Selasa, 31 Mei 2011

Mengunjungi Museum Ranggawarsito di Semarang, Jawa Tengah

Membaca nama Ranggawarsito yang dicantumkan dalam nama museum ini, tentu dengan cepat melintas dan membayangkan dalam pikiran kita, bahwa museum ini adalah museum yang mengoleksi segala hal ihwal dan karya karya sastra dari Raden Ngabehi Ranggawarsito. Kalau itu ada dalam pikiran anda seperti halnya terjadi pada saya, sebelum saya menyaksikan sendiri isi dari museum ini, anda akan ‘kecele’. Karena isi koleksi museum ini adalah ragam aspek kehidupan masyarakat Jawa Tengah dari jaman baheula sampai sekarang. Memang di pendopo atau lobi museum terpajang patung setengah badan dari Raden Ngabehi Ronggowarsito(15 Maret 1802 – 24 Desember 1873), seorang ahli susastra pada jaman kerajaan Mataram era Sinuhun Paku Buwono V bertahta. Di kanan kiri patung Ranggawarsito terpampang serat Katiladha hasil karya sastra Ranggawarsito. Sebelah kiri dalam tulisan dan bahasa Jawa Kuno dan di sebelah kanannya dalam bahasa Jawa dengan huruf latin. Salah satu penggalan serat Katiladha yang terkenal adalah berbunyi kira kira seperti ini: hidup di dalam jaman edan, memang repot. Akan mengikuti, tidak sampai hati. Tetapi kalau tidak mengikuti, tidak akan mendapat apapun. Namun bagaimanapun, manusia akan lebih bahagia kalau orang itu senantiasa ingat dan waspada. Tentang Ranggawarsito ‘hanya itu’ lainnya tidak ada.
Namun bagaimanapun museum ini sangat unik dan menarik. Saya yang biasanya ingin cepat cepat berlalu dari suatu momen apalagi kalau tidak menarik hati, tapi di tempat ini, saya bisa lebih dua jam tetap berada dalam museum ini sambil menikmati berbagai koleksi koleksinya. Apalagi para pemandu yang tersedia cukup informatif menjelaskan berbagai kolesi yang tergelar di museum ini. Persepsi akan museum ini terbentuk dari bagaimana caranya menyampaikan informasi oleh para pemandu ini.
Masuk ruangan pertama, kita akan disambut oleh gunungan blumbangan dalam ukuran besar yang biasa tampil sebagai pembuka dan penutup dalam pagelaran pewayangan. Gunungan bagi orang jawa adalah penggambaran kehidupan manusia bentuk gunung sebagai yang tenang, sejuk, dapat menerawang ke bawah dan beroksigen tipis. Pegunungan adalah tempatnya hutan belukar namun di sisi lain juga sebagai tempat yang subur untuk menghasilkan pangan. Tempatnya yang tenang, sejuk dan beroksigen tipis adalah tempat yang cocok untuk bersemedi atau dalam rangga kontemplasi/introduksi diri. Karena oksigen yang tipis menjadikan kita untuk sedikit bicara. Tempat yang tinggi yang dapat melihat ke bawah adalah memiliki filosofi bahwa hidup akan indah kalau sering menengok ke bawah, jangan hanya melihat ke atas melulu. Lebih simpel lagi filosofi dari gunungan ini adalah kontradiksi dalam berbagai kehidupan, ada kiri ada kanan, ada atas ada bawah, ada depan ada belakang. Atas berarti kejayaan yang dapat dicapai melalui proses spiritualis terhadap Allah ta’ala, kanan menggambarkan kejujuran, depan menggambarkan ketulusan/ihklas. Gunungan diciptakan pertama kali oleh Raden Patah pada abad XVI. Setelah mengamati gunungan blumbangan, kita akan dibawa kepada koleksi jenis bebatuan bahkan fosil fosil yang di dapat di sekitar Jawa Tengah, termasuk fosil dari situs Sangiran yang sudah terkenal itu. Fosil dan bebatuan ini menunjukkan kepada kita bahwa Jawa Tengah sudah memiliki kebudayaan tinggi dari jaman dahulu kala dan kaya akan sumberdaya alam.
Berikutnya adalah koleksi benda benda peralatan rumah tangga dan kehidupan. Saya tertarik dengan duplikat tandu yang digunakan Jendral Soedirman ketika bergerilya melawan Belanda. Tandunya sangat sederhana, hanya dari kursi kayu beralaskan anyaman rotan. Ruang berikutnya adalah ruang pamer koleksi mata uang kuno dan mata uang  sekarang. Saya baru tahu bahwa ada koin uang yang bentuknya tidak bulat tetapi tidak beraturan. Uang koin logam itu adalah uang dari kerajaan Sumenep pada tahun 1600-an.
Secara keseluruhan, saya menyukai museum ini, apalagi seandainya tata cahayanya diperbaiki, tidak terlalu redup bahkan tidak ada penerangan lampu sama sekali seperti yang terjadi di ruang pamer keramik/gerabah. Saya suka karena saya bisa mempelajari dengan cepat tentang salah satu sudut kehidupan masyarakat Jawa Tengah. Bagus.
 
Raden Ngabehi Ranggawarsito
Pendopo Museum Ranggawarsito

Gunungan yang Pertama Kali
Diciptakan oleh Raden Fatah
abad XVI
Tandu Jendral Soedirman
Pada Waktu Bergerilya

Nini Towok
Permainan Magis
Krn Bisa Diajak Komunikasi Lisan

Koin Sumenep th 1600-an
yang Tidak Bulat

Jumat, 27 Mei 2011

Mengunjungi Kraton Surakarta di Solo

Informasi Datang Dari Pemandu Wisata
Walaupun hanya sebentar dapat mengunjungi Kraton Surakarta dan khususnya hanya datang ke museumnya saja, namun saya sedikit nambah pengetahuan tentang Kraton Surakarta ini. Tentu informasi awal lebih banyak datang dari pemandu wisata kami yaitu KRAT Budoyodiningrat (Sapardo Bei) yang telah 32 tahu sebagai abdi dalem dan bergaji Rp 100 ribu per bulannya. Kemudian nyuplik sana sini dari berbagai sumber. Ada pepatah Inggris yang dalam bahasa Indonesianya kira-kira seperti ini:’sebuah kota akan menarik apabila anda mendapatkan pemandu yang benar’.

