9/2013 tentang Ketentuan Ekspor Tumbuhan Alam dan Satwa Liar Yang Tidak Dilindungi Undang-Undang dan Termasuk Dalam Daftar CITES, tiga jenis hiu martil dan satu jenis hiu koboy tersebut ( empat jenis hiu tersebut belum ada status perlindungannya secara peraturan perundang-undangan nasional tetapi sudah masuk dalam daftar appendix CITES)  tidak termasuk dalam aturan ketentuan ekspor tumbuhan dan satwa liar sebagaimana Peraturan Menteri Perdagangan tersebut. Peraturan Menteri Perdagangan tersebut tidak mencantumkan ke empat jenis hiu tersebut dalam lampirannya.
Walaupun demikian, kegiatan perikanan kita harus dilakukan secara bertanggung jawab (responsibity fisheries) yang mengedepankan keseimbangan antara pemanfaatan dengan upaya konservasinya.

Minggu, 10 November 2013

Wisata Rumah Si Pitung di Marunda Jakarta Tanpa Disertai Informasi yang Memadai


Mendengar dan melihat tayangan rumah Si Pitung di media massa sudah sering saya dapatkan namun saya belum pernah tahu rumah itu sesungguhnya. Baru pada hari Minggu (10/10/2013) saya berkesempatan untuk mengunjunginya. Bagi orang awam yang akan mengunjungi rumah Si Pitung ini, saya prediksi akan mengalami kesulitan karena letaknya berada jauh dari jalan protokol. Letaknya berada pada kawasan jasa pendukung kepelabuhanan Tanjung Priok sehingga terasa ‘nyempil’ diantara serakan tumpukan kontainer. Mudahnya, untuk mendapatkan lokasi rumah Si Pitung ini, pakai saja ancar-ancar lokasi Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Marunda dan rumah Si Pitung ini persis berada di belakang lokasi STIP tersebut.

Rumah Si Pitung adalah rumah kayu yang berbentuk panggung dengan luasan sekitar 150 m2 yang terdiri dari ruang tamu, ruang keluarga, dapur, dan hanya satu tempat tidur. Di ruang tamu terdisplay seperangkat meja kursi kayu kombinasi rotan, di dapur juga didisplay seperangkat alat masak beserta tungkunya, dan yang menarik adalah kamar Si Pitungnya, dimana disitu ada ranjang berkelambu sebagai alat anti nyamuk kemudian kasur bersprei putih dengan bantalnya, serta di pinggir kasur diletakkan satu Alqur’an yang mencerminkan bahwa Si Pitung adalah seorang muslim yang saleh.

Sebenarnya secara arsitektur design baik eksterior maupun interior serta material rumah ini, tidak ada yang istimewa. Mungkin banyak rumah lain yang lebih bagus dan lebih antik dari rumah Si Pitung ini. Rumah ini menjadi menarik karena menyangkut seorang legenda masyarakat Betawi/Jakarta ahir abad 19. Banyak versi dari cerita tentang Si Pitung ini, bisa versi lokal, Cina, atau Belanda. Secara versi lokal, Si Pitung ini digambarkan sebagai sosok jagoan yang berkeadilan seperti digambarkan pada banyak komik. Si Pitung bermusuhan dengan pihak Belanda namun sangat baik terhadap masyarakat sekitarnya. Lain lagi ceritanya kalau menurut versi Belanda. Menurut versi Belanda; sosok Si Pitung digambarkan kebalikannya dari versi lokal. Cerita sejarah memang tergantung siapa pembuatnya.

Rumah Si Pitung yang merupakan bagian sejarah budaya Betawi/Jakarta dan sudah dijadikan destinasi wisata di Jakarta maka seyogyanya untuk dikelola secara profesional serta melengkapi berbagai pendukung kepariwisataannya antara lain: akses menuju rumah Si Pitung, kebersihan lokasi sekitarnya, penghijauan lokasi rumah Si Pitung, dan yang lebih penting adalah melengkapinya dengan informasi terkait legenda Si Pitung dan terkait rumah Si Pitung-nya itu sendiri. Kalau tanpa informasi yang seperti saat ini berjalan, apa bedanya rumah dengan rumah lainnya? Karena rumah ini adalah sejarah dan sejarah itu sendiri adalah informasi, maka rumah ini akan lebih bermakna kalau dilengkapi dengan dukungan informasi terkait. Kita bisa belajar dari negara Singapura, Australia, dan lainnya, mereka menjual pariwisatanya dengan melengkapi berbagai informasi terkait sehingga sesuatu yang biasa menjadi sesuatu yang luar biasa. Rumah Pecinan peninggalan jaman dulu di Singapura yang tidak berbeda dengan rumah-rumah Pecinan yang ada di sekitaran Glodok Jakarta atau tempat lainnya di kota-kota Indonesia, tetapi di Singapura lebih menarik dan dijadikan tempat wisata karena disertai dengan informasi sejarah Pecinan-nya.
Maka tentunya akan lebih menarik kalau Rumah Si Pitung ini dilengkapi dengan informasi sejarahnya dan jangan takut dengan berbagai versi sejarahnya.
Rumah Si Pitung di Marunda Jakarta
Pintu Gerbang Rumah Si Pitung dan masuknya masih gratis
Beranda depan dari rumah Si Pitung
Ruang tamu
Ruang keluarga
Kamar tidur Si Pitung
Di dalam rumah ada secuil informasi tentang Si Pitung
 
