Senin, 28 Maret 2011

Selamat Jalan: Prof.DR.IR. Jacub Rais,M.Sc 'Pelaku Sejarah' Penamaan Unsur Rupa bumi di Indonesia

Sebagai anggota Tim Penamaan Unsur Rupabumi Indonesia, kami kaget mendengar berita bahwa Prof Jacub Rais telah berpulang pada hari Senin 28 Maret 2011 pkl 12.30 di Kemang Jakarta. Bagaimana tidak, almarhumlah yang banyak membimbing dan mengarahkan kami bagaimana prosedur penamaan pulau dilakukan secara benar berdasarkan kaidah kaidah ilmiah dan aturan yang berlaku secara internasional di bawah salah satu badan PBB. Kami bersama almarhum dimulai tahun 2002, sejak diawalinya pekerjaan penamaan pulau di Indonesia. Sebagaimana diketahui, pada waktu itu jumlah pulau di Indonesia yang belum memiliki nama hampir mendekati 60%. Kami berkeliling bersama sama ke seluruh peloksok Nusantara untuk melakukan survei dan sosialisasi penamaan unsur rupa bumi hususnya pulau.

Banyak suka duka yang kami alami bersama. Entah waktu terombang ambing di samudera luas karena melawan badai atau sekedar tertawa kecil sebagai ekpresi hati senang ketika menikmati sebuah tarian budaya lokal yang jenaka. Tapi, tentunya yang paling berkesan bagi kami adalah semangat nasionalismenya dari seorang Prof Jacub rais yang tetap menyala walau diusia 80 tahunan. Usia yang jarang didapat oleh rata rata orang Indonesia. Selamat jalan guru.

Berikut adalah cuplikan bahan presentasi dan foto beliau:


2007 di goa Jepang bukitinggi
2008 bersama Prof Alex Retraubun di
sebuah restoran di pantai Kota Padang

Rabu, 23 Maret 2011

Summary Report on The Great Barrier Reef Marine Park Zoning Plan

Berikut adalah contoh Rencana Zonasi yang dilakukan oleh Taman Laut The Great Barrier Reef di Negara Australia. Ini sebagai bahan komparasi saja dalam penyusunan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau pulau kecil di kita:

The Great Barrier Reef Marine Park Act 1975 (‘the Act’) provides for the establishment, control, care and development of the Great Barrier Reef Marine Park (‘the Marine Park’). The Act confers responsibility for the management of the Marine Park upon the Great Barrier Reef Marine Park Authority (‘the GBRMPA’).
In managing the Marine Park and the relevant responsibilities for the Great Barrier Reef World Heritage Area, the GBRMPA contributes to implementing Commonwealth Government policies such as:
• Australia’s Oceans Policy (1998) which advocated implementation of a representative areas network;
• Australian and New Zealand Environment and Conservation Council’s “Strategic plan of action for establishing the national representative system of marine protected areas” (1999);
• the National Strategy for Conservation of Australia’s Biological Diversity (1996);
• the Intergovernmental Agreement on the Environment (1992); and the
• the National Strategy for Ecologically Sustainable Development (1992).

Australia also has international commitments to developing a representative area network under, for example, the Convention on Biological Diversity (1992). Other States and Territories in Australia are also contributing to this nation-wide initiative.
The GBRMPA is mindful of government obligations arising from such international Conventions as the:
• World Heritage Convention 1972;
• Convention on Conservation of Migratory Species of Wild Animals 1979; and
• Convention on Biological Diversity 1992.

The Great Barrier Reef Marine Park Zoning Plan 2003 (‘the Zoning Plan’) has been developed as the primary planning instrument for the conservation and management of the Marine Park, in accordance with Section 32 of the Act, for:
the conservation of the Great Barrier Reef (GBR);
the regulation of the wise use of the Marine Park so as to protect the GBR while allowing the reasonable use of the GBR Region;
the regulation of activities that exploit the resources of the GBR Region so as to minimise the effect of those activities on the GBR;
the reservation of some areas of the GBR for its appreciation and enjoyment by the public; and
the preservation of some areas of the GBR in its natural state undisturbed by man except for the purposes of scientific research.