Pengertian ‘Kraton’
Sebelumnya perlu dijelaskan mengenai pengertian Karaton. Menurut KRHT Wirodiningrat (Kantor Sasono Wilopo), ada tujuh pengertian (saptawedha) yang tercakup dalam istilah Karaton. Pertama, Karaton (Karaton) berarti kerajaan. Kedua, Karaton berarti kekuasaan raja yang mengandung dua aspek: kenegaraan (Staatsrechtelijk) dan magischreligieus. Ketiga, Karaton berarti penjelmaan “Wahyu nurbuwat” dan oleh karena itu menjadi pepunden dalam Kajawen. Keempat, Karaton berarti istana, kedaton “Dhatulaya” (rumah). Kelima, bentuk bangunan Karaton yang unik dan khas mengandung makna simbolik yang tinggi, yang menggambarkan perjalanan jiwa ke arah kesempurnaan. Keenam, Karaton sebagai Cultuur historische instelling (lembaga sejarah kebudayaan) menjadi sumber dan pemancar kebudayaan. Ketujuh, Karaton sebagai Badan (juridische instellingen), artinya Karaton mempunyai barang-barang hak milik atau wilayah kekuasaan (bezittingen) sebagai sebuah dinasti.

Tentang Asal Usul Kasunanan Surakarta
Kasunanan Surakarta memiliki sejarah yang diawali pada masa kerajaan Hindu-Budha yaitu kerajaan Majapahit kemudian beralih menjadi kerajaan Islam yaitu Mataram atau lebih detilnya adalah: MajapahitàDemakàPajangàPaku Buwono I (PB I) dst.
Berbeda dengan kerajaan-kerajaan Islam lainnya di Indonesia yang bersifat maritim, kerajaan Mataram bersifat agraris. Kerajaan yang beribu kota di pedalaman Jawa ini banyak mendapat pengaruh kebudayaan Jawa Hindu baik pada lingkungan keluarga raja maupun pada golomngan rakyat jelata. Pemerintahan kerajaan ini ditandai dengan perebutan tahta dan perselisihan antaranggota keluarga yang sering dicampuri oleh Belanda. Kebijaksanaan politik pendahulunya sering tidak diteruskan oleh pengganti-penggantinya. Walaupun demikian, kerajaan Mataram merupakan pengembang kebudayaan Jawa yang berpusat di lingkungan keraton Mataram. Kebudayaan tersebut merupakan perpaduan antara kebudayaan Indonesia lama, Hindu-Budha, dan Islam. Banyak versi mengenai masa awal berdirinya kerajaan Mataram berdasarkan mitos dan legenda. Pada umumnya versi-versi tersebut mengaitkannya dengan kerajaan-kerajaan terdahulu, seperti Demak dan Pajang. Menurut salah satu versi, setelah Demak mengalami kemunduran, ibukotanya dipindahkan ke Pajang dan mulailah pemerintahan Pajang sebagai kerajaan. Kerajaan ini terus mengadakan ekspansi ke Jawa Timur dan juga terlibat konflik keluarga dengan Arya Penangsang dari Kadipaten Jipang Panolan. Setelah berhasil menaklukkan Aryo Penangsang, Sultan Hadiwijaya (1550-1582), raja Pajang memberikan hadiah kepada 2 orang yang dianggap berjasa dalam penaklukan itu, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi. Ki Ageng Pemanahan memperoleh tanah di Hutan Mentaok dan Ki Penjawi memperoleh tanah di Pati.
Pemanahan berhasil membangun hutan Mentaok itu menjadi desa yang makmur, bahkan lama-kelamaan menjadi kerajaan kecil yang siap bersaing dengan Pajang sebagai atasannya. Setelah Pemanahan meninggal pada tahun 1575 ia digantikan putranya, Danang Sutawijaya, yang juga sering disebut Pangeran Ngabehi Loring Pasar. Sutawijaya kemudian berhasil memberontak pada Pajang. Setelah Sultan Hadiwijaya wafat (1582) Sutawijaya mengangkat diri sebagai raja Mataram dengan gelar Panembahan Senapati. Pajang kemudian dijadikan salah satu wilayah bagian daari Mataram yang beribukota di Kotagede. Senapati bertahta sampai wafatnya pada tahun 1601. Selama pemerintahannya boleh dikatakan terus-menerus berperang menundukkan bupati-bupati daerah. Kasultanan Demak menyerah, Panaraga, Pasuruan, Kediri, Surabaya, berturut-turut direbut. Cirebon pun berada di bawah pengaruhnya. Panembahan Senapati dalam babad dipuji sebagai pembangun Mataram.
Senapati digantikan oleh putranya, Mas Jolang, yang bertahta tahun 1601-1613. Maas Jolang lebih dikenal dengan sebutan Panembahan Seda Krapyak. Pada masa pemerintahannya, dibangun taman Danalaya di sebelah barat kraton. Panembahan Seda Krapyak hanya memerintah selama 12 tahun Ia meninggal ketika sedang berburu di Hutan Krapyak.
Selanjutnya bertahtalah Mas Rangsang, yang bergelar Sultan Agung Hanyakrakusuma. Di bawah pemerintahannya (tahun 1613-1645) Mataram mengalami masa kejayaan. Ibukota kerajaan Kotagede dipindahkan ke Kraton Plered. Sultan Agung merupakan raja yang menyadari pentingnya kesatuan di seluruh tanah Jawa. Daerah pesisir seperti Surabaya dan Madura ditaklukkan supaya kelak tidak membahayakan kedudukan Mataram. Ia pun merupakan penguasa lokal pertama yang secara besar-besaran dan teratur mengadakan peperangan dengan Belanda yang hadir lewat kongsi dagang VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). Kekuasaan Mataram pada waktu itu meliputi hampir seluruh Jawa, dari Pasuruan sampai Cirebon. Sementara itu VOC telah menguasai beberapa wilayah seperti di Batavia dan di Indonesia Bagian Timur.
Di samping dalam bidang politik dan militer, Sultan Agung juga mencurahkan perhatiannya pada bidang ekonomi dan kebudayaan. Upayanya antara lain memindahkan penduduk Jawa Tengah ke Kerawang, Jawa Barat, di mana terdapat sawah dan ladang yang luas serta subur. Sultan Agung juga berusaha menyesuaikan unsur-unsur kebudayaan Indonesia asli dengan Hindu dan Islam. Misalnya Garebeg disesuaikan dengan hari raya Idul Fitri dan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sejak itu dikenal Garebeg Puasa dan Garebeg Mulud. Pembuatan tahun Saka dan kitab filsafat Sastra Gendhing merupakan karya Sultan Agung yang lainnya.
Sultan Agung meninggal pada tahun 1645 dengan meninggalkan Mataram dalam keadaan yang kokoh, aman, dan makmur. Ia diganti oleh putranya yang bergelar Amangkurat I. Amangkurat I tidak mewarisi sifat-sifat ayahnya. Pemerintahannya yang berlangsung tahun 1645-1676 diwarnai dengasn banyak pembunuhan/kekejaman. Pada masa pemerintahannya ibukota kerajaan Mataram dipindahkan ke Kerta.
Pada tahun 1674 pecahlah Perang Trunajaya yang didukung para ulama dan bangsawan, bahkan termasuk putra mahkota sendiri. Ibukota Kerta jatuh dan Amangkurat I (bersama putra mahkota yang akhirnya berbalik memihak ayahnya) melarikan diri untuk mencari bantuan VOC. Akan tetapi sampai di Tegalarum, (dekat Tegal, Jawa Tengah) Amangkurat I jatuh sakit dan akhirnya wafat.