Sosok Si Pitung?
Akan lebih menarik kalau dikelola dengan profesional
Akses ke Rumah Si Pitung
Akses masuk ke wisata Rumah Si Pitung
Kebersihan lingkungan sekitar perlu ditingkatkan
Rumah Si Pitung diantara pertambakan dan daerah industri
Rumah Si Pitung berada diantara terminal terminal peti kemas
 
 
 
 
 

Senin, 04 November 2013

Ikan Hiu Berbagai Jenis Dapat Ditemui di TPI Tanjung Luar-Lombok

Suasana Tempat Pelelangan Ikan di Tanjung Luar
Kapal nelayan Tanjung luar Lombok barat yang ukurannya 5 - 10 GT biasa beroperasi mencari ikan hiu dan pari selama satu bulan mulai dari perairan NTB sendiri sampai ke perairan NTT yang berbatasan dengan Australia. Satu perahu yang diawaki 4 orang dengan biaya operasional baik untuk BBM maupun lainnya sekitar 25 juta akan membawa hasil 40 - 60 ekor ikan hiu dan pari ukuran besar besar dari berbagai jenis dan grade. Kalau dirupiahkan sekitar Rp 40 - 60 juta dan tiap awak nelayan dapat membawa uang ke rumah antara Rp 2 - 4juta namun tidak jarang pula pulang melaut tidak membawa hasil apapun.
Perahu-perahu penangkap ikan hiu di Tanjung Luar
Yang menjadi sorotan dunia terhadap perikanan hiu di Tanjung luar dan secara nasional umumnya adalah:
1. Over exploitasi tidak menerapkan kaidah perikanan berkelanjutan
2. Finning atau hanya memanfaatkan siripnya saja sedangkan bagian tubuhnya dibuang ke laut. Praktek perikanan semacam ini dianggap kejam.
3. Penangkapan anakannya hiu atau lebih populer disebut baby hiu
4. Beberapa jenis hiu sudah memiliki aturan internasional antara lain CITES yang melarang untuk diperdagangkan secara internasional atau minimal perlu pembatasan perdagangannya dengan mekanismenya kuota
Namun demikian, perlu diingat bahwa perikanan hiu dan pari di Indonesia tidak dapat begitu saja dibandingkan, karena:
1. Belum ada regulasi nasionalnya kecualinya untuk hiu gergaji (Pristis microdon) dan hiu paus (Rhincodon typhus) yang termasuk jenis ikan yang dilindungi serta untuk hiu monyet atau hiu tikus(Alopiidae) yang diatur oleh Keputusan menteri kelautan dan perikanan no 30 tahun 2012 tentang Usaha Perikanan di WPP-RI, yaitu: apabila ikan hiu tikus tersebut tertangkap dalam keadaan hidup maka harus dikembalikan ke laut sedangkan apabila tertangkap dalam keadaan mati maka hiu tersebut harus didaratkan dalam keadaan utuh kemudian dilaporkan kepada otoritas pelabuhan perikanan terdekat untuk dikuburkan
2. Penangkapan ikan hiu  merupakan target penangkapan ikan bagi sebagian nelayan (dari total produksi hiu sebanyak 30% merupakan hasil target nelayan dan sisanya merupakan hasil sampingan atau bycach). Artinya masih banyak nelayan yang hidupnya dari penangkapan hiu.
Lelang Ikan Hiu di Tanjung Luar
Musim produksi hiu di Tanjung luar adalah sekitar bulan April sampai Oktober dimana pada bulan-bulan tersebut keadaan laut antara perairan NTB sampai NTT dalam keadaan tenang. pada puncak musim hiu, jumlah hiu dari berbagai jenis dan ukuran dapat mencapai 3500 kg/ hari-nya sehingga tidak mengherankan kalau di TPI Tanjung Luar Lombok dapat ditemui berbagai jenis hiu yang dilelang. Data tersebut dapat dilihat pada gambar berikut: 
Dari data data di atas, maka tidak mengherankan apabila di TPI Tanjung luar setiap harinya ada saja ikan hiu  yang dilelang walaupun dalam jumlah yang bervariasi sesuai dengan musimnya. Jenis ikan hiu yang termasuk paling banyak didaratkan di TPI Tanjung Luar adalah dari jenis: lanjaman (Carcharhinidae), hiu mako (Lamnidae), hiu botol (Squalidae), hiu tikus (Alopiidae), hiu martil (Sphyrnidae), hiu lontar (Rhynchobatidae) yang sebenarnya ini termasuk kedalam jenis ikan pari, dan lainnya.
Berbagai jenis ikan hiu yang dilelang di Tanjung Luar
Hiu tikus/Alopiidae (atas)dan hiu (pari) lontar/Rhynchobatidae