The Zoning Plan has been prepared in accordance with the Act. The process has included two statutory (formal) phases of Community Participation as well as other informal consultation. Both formal phases of Community Participation were widely advertised, inviting the public to make submissions. Subsections 32(3 & 9) of the Act requires the GBRMPA to ‘… give due consideration to any representations so made’. • • • • •
1
The first formal Community Participation phase (CP1) of the Representative Areas Program (‘the RAP’) was conducted from 7 May – 7 August 2002, and was designed to canvas the views of the public on the proposal to prepare a new Zoning Plan. The GBRMPA released the Draft Zoning Plan (‘the DZP’) for public comment from 2 June – 4 August 2003 (CP2). Over 31 500 submissions were received during the two formal phases of public consultation. The consultation undertaken by the GBRMPA for the RAP was one of the largest examples of public involvement in any environmental planning process in Australia’s history.
The final Zoning Plan was developed after consideration of all submissions, additional information gathered during CP1 and CP2, the best available natural resource, social, economic and cultural information, and management issues. It builds on the framework established by previous Zoning Plans for the Far Northern, Cairns, Central, Mackay/Capricorn and Gumoo Woojabuddee Sections and provides a single consistent Zoning Plan for the entire Marine Park. The Zoning Plan also provides zoning for 28 new coastal Sections, which were included in the Marine Park between 2000 and 2001.
Many of the provisions of previous Zoning Plans have been updated in the Zoning Plan. The Zoning Plan also provides for the description of zone boundaries though a process of coordinate-based mapping. In addition to the conservation benefits, these changes provide a simpler and more consistent basis for the management of activities throughout the Marine Park.
The Great Barrier Reef Marine Park Authority considered and made the Zoning Plan on 26 November 2003. The Zoning Plan was then delivered to the Honourable Dr David Kemp, the then Minister for the Environment and Heritage, who accepted and tabled the Zoning Plan in both Houses of the Federal Parliament on 3 December 2003. The Zoning Plan passed through both Houses of the Federal Parliament and came into effect on 1 July 2004.

Ada 12 Bioecoregion Laut di Indonesia

Bioecoregion merupakan suatu kesatuan besar dari daratan dan lautan dan kehidupan dari beragam karakteristik spesies, komunitas, dinamika dan kondisi lingkungan.

Indonesia memiliki 12 bioecoregion laut, yaitu:




didi sadili

Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI)

WPP-RI, merupakan wilayah pegelolaan perikanan untuk penangkaan ikan, pmbudidayaan ikan, konservasi, pnelitian, dan pengembangan perikanan yang meliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, zona tabahan, dan zona ekonomi eklusif Indonesia (Permen KP. No.1 Tahun 2009)

Wilayah Indonesia dibagi ke dalam 11 WPP, lihat gambar berikut:


didi sadili

Senin, 21 Maret 2011

Menikmati Cantiknya Pantai Anyer

Minggu 20 Maret 2011, kami berombongan dalam satu bus besar berwisata ke pantai Anyer yang cantik. Walaupun di awalnya ada keraguan untuk berangkat kesana karena dikaitkan dengan tragedi tsunami di Jepang yang baru saja lewat.
Sesampainya di Anyer, kami jadi lupa dengan peristiwa tsunami Jepang itu. Kami menikmati pasir putih, matahari, debur ombak, para penjaja jasa pijit, tatto atau pengasong berbagai makanan khas daerah Anyer.
Hanya perlu waktu tiga jam perjalanan dari Bogor untuk sampai ke lokasi, yaitu pantai Sambolo yang merupakan bagian dari komplek hotel Patra Jasa. Memang begitu keluar dari outram pintu tol Cilegon Barat sampai di pasar Anyer, kondisi jalannya bergelombang dan berdebu. Mungkin sebagai akibat dari lalu lalangnya kendaraan kendaraan berat yang mengangkut barang barang milik industri yang banyak terdapat di sekitaran ini. Tetapi sudah seyogyanya, apabila jalan akses satu satunya ke arah pantai Anyer ini harus selalu terawat baik. Bagaimana mau menarik turis kalau akses jalannya saja, berantakan seperti ini?
Di Pantai Sembolo sampai ke arah ujung dari teluk ini, pantainya berpasir, tidak seperti arah sebaliknya atau dari Pantai Sembolo ke arah komplek industri kimia Chandra Asri yang pantainya terdiri dari batu karang. Jadi kami dapat menikmati pantai dengan berlari lari dan bermain berbagai wisata air tanpa takut terluka menginjak karang.
Yang saya soroti lagi adalah persoalan sempadan pantai. Yang saya ketahui, aturannya untuk pantai tipe landai seperti di Anyer ini,jarak sempadan pantai ke arah darat dari titik pasang tertinggi adalah minimal 100 meter. Nah, saat ini apabila kita melewati pantai Anyer ini dari ujung ke ujung, kita tidak dapat melihat laut secara langsung karena sudah dipagari oleh berbagai bangunan yang rapat. Mungkin untuk menata kembali bangunan bangunan yang berada di sempadan pantai, tidak mungkin dapat dilakukan. Sekarang yang terpenting adalah bagaimana merawat pantainya dengan sebaik baiknya. Merawat itu dapat dilakukan melalui menjaga dari limbah atau cemaran, memberi akses kepada publik untuk menikmati keindahan lautnya, memberi akses kepada para nelayan untuk memanfaatkannya dan tidak merusak kondisi fisik yang ada.
Seperti hari ini, kami bersama para tetangga ingin menikmati sempadan pantai Anyer yang cantik ini dan itu sudah dirasakan, tetapi janganlah air lautnya ditaburi cemaran berat dari limbah pabrik yang ada disana, janganlah dikungkung oleh bangunan bangunan yang keberadaanya tidak sesuai peruntukannya. Biarkan kami bisa tertawa riang dalam kesegaran di Anyer ini, karena mungkin untuk tertawa di tempat lain sudah sulit untuk dilakukan.. 
didi sadili