Ia digantikan oleh putra mahkota yang bergelar Amangkurat II atau dikenal juga dengan sebutan Sunan Amral. Sunan Amangkurat II bertahta pada tahun 1677-1703. Ia sangat tunduk kepada VOC demi mempertahankan tahtanya. Pada akhirnya Trunajaya berhasil dibunuh oleh Amangkurat II dengan bantuan VOC, dan sebagai konpensasinya VOC menghendaki perjanjian yang berisi: Mataram harus menggadaikan pelabuhan Semarang dan Mataram harus mengganti kerugian akibat perang.
Oleh karena Kraton Kerta telah rusak, ia memindahkan kratonnya ke Kartasura (1681). Kraton dilindungi oleh benteng tentara VOC. Dalam masa ini Amangkurat II berhasil menyelesaikan persoalan Pangeran Puger (adik Amangkurat II yang kelak dinobatkan menjadi Paku Buwana I oleh para pengikutnya). Namun karena tuntutan VOC kepadanya untuk membayar ganti rugi biaya dalam perang Trunajaya, Mataram lantas mengalami kesulitan keuangan. Dalam kesulitan itu ia berusaha ingkar kepada VOC dengan cara mendukung Surapati yang menjadi musuh dan buron VOC.
Hubungan Amangkurat II dengan VOC menjadi tegang dan semakin memuncak setelah Amangkurat II mangkat (1703) dan digantikan oleh putranya, Sunan Mas (Amangkurat III). Ia juga menentang VOC. Pihak VOC yang mengetahui rasa permusuhan yang ditunjukkan raja baru tersebut, maka VOC tidak setuju dengan penobatannya. Pihak VOC lantas mengakui Pangeran Puger sebagai raja Mataram dengan gelar Paku Buwana I. Hal ini menyebabkan terjadinya perang saudara atau dikenal dengan sebutan Perang Perebutan Mahkota I (1704-1708). Akhirnya Amangkurat III menyerah dan ia dibuang ke Sailan oleh VOC. Namun Paku Buwana I harus membayar ongkos perang dengan menyerahkan Priangan, Cirebon, dan Madura bagian timur kepada VOC.
Paku Buwana I meninggal tahun 1719 dan digantikan oleh Amangkurat IV (1719-1727) atau dikenal dengan sebutan Sunan Prabu , dalam pemerintahannya dipenuhi dengan pemberontakan para bangsawan yang menentangnya, dan seperti biasa VOC turut andil pada konflik ini, sehinggga konflik membesar dan terjadilah Perang Perebutan Mahkota II (1719-1723). VOC berpihak pada Sunan Prabu sehingga para pemberontak berhasil ditaklukkan dan dibuang VOC ke Sri Langka dan Afrika Selatan.
Sunan Prabu meninggal tahun 1727 dan diganti oleh Paku Buwana II (1727-1749). Pada masa pemerintahannya terjadi pemberontakan China terhadap VOC. Paku Buwana II memihak China dan turut membantu memnghancurkan benteng VOC di Kartasura. VOC yang mendapat bantuan Panembahan Cakraningrat dari Madura berhasil menaklukan pemberontak China. Hal ini membuat Paku Buwana II merasa ketakutan dan berganti berpihak kepada VOC. Hal ini menyebabkan timbulnya pemberontakan Raden Mas Garendi yang bersama pemberontak China menggempur kraton, hingga Paku Buwana II melarikan diri ke Panaraga. Dengan bantuan VOC kraton dapat direbut kembali (1743) tetapi kraton telah porak poranda yang memaksanya untuk memindahkan kraton ke Surakarta (1744).
Hubungan manis Paku Buwana II dengan VOC menyebabkan rasa tidak suka golongan bangsawan. Dengan dipimpin Raden Mas Said terjadilah pemberontakan terhadap raja. Paku Buwana II menugaskan adiknya, Pangeran Mangkubumi, untuk mengenyahkan kaum pemberontak dengan janji akan memberikan hadiah tanah di Sukowati (Sragen sekarang). Usaha Mangkubumi berhasil. Tetapi Paku Buwana II mengingkari janjinya, sehingga Mangkubumi berdamai dengan Raden Mas Said dan melakukan pemberontakan bersama-sama. Mulailah terjadi Perang Perebutan Mahkota III (1747-1755).
Paku Buwana II dan VOC tak mampu menghadapi 2 bangsawan yang didukung rakyat tersebut, bahkan akhirnya Paku Buwana II jatuh sakit dan wafat (1749). Namun menurut pengakuan Hogendorf, Wakil VOC Semarang saat sakratul maut Paku Buwana II menyerahkan tahtanya kepada VOC. Sejak saat itulah VOC merasa berdaulat atas Mataram. Atas inisiatif VOC, putra mahkota dinobatkan menjadi Paku Buwana III (1749).
Sunan Pakoeboewono III (1749-1788), Mataram yang daerahnya sudah semakin sempit akibat kelihaian Belanda terpecah menjadi 2 (dua), yaitu satunya Surakarta tetap diperintah Sunan Pakoeboewono III, sedangkan Yogyakarta diberikan kepada pamannya sendiri yang bergelar Sultan Hamengkoeboewono I (1755-1792).
Putra dari pangeran Mangkunagara (salah satu putra Mangkurat IV) yaitu raden mas Said atau dikenal dengan julukan pangeran Sambernyawa, walau sangat tangguh melawan Kompeni tapi juga rasa hormat terhadap Pakoeboewono III, akhirnya bersedia bersepakat yang mana raden mas Said diberi kekuasaan serupa raja, tapi dengan beberapa pengecualian. Versi hampir serupa tentang Raden Mas Said adalah sbb:
Pengangkatan Paku Buwana III tidak menyurutkan pemberontakan, bahkan wilayah yang dikuasai Mangkubumi telah mencapai Yogya, Bagelen, dan Pekalongan. Namun justru saat itu terjadi perpecahan anatara Mangkubumi dan Raden Mas Said. Hal ini menyebabkan VOC berada di atas angin. VOC lalu mengutus seorang Arab dari Batavia (utusan itu diakukan VOC dari Tanah Suci) untuk mengajak Mangkubumi berdamai.
Ajakan itu diterima Mangkubumi dan terjadilah apa yang sering disebut sebagai Palihan Nagari atau Perjanjian Giyanti (1755). Isi perjanjian tersebut adalah: Mataram dibagi menjadi dua. Bagian barat dibagikan kepada Pangeran Mangkubumi yang diijinkan memakai gelar Hamengku Buwana I dan mendirikan kraton di Yogyakarta. Sedangkan bagian timur diberikan kepada Paku Buwana III.
Mulai saat itulah Mataram dibagi dua, yaitu Kasultanan Yogyakarta dengan raja Sri Sultan Hamengku Buwana I dan Kasunanan Surakarta dengan raja Sri Susuhunan Paku Buwana III.
Raden Mas Said Ia bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aria Mangkunagoro I dan berkedudukan di pura Mangkunegaran - Surakarta (1757-1795). Ini, merupakan hasil dari perjanjian Gianti. Sedangkan di Yogyakarta pada tahun 1812 beberapa putra Sultan, selain ada yang menggantikan dirinya menjadi Sultan Hamengkoeboewono II (1792-1812), maka salah satu putranya di tahun 1812 yang barangkali untuk sepadan dengan Surakarta diangkat dan dibentuk pura sejenis Mangkunegaran dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aria (KGPAA) Paku Alam I (1812-1828).
Kasunanan Surakarta umumnya tidak dianggap sebagai pengganti Kesultanan Mataram, melainkan sebuah kerajaan tersendiri, walaupun rajanya masih keturunan raja Mataram. Setiap raja Kasunanan Surakarta yang bergelar Sunan (demikian pula raja Kasultanan Yogyakarta yang bergelar Sultan) selalu menanda-tangani kontrak politik dengan VOC atau Pemerintah Hindia Belanda.
Beberapa Sunan Paku Buwono
PB II pada tahun 1745 membangun Kraton Surakarta ini.