Hiu tikus (Alopiidae) hampir setiap hari ada saja yang didaratkan padahal jenis ikan ini sudah diatur dalam Peraturan Menteri KP no.30 tahun 2012 yang menyebutkan untuk tidak ditangkap dan diperjualbelikan. Harga dari sirip dan ikan jenis ini adalah yang paling murah karena kulitnya tebal sehingga kandungan hisit dalam siripnya itu sedikit. Berbeda dengan hiu lontar (Rhynchobatidae) yang sebenarnya masuk kedalam jenis ikan pari, harga ikan hiu lontar ini masuk katagori super sehingga paling mahal diantara jenis hiu lainnya. Kenapa paling mahal karena kulitnya tipis sehingga kandungan hisit dalam siripnya termasuk tinggi.
Bagi awam dan juga nelayan di Tanjung luar, sulit membedakan antara ikan hiu dan pari (Elasmobranchii), apakah dia masuk kedalam jenis ikan hiu atau kedalam jenis ikan pari? cara membedakannya yang paling mudah adalah dari letak insangnya. Letak insang pada ikan hiu berada di sebelah samping kanan dan kiri dekat kepala sedangkan letak insang ikan pari berada di bawah kepalanya.

Dunia luar banyak mengecam praktik perikanan hiu di Tanjung Luar namun seyogyanya kita harus arif untuk menyikapinya. Nelayan Tanjung Luar tidak bisa serta merta disalahkan karena informasi regulasi tentang pengelolaan ikan hiu 'tidak sampai' kepada mereka dan mereka banyak menyandarkan kehidupannya terhadap perikanan hiu ini.