Minggu, 20 Maret 2011

Menempatkan Program, Perencanaan dan Penganggaran pada Skala Nasional Tinggi dari Kementrian Kelautan dan Perikanan akan Memperkuat Keberhasilan dari Kerjasama Kawasan Selat Karimata

Kerjasama kawasan Selat Karimata, pada hakekatnya adalah adanya empat pihak propinsi (Kepri, Kalbar, Babel dan Jambi) yang berinteraksi sinergis untuk mencapai tujuan bersama. Kerjasama kawasan ini merupakan upaya meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, termasuk dalam tataran kebijakan; investasi, pemasaran maupun promosi daerah, yang dilaksanakan sesuai prinsip-prinsip otonomi dan desentralisasi dengan memanfaatkan strategi yang mendorong proses regionalisasi desentralistik tanpa adanya ego kedaerahan sehingga menghasilkan output bersama yang memiliki daya saing tinggi.
Output dimaksud tidak melulu dalam bentuk fisik hasil produksi seperti komoditas, tetapi bisa juga dalam bentuk kebijakan dalam pelaksanaan suatu fungsi atau kebijakan yang menyangkut wilayah.
Keberhasilan dari kerjasama kawasan Selat Karimata ini adalah adanya keberpihakan dari lembaga Kementrian Kelautan dan Perikanan dengan menempatkannya dalam skala prioritas tinggi baik dari segi perencanaannya maupun penganggarannya. Tanpa menempatkannya dalam skala tinggi, mustahil kerjasama kawasan in akan berhasil.
didi sadili