PB VI diangkat menjadi pahlawan nasional karena ikut mendukung pemberontakan Pangeran Diponegoro terhadap Kasultanan Yogyakarta dan Hindia Belanda. Ini tidak biasa. Para Raja Kasunanan Surakarta selalu bekerja sama dengan pihak pemerintah Hindia Belanda. PB VI yang dikenal juga dengan nama Sinuhun Bangun Tapa. Disebut demikian karena PB VI sering melakukan tapa.  PB VI meninggal di Ambon pada umur 42 tahun.

PB X dengan nama asli Raden Mas Malikul Kusno adalah Raja Kasunanan Surakarta yang dapat mengangkat kemegahan tradisi dan suasana politik yang stabil juga dikenal pluralis dan berwawasan. Beliau banyak melakukan perjalanan ke wilayah arab sampai Vatikan. Oleh oleh dari Vatikan berupa berbagai patung, sampai kini masih utuh terlihat di sekeliling pendopo Kasunanan Surakarta. PB X yang memperbolehkan 5 lima agama berkembang di dalam Kraton Surakarta, yaitu agama Islam, Hindu, Budha, Katolik dan Protestan. Namun untuk menjadi raja Kasunanan Surakarta haruslah beragama Islam. PB X yang membangun pesantren Mambal Ul Ulum dimana alumninya yang terkenal diantaranya adalah Amien Rais dan Munawir Sazali (mantan Mentri Agama) dan ikut mendukung organisasi Syarekat Islam cabang Solo.
Yang lebih fenomenal dari PB X adalah beliau yang melakukan renovasi terhadap kraton yang sudah lapuk tertelan jaman. Mangkanya, banyak simbol simbol PB X berupa ukiran dan lainnya yang terpampang di berbagai sudut kraton. PB X jugalah yang melakukan renovasi kraton pada tahun 1911.

PB XII walaupun memiliki beberapa garwo ampil namun PB XII tidak mengangkat putra mahkota, mungkin dengan alasan karena Kraton sudah tidak memiliki kekuasaan lagi. Sehingga dari tahun 2004 sampai sekarang gelar PB XIII diperebutkan oleh Pangeran Hangabehi dan Pangeran Tejowulan.

Kondisi Kraton Surakarta
Kraton yang luas keseluruhannya mencapai 54 ha termasuk di dalamnya Pasar Klewer dan Mesjid Agung namun yang berada dalam tembok benteng hanya 25 hektar.
Pendopo kraton yang kini berdiri adalah ‘aspal’. Pendopo aslinya telah terbakar  pada tanggal 31 Januari 1985.

Lalu Bagaimana Dengan Kraton ini?
Kraton yang dibangun pda masa PB II tahun 1745 dan direnovasi oleh PB X pada tahun 1911, sebenarnya masih menyiratkan kemewahan budaya dibandingkan dengan kondisi di luar kraton. Tentu ada unsur magis bagi yang mempercayainya. Namun sayang, kraton yang kini lebih berfungsi sebagai pusat kebudayaan ini terlihat tidak terawat. Apabila kita berkeliling museum yang berada di lingkungan kraton ini. Sangat terasa udara yang lembab, temaram, berdebu dan lemari lemari serta tembok dindingnya yang kusam.
Apabila kita memasuki museum kraton ini yang terbersit adalah hanya artefak, benda sejarah, barang barang kuno, senjata yang ditempel di dinding saja, tanpa bisa bicara karena sama sekali tidak informasi tentangnya. Padahal informasi itulah yang ‘bernilai’. Mungkin kalau hanya ditempel di dinding begitu saja. Mungkin sama saja dengan barang lainnya.
Kiranya kraton ini perlu direstorasi disesuaikan dengan perkembangan jaman denga tanpa meninggalkan ciri khas budaya Jawanya. Setuju?
Gerbang Masuk Kraton Surakarta
Pintu Masuk Kraton Surakarta dari arah Depan
Pohon Sawo Kecik di Depan Pendopo
Kasunanan Surakarta yang Dikeramatkan
Pendopo Kraton
'Aspal', yang Aslinya Terbakar 31 Januari 1985
Banyak Lambang PB X Terpampang Dimana mana
Kereta Kencono
Salah Satu Koleksi Museum yang Kurang Terawat
Para Abdi Dalam Sedang Bekerja
Mereka Bekerja Penuh Pengabdian
Walaupun Gajinya Hanya Rp 25 ribu/bulan