Minggu, 03 November 2013

Pantai Mawun di Lombok. Pesona Keindahan yang Tersembunyi

Pantai Mawun di Kabupaten Lombok Tengah letaknya tidak jauh dari bandara internasional Lombok, keindahannya sangat mempesona namun belum banyak diketahui oleh para wisatawan, sehingga kalau anda datang ke pantai ini tidak akan banyak menemui wisatawan disana. Kalau-pun ada wisatawan, paling jumlahnya hanya dalam hitungan jari saja. Padahal letak pantai Mawun dari bandara Lombok yang baru di Praya hanya membutuhkan waktu perjalanan sekitar 45 menit saja. Letak pantai Mawun, apabila datang dari arah bandara, nanti ada pertigaan yang tidak ada rambu-rambu penunjuk arah mau kemana, ambil arah ke kiri kalau mau ke pantai Kute dan pantai Tanjung Aan dan ambil arah kanan kalau mau ke pantai Mawun ambil. Dari pertigaan tersebut mengarah ke pantai Kute hanya selemparan batu saja dan jalannya lebar tetapi kalau menuju pantai Mawun harus naik turun serta menapaki jalan sempit berliku perbukitan tandus namun pemandangan yang disuguhkan sangat mempesona. Di sebelah kiri membentang laut biru dengan riak gelombang yang terlihat jelas dan di sebelah kanan terlihat perbukitan berbatu dengan warna kecoklatan tanpa tanaman selain semak belukar. Paralel dengan kondisi tanahnya yang tidak subur, kehidupan masyarakatnya-pun masih sangat sederhana. Rumah-rumah sempit yang terbuat dari bambu dengan atap dari ilalang banyak ditemukan di sepanjang perjalanan dari pertigaan sampai ke pantai Mawun. Hanya saja, saat ini ada pemandangan lain yaitu banyaknya tumpukan karung goni berisi tanah bebatuan di pinggir-pinggir jalan desa Mawun. Ternyata karung-karung goni yang berisi tanah bebatuan tersebut yang diambil dari perbukitan sekitarnya diperkirakan berisi kandungan emas. Penduduk desa Mawun kini  sedang 'demam' pendulangan emas. Perlu ada aturan tegas untuk menjaga jangan sampai jadi masalah sosial dan juga menimbulkan kerusakan lingkungan setempat.
Selepas mendaki dan menuruni jalan perbukitan, kami tiba di jalan masuk ke pantai Mawun. Jalannya lebih sempit lagi dan aspalnya sudah terkelupas disana sini. Tidak ada billboard besar sebagai informasi bahwa disini letak dari pantai Mawun sebagaimana biasanya di lokasi pintu gerbang di sebuah tempat rekreasi, hanya ada tanda panah seukuran tangan orang dewasa yang terbuat dari kayu sembarangan dengan tulisan tangan 'Mawun Beach'. Namun begitu ketika kita masuk dan berada di pantainya, siapapun pasti akan langsung berdecak kagum akan pesona keindahannya. Kita disuguhi pemandangan yang indah, alami dan suasana sunyi yang menyiratkan kedamaian. Pantainya sendiri berada di daerah semi tertutup karena ini adalah teluk kecil dengan bentuk menyerupai tapal kuda sehingga lautnya tenang tidak bergelombang. Pasir putih berbentuk merica membentang lebar sepanjang separuh teluk kecil ini, air lautnya biru dengan kejernihan luar biasa karena disini hampir tak ada limbah yang masuk mengalir ke laut ini. Kami tak tahan berlama-lama untuk hanya memandangi keindahan alam pantai Mawun ini, kami segera pergi berenang di air nan jernih ini.
Saat kami berkunjung ke pantai Mawun ini, hanya ada beberapa turis asing yang sedang mandi, berenang, atau hanya sekedar berjemur di pasir pantai ini. Mereka dapat menikmati alam pantai ini sepuasnya tanpa harus risih oleh ulah pedagang asongan atau yang menawarkan jasa-jasa lainnya. Karena disini hanya ada 2 warung minuman ringan dan snack, 3 orang penjual kain khas Lombok, dan 1 orang penjual kelapa muda. Kami tidak melihat ada turis domestik lain yang berkunjung ke pantai ini.
Kenapa kunjungan wisatawan ke pantai yang indah ini hanya dapat dihitung dengan jari saja setiap harinya, tidak sebanding dengan keindahannya? Dahulu mungkin yang menjadi masalah untuk datang ke pantai Mawun ini adalah akses dan faktor keamanan di perjalanannya, namun untuk saat ini, hal tersebut sudah tidak menjadi masalah lagi. Jadi yang kurang adalah promosi dan informasi tentang pantai ini, dan tentu saja tentang keberadaan dari berbagai  fasilitas wisata  yang dibutuhkan para wisatawan. Kini fasilitas yang sudah tersedia selain dua warung sederhana, tiga bale-bale, dan kamar mandi sederhana. Tempat bilas apalagi kamar penginapan belum tersedia. Juga tidak ada rambu-rambu informasi tentang kedalaman pantai beserta petugas jaga pantainya. Agak miris untuk sembarangan mandi di pantai ini walaupun sampai saat ini belum pernah ada kejadian kecelakaan sewaktu berenang di pantai Mawun ini. Apakah fasilitas-fasilitas wisata tersebut baru akan dibangun setelah banyak wisatawan yang datang seperti kebiasaan dalam pembangunan kita? Atau kita siapkan fasilitas wisatanya baru kita promosikan untuk mengundang banyak wisatawan datang ke pantai Mawun ini? Saya pikir dengan logika umum, yang poin kedua yang mestinya jadi pilihan.
Jalan Menuju Pantai Mawun
Penduduk Desa Mawun Sedang Proses Mendulang Bijih Emas
Pantai Mawun yang Semi Tertutup
Pasir Putihnya Membentang di Lingkaran Dalam Pantai
Di Sebelah Kanan Juga Membentang Pasir Putih dan Bukit Tandus
Turis Hanya Ada Beberapa Orang Saja
Masih Sangat Alami
Perlu Penambahan Fasilitas Wisata dan Promosi
bale-bale dan warung sederhana