Jumat, 18 Maret 2011

Kerjasama Kawasan Selat Karimata Dalam Upaya Percepatan Pembangunannya

Kawasan Selat Karimata secara geografis merupakan kawasan yang strategis sebagai jalur pelayaran internasional yang didukung oleh keberadaan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I yang memiliki akses ke wilayah Timur Tengah, Asia Barat, ASEAN, Asia Pasifik, Australia, maupun Perairan Indonesia. Secara administratif merupakan wilayah laut yang menjadi kewenangan pengelolaan 4 (empat) provinsi, yaitu Bangka Belitung, Jambi, Kalimantan Barat, dan Kepulauan Riau, yang mencakup 21 (duapuluh satu) wilayah kabupaten dan kota pesisir di kawasan tersebut.
Selain didukung oleh strategisnya posisi dan letak geografis, Kawasan Selat Karimata juga merupakan salah satu wilayah kepulauan yang memiliki karakteristik geografis dan ekologis yang unik dengan jumlah pulau mencapai sekitar 3.000 buah. Pada kawasan ini juga mengandung keragaman dan kelimpahan sumberdaya hayati yang masih potensial untuk dikembangkan, seperti: Ikan Pelagis Besar, Ikan Pelagis Kecil, Ikan Demersal, Ikan Budidaya, Rumput Laut, Mangrove, dan Terumbu Karang.
Disamping potensi sumberdaya hayati yang dimilikinya, kawasan tersebut juga menyimpan kekayaan sumberdaya nonhayati yang masih berpeluang untuk dikembangkan, seperti : migas, pasir laut, dan kapal karam. Kawasan ini juga menyediakan jasa lingkungan pesisir dan laut yang dapat memberikan nilai tambah sosial ekonomi yang tinggi, seperti : pariwisata bahari dan industri pelayaran.
Keberadaan Kawasan Selat Karimata yang didukung oleh tersedianya potensi sumberdaya kelautan dan perikanan mencerminkan peluang dan prospek bagi pengembangan kegiatan ekonomi lokal, regional, maupun nasional. Namun demikian, kondisi pemanfaatan potensi sumberdaya tersebut dirasakan belum optimal. Selain itu, kendala yang dihadapi pada kawasan ini adalah belum kondusifnya situasi dan kondisi keamanan perairan yang diindikasikan oleh masih terjadinya kasus illegal fishing, penyelundupan, perampokan (robbery), dan perompakan (piracy). Kendala lain yang dihadapi adalah terjadinya aktivitas penangkapan ikan secara deskruktif, penambangan tidak ramah lingkungan sehingga mengancam keberadaan dan kelestarian sumberdaya pesisir dan laut.
Dalam upaya memperoleh kesamaan pandangan dari pemerintah kabupaten dan kota dalam hal kerjasama pengelolaan kawasan Selat Karimata, maka Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K) telah memfasilitasi Kerjasama Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Selat Karimata. Pada masing-masing provinsi telah diselenggarakan rapat koordinasi yang dipimpin oleh gubernur dan dihadiri oleh para bupati, walikota, pimpinan DPRD, Bappeda, Dinas Kelautan dan Perikanan, dan instansi terkait lainnya, tanggal 22 Juli 2004 di Pangkal Pinang, tanggal 7 September 2004 di Pontianak, tanggal 18 Oktober 2004 di Jambi, dan tanggal 5 November 2004 di Batam.
Sebagai hasil dari pertemuan koordinasi di daerah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota akhirnya sepakat untuk bekerjasama dalam mengelola Selat Karimata dalam satu kerangka kerjasama yang dituangkan dalam suatu Memorandum of Understanding (MoU) Kerjasama Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Selat Karimata yang telah ditanda-tangani pada 7 Desember 2005 pada pertemuan di Jakarta yang dihadiri oleh Mendagri, Menteri KP, para gubernur dan bupati/ walikota di wilayah provinsi Bangka Belitung, Jambi, Kalimantan Barat, dan Kepulauan Riau, unit eselon 1 Kemendagri dan KKP, Biro Hukum dan Pemerintahan provinsi, Dinas Kelautan dan Perikanan provinsi/kabupaten/kota, serta Bappeda provinsi. Sejalan dengan itu, Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Direktorat Tatat Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mendukung kerjasama Pengembangan Selat Karimata tersebut dengan melakukan kegiatan Penyusunan RTR Kawasan Selat Karimata (2005), Penyusunan Action Plan Kawasan Selat Karimata (2006), Penyusunan Bisnis Plan Kawasan Selat Karimata (Provinsi Kalimantan Barat dan Bangka Belitung, 2007) dan Penyusunan Bisnis Plan Kawasan Selat Karimata (Provinsi Jambi dan Kepulauan Riau, 2008).
 Setelah MoU ditandatangani, selanjutnya Kemendagri memfasilitasi proses penyelesaian Perjanjian Kerjasama yang akan menjadi landasan hukum operasional kerjasama. Rapat pembahasan naskah perjanjian kerjasama dimaksud telah dilakukan sejak tahun 2006 di tingkat pemerintah daerah, baik di daerah maupun di Jakarta, dan pada pertemuan yang dilaksanakan oleh KKP di Tanjung Pinang pada tanggal 24-25 November 2009 draft dimaksud akhirnya mendapat persetujuan dan telah diparaf oleh wakil-wakil dari ke-4 provinsi. Sambil menunggu proses penandatanganan oleh para gubernur, maka pada tahun 2010 dilakukan penilaian atas muatan materi sesuai dengan peraturan perundangan yang terbaru. Disamping itu naskah dimaksud juga akan disempurnakan materinya guna mengakomodasi kepentingan dari berbagai kementerian dan lembaga terkait. Diharapkan dalam waktu dekat akan tercapai beberapa sasaran, antara lain berupa; (1) ditandatangannya naskah Perjanjian Kerjasama Antar Daerah oleh para gubernur, (2) Ditetapkannya Rencana Aksi Kerjasama Selat Karimata di tingkat regional maupun provinsi, (3) Tersusunnya Konsep dan Struktur Organisasi Sekretariat Kerjasama, baik di provinsi maupun unsur Pembina di Pusat. Kedepan diharapkan kerjasama antar daerah ini dapat ditingkatkan ke level yang lebih tinggi dengan melakukan pembahasan substansi dalam pertemuan-pertemuan di Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) dan disiapkan Rancangan Peraturan Presiden (Raperpres) sebagai payung hukum pelaksanaan kerjasama tersebut.