Sabtu, 21 Mei 2011

Bukit Malimbu, Tempat Tepat Untuk Menikmati Sunset di Lombok

Diantara kita banyak yang jadi penikmat dari fenomena sunset atau pemandangan ketika matahari tenggelam. Bahkan beberapa teman saya yang sekaligus hobi fotografi, banyak melakukan perburuan sunset ke peloksok Nusantara ini. Ketika aku tanya kenapa menyukai sunset dibandingkan sunrise atau matahari muncul? Umumnya teman teman saya yang penikmat sunset ini mengatakan: sunset itu lebih romantik. Ibaratnya kita mengantar kekasih untuk pergi ke lain kota. Timbul perasaan sayang, akan merindu dan pikiran untuk besok bisa jumpa lagi. Tentu ditambah dengan berbagai pernak pernik episode romantika. Tetapi perasaan itu tidak ada ketika menyaksikan matahari muncul atau sunrise. Malah yang ada adalah kita dikejar oleh waktu dan udara yang bergerak semakin panas. Seolah kita harus segera berlari. Padahal kalau menurut saya pribadi, antara sunset dan sunrise sama sama memiliki asa yang sama. Betul, kalau sunset itu lebih ke-romantisme-nya. Sedangkan sunrise mnurutku lebih mencerminkan kepada jiwa semangat untuk mengejar mimpi-mimpi di hari ini dan yang akan dilalui.
Beberapa tempat telah saya kunjungi, namun ada tempat yang tepat di Lombok untuk menyaksikan matahari tenggelam atau sunset. Disini kita akan menyaksikan matahari bulat secara perlahan kembali ke peraduannya untuk beristirahat setelah seharian memberikan energi kehidupan kepada semua mahluk yang ada di alam ini. Tempat itu adalah di bukit Malimbu. Bukit Malimbu berada sekitar 10 km dari Senggigi yang sudah terlebih dahulu dikenal. Bukit Malimbu ini berada di jalur pelintasan antara Senggigi dan Kota Lombok Utara atau ke desa Bangsal Kec Pemenang Kab Lombok Utara (KLU). Desa Bangsal adalah pelabuhan kecil untuk menyebrang ke Gili Trawangan, Air dan Gili Meno.
Jalan mulus yang kanan kirinya masih suasana pedesaan alami dimana berderet deret pohon kelapa serta perumahan sederhana penduduk setempat. Suasana hijau dari banyaknya pepohonan di sebelah kanan dan warna birunya laut di bawah jurang sana yang berada di kiri jalan yang kami lalui. Suasananya begitu damai dan asri walaupun di beberapa tempat ada gunungan sampah dari hasil aktifitas penduduk setempat. Wisata disini masih natural tidak sehiruk pikuk seperti di Bali. Banyak turis asing yang betah dengan suasana seperti ini terutama bagi turis yang sudah lanjut usia atau para pengantin yang sedang berhoney moon. Saya sendiri lebih menyukai 'ketrentraman' seperti itu.
Bukit Malimbu dimana kami akan menyaksikan sunset adalah ujung tikungan jalan negara yang berada di tengah tengahnya antara Senggigi sampai ke Pemenang di Lombok Utara yang berada di puncak bukitnya itu. Sangat pas untuk menyaksikan kejadian sunset. Kalau kami memandang ke laut, kami kira kira berada 100 meter di atas permukaan laut (dpl) . benar benar berada di atas jurang. Sedangkan di belakang kami adalah perbukitan yang hijau yang sangat asri. Indaaaah sekali.
Ketika kami sudah berada di bukit Malimbu terlihat di depan kami di ujung sana terlihat samar puncak Gunung agung di Bali. Sedang melihat ke kanan sedikit terlihat ada tiga pulau kecil (gili) yang berderet rapi. Itulah Gili Trawangan, Air dan Gili Meno. Dimana ketiga gili itu sangat termasyur ke seluruh penjuru dunia. Dan menjadi ikon pariwisata Lombok. Keunikan dari ketiga gili itu adalah di gili itu tidak ada kendaraan bermotor. Yang ada hanya Cidomo atau dokar yang ditarik seekor kuda. Jadi benar-benar lain kan? Sekeliling depan kami adalah laut biru menghampar luas dan riak riak kecil berwarna putih terlihat berkejaran untuk segera mencium bibir pantai. Serpihan cahaya kuning kemerahan memantul dari laut karena matahari sebentar lagi akan ke peraduan. Kami sudah siap siap untuk menyaksikannya.
Begitu matahari sejengkal dari batas laut, warna dan suasana segera berubah. Kami diam tak berkata kata, terpesona akan keindahan  dan nuansa magis yang ditimbulkannya. Dan hati kami merasakan ada perbedaan dari biasanya. Matahari bulat kemerahan perlahan tenggelam dan kami seolah melepas kekasih tercinta. Begitulah kira kira ketika sunset terjadi...
Pemandangan Sekitar Jalan Menuju Bukit Malimbu
Di Sebelah Kiri, Terhampar Laut Luas
Latar Belakang Bukit Malimbu yang Hijau
Mengisi Waktu Menunggu Sunset Tiba
Menunggu Sunset Di Bukit Malimbu Lombok
Ketika Sunset Mulai Tiba
Sunset di Bukit Malimbu, Lombok
Indahnya Sunset di Bukit Malimbu, Lombok
Ohh Sunset....


Kamis, 19 Mei 2011

Cobain deh, Sate Ikan Khas Lombok Utara milik Bu Kertasasi. hmm pasti yummi...

Kalau ada kesempatan jalan-jalan ke Kabupaten Lombok Utara (KLU), jangan lupa untuk mencicipi sate ikan khas lombok. Di Kabupaten baru ini ada beberapa penjual sate ikan tapi yang cukup dikenal adalah sate ikan Bu Kertasasi yang mangkal di depan warung nasi di Jln Raya Tanjung, KLU.
Bu Kertasasi hanya menempati luasan seupil untuk berjualan sate ikannya itu. Dia dibantu oleh dua orang kerabatnya. Terutama untuk proses membumbui dan menusuk daging ikan dengan sujennya (sujen = tusuk sate).
Bu Kertasasi yang masih keturunan menak Lombok dengan mencantumkan Datsu di depan namanya mulai berjualan dari jam 9 pagi sampai jam 5 sore. (Datsu adalah gelar yang berada ‘di atas’ Raden). Setiap hari setidaknya menghabiskan sebanyak 20 ikan berbagai jenis. Bisa tongkol, tenggiri, barakuda, dan lainnya. Dari satu kg ikan dapat dibuat menjadi 25 – 30 tusuk sate ikan. Ikan ikan segar  itu hanya diambil dagingnya saja tanpa diolah apapun. Baru nanti sebelum dibakar, daging yang sudah ditusuk sujen dibumbui dengan bumbu santan kental yang dicampur dengan lengkuas, jahe, cabai dan kunyit serta jeruk lemon.
Kami mersakan kenikmatan dan sedap serta timbul rasa segar jahe dari sate ikan khas Lombok ini. Berbeda dengan sate bandeng yang dari di Serang Banten, dimana untuk sate bandeng, rasa original ikannya sudah hilang, yang terasa malah rasa tepung dengan bumbunya saja. Sedangkan sate ikan Lombok ini jauh berbeda, dimana rasa ikannya masih menonjol terus ditambah rasa segar dari lemon dan jahe serta rasa kuat dari lengkuas. menyantap sate ikan lombok ini dijamin badan jadi segar deh.
Rasanya sungguh sensasional sate ikan Bu Kertasasi yang telah berjualan lebih dari 20 tahun ini. Harga seporsi sate ikan yang berisi 15 tusuk, hanya Rp 15.000 saja. Sungguh boleh mencobanya dan pasti tidak akan kecewa....
Bu Kertasasi sedang Beraksi
Sedap....