Sabtu, 02 November 2013

Pantai Senggigi di Lombok yang Tetap Mempesona

Tadinya saya pikir dengan pindahnya Bandara Internasional Lombok dari Ampenan Mataram ke Praya Lombok Tengah akan mengurangi jumlah wisatawan yang datang ke pantai Senggigi. Bagaimana tidak? Bandara yang dulunya berada di Ampenan yang letaknya ber-tetangga-an persis dengan pantai Senggigi sehingga wisatawan dari bandara itu kalau mau ke pantai Senggigi hanya membutuhkan waktu 30 menit untuk sampai di Senggigi. Sedangkan Bandara Lombok saat ini berada di Praya di Lombok Tengah, agak jauh dari letaknya pantai Senggigi. Sekarang apabila wisatawan dari bandara yang bermaksud ke Senggigi harus masuk kota Mataram dahulu dan butuh waktu sekitar 1,5 jam. Malahan letak bandara Lombok saat ini lebih dekat ke pantai Kute yang menjadi salah satu tujuan wisata di pulau Lombok. Kenyataannya jumlah wisatawan yang datang dan menginap di sekitaran pantai Senggigi tidak berkurang dari sejak bandara pindah. Memang, Senggigi adalah jalur wisata yang akan menuju Gili Trawangan, Air, dan Meno.
Jalan menuju Senggigi beraspal mulus dengan jumlah kendaraan yang lalu lalang tidak banyak, kanan kirinya diwarnai kehijauan pohon pohon kelapa dan rerumputan. Ketika kami lewat sebelum di pusat kota Senggiginya kami melihat ada beberapa bangunan sederhana terletak di pinggir pantai yang dibangun oleh pemerintah daerah setempat sebagai spot untuk melihat sunset atau matahari tenggelam. Kebetulan waktu itu sudah sore, kami mampir untuk menikmati sunset yang sebentar lagi akan tiba. Duduk di perbukitan bibir pantai pada ketinggian vertikal 15 meter, dengan udara yang segar adalah suatu tempat yang ideal untuk menyaksikan sunset. kami duduk manis sambil ditemani secangkir kopi hangat dan jagung bakar panas. Nikmat sekali! Selain wisatawan domestik juga ada beberapa wisatawan asing yang terlihat begitu antusias untuk menyaksikan matahari tenggelam yang menandakan terjadinya perubahan waktu dari siang ke malam hari. Ketika saat-saat sunset akan tiba, suasa sunyi sambil mata tak putus memandangi matahari kemerahan yang sebentar lagi akan istirahat di ufuk barat. Keindahan yang sempurna!
Beranjak sebentar dari tempat menyaksikan sunset kami tiba di pusat desa Senggigi-nya. keramaian di Senggigi hanya sepanjang 1 km saja, tidak banyak memang. Dan suasanya tidak banyak mengalami perubahan banyak, baik hotel, jumlah cafe dan restoran serta suasana jalan-jalan sekitarnya. Hampir sama seperti keadaan tahun-tahun sebelumnya. Suasananya tidak ramai, jauh berbeda apabila dibandingkan dengan suasana pantai Kuta di Bali yang cenderung hiruk pikuk. Disini di Senggigi lebih ke suasana sunyi dengan lampu penerangan yang sedikit temaram serta orang yang berlalu lalang juga tidak banyak. Justru dengan suasana yang jauh dari hingar bingar seperti itulah yang, banyak disukai oleh wisatawan asing terutama yang sudah memasuki masa senior. Linda Naff seorang turis dari Belanda yang ketemu di toko roti yang tiap tahun, dia bercerita dengan ramah bahwa dia selalu datang ke Senggigi ini hampir setiap tahun, tapi dia mengatakan juga; 'kalau nanti Senggigi terjadi perubahan masif maka saya tidak akan datang lagi ke Senggigi. Saya akan cari tempat yang lain'. Maksud dia, perubahan pasti terjadi namun agar tetap mempertahankan ciri utama dari suasana pantai Senggigi ini karena hal itulah yang jadi keunggulan utama dari pasar wisata pantai Senggigi ini.
Menyaksikan Sunset
Sunset di pantai Senggigi Lombok
Menikmati sunset berteman secangkir kopi dan jagung bakar
Menikmati sunset sambil bermain di pantai
Suasana Senggigi di Sore Hari
Suasana yang paling ramai di Senggigi hanya seperti ini
Souvenir tersedia juga disini
Makan malam romantis di pinggir pantai juga tersedia
Ikan bakar menjadi kuliner favoritnya