Mudahnya Transportasi Menyebrang ke Gili Trawangan, Air dan Meno di Lombok

Laut sekitar Lombok memang sangat menarik untuk dijadikan destinasi wisata, selain masih berkesan alami dan relatif baik terumbu karangnya juga memiliki tiga gili (pulau kecil) yaitu: Gili Meno, Air dan Trawangan yang sudah terkenal ke manca negara.
Wisata bahari telah jadi andalan bagi perekonomian setempat. Yang menarik adalah fenomena kunjungan wisatawan ke Gili Trawangan, Air dan Meno semakin tahun semakin meningkat, padahal tiga Gili itu daya dukung untuk mendapat kunjungan wisata sangat terbatas. Kalau kebablasan malah dapat membuat buruk kondisi lingkungannya. Nah, yang ingin saya sampaikan adalah kenapa kunjungan wisatawan ke Gili Trawangan, Air dan Meno meningkat terus dari sudut pandang lainnya.
Menurut data dari Dinas Budpar Kabupaten Lobok Utara (KLU), pada tahun 2009 kunjungan wisatawan ke Gili Trawangan sebanyak 60.000 orang dan masing masing 20.000 orang yang bekunjung ke Gili Air dan Melo. Data ini menunjukkan kenaikan jumlah wisatawan dari tahun tahun sebelumnya. Salah satu pendukung kenaikan kunjungan wisatawa tersebut adalah semakin mudahnya transportasi dari Senggigi ke Gili-Gili tersebut.
Rahman (43th) warga Senggigi adalah salah seorang yang menyewakan perahu cadiknya untuk mengantar wisatawan keliling laut sekitar Senggigi atau berlayar ke Gili Trawangan, Air dan Gili Meno. Rahman sudah lebih 20 tahun berusaha dalam menyewakan perahu wisata. ‘Dulu, hampir setiap hari kami mendapat order penyewaan, namun saat ini agak susah, paling dalam seminggu kami dapat 2 – 3 orderan’ jelas Rahman. Kenapa dahulu mudah mendapatkan order? Karena jumlah perahu sewa tidak sebanyak sekarang. Dahulu hanya beberapa saja dan itupun terkonsentrasi di dekat dermaga penyebrangan di daerah Bangsal Pemenang yang jaraknya 25 km dari Senggigi. Sekarang perahu sewa tersebut telah tersedia di sepanjang 25 km dari pantai senggigi sampai Pantai Pemenang, jumlahnya ratusan. ‘Perahu –perahu kami sekarang lebih banyak menganggurnya’ jelas Rahman.
Sewa perahu cadik ini untuk pulang pergi ke Gili Trawangan maksimum hanya Rp 700.000,- untuk perahu kecil berkapasitas 7 orang. Dengan Rp 100.000 per orang, perahu akan menunggu di tempat wisata di Gili Trawangan dari pagi sampai petang. Dan dengan harga itu sudah lengkap dipinjami: jaket pelampung dan alat snorkel. Wisata di Gili lebih menarik kalau beraktifitas snorkel atau menyelam. Biayanya murah kan?
Dengan biaya yang murah dan fasilitas tersedia serta jumlah perahu yang ratusan itu, bagaimana tidak menarik minat para wisatawan untuk berkunjung ke Gili Trawangan, Air dan Meno, toh? Masalahnya  adalah adanya dampak negatif dari peningkatan kunjungan wisatawan terhadap lingkungan dan ekosistem ke tiga gili tersebut.
Sampai saat ini belum ada aturan jelas kunjungan ke Gili gili tersebut. Padahal di negara lain yang wisatanya mengandalkan pulau kecil, menerapkan aturan sangat ketat. ‘Garbage in garbage Out’ yang artinya apa yang masuk ke pulau kecil itu harus dibawa keluar lagi tidak boleh ada yang ditinggalkan –sangat kuat diterapkan-. Kita mau kan kalau gili-gili ini masih terus dapat dinikmati oleh anak cucu kita?
Dibalik Pantai Senggigi
ada Gili Trawangan, Air dan Meno
Gili Trawangan dilihat dari Bukit Malimbu
Deretan Perahu Sewa di Pantai Senggigi
Rahman dengan Perahu Sewanya


Selasa, 17 Mei 2011

Pak Edi Ridwan (60th) Penjual Buku Bekas di Stasiun Bogor


Saya kira kita sudah tahu bahwa buku itu adalah mata air ilmu pengetahuan dan juga kita sudah mahfum semua bahwa harga buku itu masih katagori mahal untuk sebagian besar masyarakat jika dibandingkan dengan penghasilan mereka. Nah, bagi sebagian orang tua yang anaknya memerlukan buku buku pelajaran atau bagi orang yang hobi baca namun dana tidak cukup untuk beli buku baru, maka jalan lain yang dipilih adalah membeli buku bekas atau baru (tapi bukan asli) ke kios buku bekas yang biasanya di tiap kota selalu dapat ditemukan.
Di Kota Bogor, pedagang buku bekas atau baru tapi bukan asli, anda dapat menemukannya di sekitar stasiun kereta Bogor. Ada sekitar 5 penjual buku-buku tersebut, salah satunya adalah Pak Edi Ridwan seorang lelaki berusia 60 tahun. Pak Edi memulai jualan buku bekas pada tahun 1970, dimana pada waktu itu lagi ramai ramainya penjualan komik dari Yan Mintaredja, Teguh S dll. Dari dulu sampai sekarang Pak Edi berjualan buku bekas masih menempati tempat yang sama, namun walau sudah 30 tahun lebih berjualan, kondisi dagangannya, baik soal jumlah buku yang dijual maupun pendapatan sehari-harinya, ya begitu begitu saja, tidak mengalami perubahan yang berarti.
Pak Edi berjualan mulai pukul 9 pagi sampai jam 5 sore, tutup kalau hari lebaran saja dengan menempati lapak selebar 1,5 meter yang disewa dari pihak PT Kereta Api sebagai yang memiliki tanahnya sebesar Rp150.000/bulan. Pada hari libur atau Sabtu dan Minggu serta pada masa memasuki tahun ajaran baru, pembeli biasanya lebih ramai dari hari biasa. Pada hari libur, Pak Edi dapat menjual sebanyak 20 buku dari berbagai judul sedangkan pada hari biasa hanya bisa menjual buku/paling banter sebanyak 10 buah.
Pak Edi lebih senang menjual buku bekas karena keuntungannya agak lumayan bisa mencapai 30% dari harga buku, sedangkan keuntungan yang diperoleh dari menjual buku ‘baru’ (tapi bukan asli) atau buku pelajaran paling tinggi hanya 10% saja. Misal buku ensiklopedia ‘Indonesia Heritage’ yang terdiri dari 5 buku seharga Rp 250.000,-,Pak Edi bisa dapat untung Rp 50.000,- sedangkan kalau menjual buku ‘baru’ seperti buku dengan judul ‘Manusia dan Budayanya di Indonesia, karangan Koentjaraningrat  walau harganya Rp 40.000,- tapi keuntungannya hanya Rp 5.000,- saja. Rata-rata keuntungan yang diperoleh dari berbagai judul dan macam buku itu sekitar Rp 3000 – Rp10.000,- per buahnya.
Buku yang ramai pembelinya untuk katagori buku bekas adalah dari jenis novel dan pelajaran perguruan tinggi dan buku buku umum sedangkan untuk katagori buku ‘baru’ umumnya adalah terdiri dari buku buku pelajaran untuk tingkat SD sampai SMU.
Ketika saya tanya; ‘kapan perasaan senang bisa muncul selama berjualan buku bekas ini?’. ‘ketika buku yang dicari oleh pembeli tersedia di lapak saya’, begitu jawab Pak Edi sederhana.
Tapi jangan lupa lho. Tidak jarang ketika iseng membolak balik buku buku di lapak ini, ehh ketemu buku langka atau buku dengan judul yang dicari cari namun sudah tidak dijual lagi. Jadi sebenarnya seorang Pak Edi Ridwan ini banyak beramal walau dengan caranya sendiri yaitu ikut mencerdaskan masyarakat tanpa harus berkeluh kesah.
 Pak Edi Ridwan (60th) Lelaki Gigih
Berjualan Sudah 40 tahun di Lapak Milik PT KA
Lapak Disewa dari PT KA = Rp 150 rb/bln

Minggu, 15 Mei 2011

Nikmatnya Ber-Harley Davidson

Ada perasaan lain (setara horni kali) ketika dapat ngegas Harley Davidson. Perasaan yang menyenangkan akibat tekanan dari stir yang lebar dan mantap dipegangan juga dari suara jantan yang dikeluarkan knalpot. Sensasi seperti itu yang aku cari setiap menunggang Harley. Bukan yang lain. Memang sah sah saja bagi sebagian penunggang Harley untuk ber ’show off’ yang lebih menonjolkan bahwa ‘bahwa aku nunggang Harley’, juga dengan berpakaian yang penuh pernak pernik Harley walau entah itu comfort apa enggak. Ya itulah seninya dari Harley dan pehobinya sekaligus. Karena Harley adalah seni dan menunggangnyapun adalah sebuah ekspresi jiwa seni.
Saya lebih menikmati dari cara menunggangnya daripada kepada cara berpakaiannya atau kegiatan sampingan lainnya semacam lebih banyak kongkownya daripada nunggang Harleynya. Saya setiap nunggang Harley berpakaian yang biasa saja yan penting dapat memberikan kenyamanan dan keamanan.
Memang dengan kondisi lalu lintas di sekitaran Jabadetabek, Sukabumi dan Bandung sampai Pangandaran (ini jalur favoritku nunggang Harley) yang macet dan semrawut tentu banyak mengurangi kenikmatan berkendara Harley, karena tidak dapat ngegas secara optimal.
Harley-ku adalah tipe Heritage Softail 2002 ber-cc 1350 yang didapat dari teman baik saya dan bukan motor bodong, adalah tipe yang menurutku cukup nyaman dikendarai. Handlingnya cukup mudah, bertenaga dan bodinya tidak sebesar tipe ultra sehingga dapat dengan mudah menembus kemacetan jalur Puncak Bogor-Cianjur dengan berjalan diantara dua jalur kanan kiri atau persis di tengah tengah jalur dengan tidak melanggar aturan berlalu lintas.
Saya dapatkan kenikmatan dengan menunggang Harley tetapi berusaha sopan- tidak menyusahkan pemakai jalan lainnya dengan cara mengikuti aturan-aturan yang berlaku. Nikmatnya double kan?
Di Puncak bersama SPG
Mentaati Aturan Berlalu lintas
Simple aja
Menuju Cirebon

Selasa, 10 Mei 2011

Nikmatnya Makan Siang Sambil Menyusuri Sungai Kapuas di Pontianak

Menemukan restoran “Serasan’ di Banjarsari yang terletak persis di pinggir sungai Kapuas, boleh dikata ‘cukup sulit’. Dari jalur Kota Pontianak menuju Siantan harus melewati jembatan Sungai Kapuas dan Sungai Landak, baru kemudian belok ke arah kanan dan di dekat situ ada jalan kecil namanya Jl Swadiri. Di ujung jalan itulah ditemukan yang namanya Restoran Serasan. Restoran ini kekhasannya adalah menyediakan tempat makan di perahu sambil berjalan menyusuri Sungai Kapuas Pontianak. Dan karena hal itu, kami tuju restoran ini.
Kami pesan makanannya dulu untuk dimasak di dapur restoran yang berada di dermaga. Setelah pesanan siap dan dibawa ke atas perahu, baru kami menikmati santapan sedap sambil menyusuri Sungai Kapuas. Saya mau komentar terhadap makanannya, lingkungan sungai Kapuas yang kami susuri dan sensasi makan siang di perahu.
Menu makanan yang tersedia di restoran ini adalah seafood. Pilihan ini tentu disesuaikan dengan panorama dari sekitar lingkungan restoran yang berupa perairan. Kami memilih kepiting lada hitam, udang galah (udang sungai) goreng, ikan bawal bakar serta sayurannya berupa cah kangkung. Terus terang kalau soal rasa, kami nilai ‘biasa’. Malah bagi yang perutnya sensitif, saya tidak menganjurkan untuk makan menu udang galah. Hal itu kami alami sendiri dan kejadiannya berulang setelah menyantap udang galah walaupun di tempat berbeda di Kalimantan.
Pada kesempatan kali ini, kami menyusuri Sungai Kapuas tidak terlalu jauh, hanya satu jam tiga puluh menit atau sekitar 6 km pulang pergi. Jadi pemandangan yang kami dapatkan hanyalah berupa pemukiman, pasar dll beserta aktifitas masyarakatnya. Hal yang paling utama yang tertangkap mata saya adalah tidak adanya sempadan sungai dimana seharusnya ada jarak dari bibir sungai ke komplek pemukiman atau bangunan lainnya. Malah rumah-rumah dibangun menjorok ke dalam sungai tentunya hal itu dikerjakan dengan pertimbangan kemudahan dalam beraktifitas warganya. Termasuk dalam hal mandi, cuci dan buang hajat. Satu sisi hal tersebut memudahkan aktifitas warganya yang sangat tergantung kepada sungai namun di sisi lain hal tersebut dapat berakibat negatif terhadap lingkungan sungai itu berada. Pemandangan sekeliling sungai menjadi kumuh, sampah membusuk bertumpuk tumpuk di pinggiran sungai, bau tidak sedap, terjadinya pendangkalan sungai yang lebih cepat dan tentu kualitas air itu sendiri menjadi lebih tercemar, apalagi air sungai ini selain dipergunakan untuk mandi juga untuk kebutuhan memasak. Apakah aku bermasalah dengan perut setelah menyantap udang sungai dimana udangnya didapat dari sungai ini? Mungkin juga ya? Hal lainnya yang mengherankan adalah di sepanjang sungai Kapuas yang kami susuri –tidak- ditemukan satu batang pohon-pun, padahal imagenya Kalimantan itu adalah hutan kalaupun hutannya sudah menghilang, mestinya satu dua pohon tertinggal tidak terbabat semuanya.
Lalu, sensasi apa yang didapat dari acara makan di perahu sambil menyusuri Sungai Kapuas? Bagi saya hanya mendapatkan angin semilir saja lainnya tidak ada. Bagaimana dapat nikmat? Sementara kami makan enak tetapi anak anak di pinggir sungai sana bermandi ria di air sungai yang coklat kehitaman dengan aroma kurang sedap atau terlihat seorang bapak bapak sedang membetulkan rumah panggungnya yang sudah rusak berat dan hampir roboh. Sekeliling kami melulu adalah kesederhanaan yang butuh media untuk dapat mengangkat derajat keekonomian mereka. Kami merasa bersalah sudah makan enak sambil menjadi penonton realita kehidupan mereka. Maafkan kami....

Makan Sambil Menyusuri Sungai Kapuas
Semilir Angin dalam Menikmati Makan Siang
Melihat Aktifitas Masyarakat di Sungai Kapuas
Kumuh
Sungai Kapuas Untuk: Mandi, Nyuci dan
untuk Memasak  
Mesjid Kodariah
Peninggalan Kesultanan Pontianak
Pasar di Pinggir Sungai Kapuas

Senin, 02 Mei 2011

Duh, Macetnya Jalan Tol Jagorawi

Karena rumah saya di Kota Bogor dan bekerja di Jakarta jadi saya harus pulang pergi Bogor-Jakarta. Saya bawa kendaraan sendiri atau kadang-kadang naik bus umum. Dahulu sangat sangat nyaman melewati jalan tol Jagorawi untuk sampai di kantor begitu juga sebaliknya. Rata-rata hanya perlu waktu 1,5 jam satu kali jalan. Nah, kini cerita sudah lain.
Sejak diberlakukan gerbang dan kartu tol elektronik serta adanya pekerjaan pelebaran jalan di jalur kanan maupun kiri yang menurut rencana akan menambahkan 1 jalur di jalaur kanan maupun di kiri dari dan ke Cibinong – Cibubur, jalan tol Jagorawi kini sudah berubah menjadi jalan terhambat parah bukan lagi sebagai jalan bebas hambatan.
Dari mulut jalan tol Jagorawi di Bogor sampai di Cawang Interchange yang berjarak 45 km saja membutuhkan waktu 2,5 jam perjalanan. Sebaliknyapun sama, yaitu dimulai dari pintu masuk tol Cempaka Putih sampai gerbang tol Cibubur diperlukan setidaknya 2 jam perjalanan. Sungguh sangat tidak efisien!
Padahal spanduk-spanduk yang dipasang di berbagai tempat di sepanjang jalur tol Jagorawi yang berbunyi: untuk meningkatkan pelayanan maka kami akan menerapkan gerbang dan kartu elektronik. Atau bunyi spanduk yang lain: untuk meningkatkan pelayanan kami, maka jalur Cibubur – Cibinong akan menjadi 4 jalur x 2. Pertanyaannya apa betul, semua itu untuk meningkatkan pelayanan atau meningkatkan kenyamanan?
Yang diminta oleh pihak pengguna kepada pengelola jalan tol ini tentu adalah kenyamanan yang tidak lain diantaranya adalah harus bebas hambatan. Contohnya gerbang tol elektronik yang mana kartu tol diambil sendiri oleh pengemudi kendaraan di anjungan yang tersedia di gerbang tol Cibubur. Selain jarak jangkauan tangan ke arah kartu keluar dari mesin anjungannya relatif jauh, juga untuk berhenti mengambil kartu tol di anjungannya membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan pelayanan memakai jasa petugas pelayanan gardu tol. Hal tersebut sangat jelas terasa ketika sesudah keluar dari gerbang tol, jalanan di depan itu ‘kosong’ dan dapat memacu kendaraan sesuai aturan kecepatan yang berlaku.
Tentang pekerjaan pelebaran jalan. Pelaksanaan pelebaran jalan ini dilakukan secara bersamaan di jalur Jakarta arah bogor maupun di jalur sebaliknya. Dan kegiatan ini menjadikan jalannya kendaraan terhambat dimana laju kendaraan jadi tertahan. Artinya; ketika saya berangkat menuju tempat kerja di jakarta pasti akan terkena kemacetan , begitu juga ketika pulang kerja, saya juga terjebak kemacetan yang luar biasa. Kalau pengerjaan penambahan jalur tersebut dilakukan satu per satu, mungkin tidak akan terjadi kemacetan yang luar biasa seperti apa yang terjadi saat ini. Sudah macet luar biasa di jalan tol Jagorawi arah Jakarta, kini kemacetan itu bertambah lagi dengan adanya pengerjaan perbaikan jalan di jalan keluar UKI. Bahkan dipasang spanduk himbauan, agar pengguna jalan tol Jagorawi tidak keluar tol menuju UKI. lo, ini bagaimana toh? kami yang sudah kesal bermacet macet di dalam tol, malah disuruh untuk bermacet ria terus menerus. Kenapa perbaikan ini tidak menunggu pekerjaan penambahan jalur di jalan tol Jagorawi itu selesai dahulu sih?
Tentang makin bertambahnya pintu keluar dan pintu masuk. Berapa sih aturan bakunya untuk jarak terdekat dari satu pintu keluar masuk dengan pintu berikutnya? Rasanya terlalu pendek jarak itu untuk yang di jalan tol Jagorawi saat ini.
Tentang kedisiplinan pengguna jalan tol. Sering saya alami dimana keadaan jalan sedang macet namun kendaraan lain di kanan atau kiri merangsek masuk dengan beralih jalur. Bahkan tidak jarang mobil di belakang kami memijit klaksonnya kuat kuat atu memberi lampu besar nyala, agar minggir memberi jalan. Pada mau kemana ini?
Komplit sudah tentang asal usul kemacetan di tol Jagorawi yang diluar normal itu. jadi kalau menggunakan jalan tol ini mulai jam 5 subuh sampai jam 11 malam, mau hari keja ataupun hari libur sekalipun, sudahlah kita in hanya bisa pasrah, mau apa dan bagaimana lagi toch? Kita nikmati kemacetan tol Jagorawi itu. Kalau tidak kasihan sama kita-kita ini... Kan katanya ini demi peningkatan pelayanan. Atau artinya Jagorawi ingin 'hospitality' lebih lama sehingga pengguna jalan tol Jagorawi harus berlama lama menikmati pelayanan jalan tol tersebut. Oke dech kalau begitu. Jagorawi, selamat melayani kita yah!

 Kapanpun di Jalan Tol Jagorawi
Pasti Akan Kena Macet Parah