(terima kasih kepada: Pak Suharyanto dan Pak Ahmad Jaelani)
Wilayah Kerjasama Kawasan
Selat Karimata


Kamis, 17 Maret 2011

Apa Keuntungannya Dengan Menyusun Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil ?

Latar Belakang
Penyusunan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir da Pulau Pulau Kecil (RZ-WP3K) merupakan amanah dari Undang Undang No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (WP3K).  RZ-WP3K adalah penjabaran kebijakan dalam kontek keruangan atau spasial yang berfungsi dalam menentukan arah penggunaan sumberdaya tiap tiap satuan perencanaan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada kawasa perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan  serta kegiatan yang boleh dilakukan setelah mendapt ijin.
RZ-WP3K ini equal dengan Pola Ruang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Namun RTRW banyak bermain di wilayah darat sedangkan RZ-WP3K bermain di wilayah perairannya.
RZ-WP3K muncul sebagai akibat kondisi fisik lingkungan terutama perairannya (laut) terutama yang semakin menghawatirkan. Wujud bentuk keprihatinan itu seperti:
-Eksploitasi sumberdaya yang semakin tidak terkendali
-Terjadinya konflik kepentingan antar sektor dalam pemanfaatan ruang yang sama
-Kurang optimalnya fungsi enataan ruang/zonasi
-Inkonsistensi implementasi ‘kebijakan’ terhadap ruang wilayah
-Tidak adanya alokasi fungsi zona yang tegas dalam penataan ruang wilayah
-Lemahnya koordinasi dan keterbukaan dalam menempatkan kepentingan sektor dan kepentingan wilayah dalam kerangka rencana zonasi/penataan ruang yang utuh

Siapa yang menyusun RZ-WP3K ?
UU no.27 tahun 2007 tentang Pengelolaan WP3K
Pasal 5:.
Pengelolaan WP3K meliputi kegiatan perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian terhadap interaksi manusia dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir dan pulau pulau kecil serta proses alamiah secara berkelanjutan dalam upaya menngkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga keutuhan NKRI.

Pasal 7:
(1)            Perencanaan WP3K terdiri atas:
a.     Rencana Strategis WP3K
b.    Rencana Zonasi WP3K (RZ WP3K)
c.     Rencana Pengelolaan WP3K
d.    Rencana Aksi WP3K
(2)            ....
(3)            Pemerintah daerah wajib menyusun semua rencana dimaksud

Pasal 9:
    (1)........
    (2)....
    (3).......
    (4)......
    (5) RZWP3K ditetapkan dengan Peraturan Daerah

Jadi seperti halnya penyusunan RTRW, perencanaan WP3K-pun pihak pemerintah daerahlah yang menyusunnya. Pusat hanya sekedar membantu dala memfasilitasinya.
Ketentuan lebih lanjuta, bahwa empat perencanaan tersebut diatas, tiga ditetapkan dalam bentuk SK gub/bup/walkot, sedangkan khusus RZ WP3K harus ditetapkan dalam bentuk PERDA.

Apa Manfaat RZ WP3K?

Manfaat apa yang dapat dipetik dari adanya RZ WP3K?
Manfaatnya antara lain:
-Keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan dalam pembangunan wilayah dapat terwujud.
-Zona zona di WP3K terbagi sesuai peruntukkannya dan kegiatannya yang bersifat saling mendukung (compatible)
-Adanya alat koordinasi perencanaan dan pemanfaatan ruang WP3K
-Adanya araha pemanfaatan ruang WP3K yang terintegrasi dengan RTR daratan
-Adanya kepastian hukum bagi para stakeholder yang memanfaatkan ruang WP3K
-Adanya pedoman pemanfaatan ruang/zona

Penutup

Substansi dari disusunnya RZWP3K prop/kab/kota adalah dalam upaya optimalisasi pemanfaatan ruang terutama perairan laut secara berimbang dan berkelanjutan. Prioritas penyusunan RZWP3K adalah di wilayah pesisir dan atau pulau pulau kecil yang menjadi prioritas pembangunan atau setidaknya yang sudah ada pihak investor yang akan mengembangkannya.

 ilustrasi pembagian kawasan
di WP3K prov menjadi 4 kawasan:
kawasan pemanfaatan umum, konservasi
alur laut dan KSNT

  

Minggu, 13 Maret 2011

Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil

Pulau-pulau kecil, pada hakekatnya adalah permukaan bumi yang disebut tanah dalam pasal 1 ayat 4 Undang-Undang Pokok Agraria. Tanah boleh dimanfaatkan oleh Warga Negara Indonesia maupun bada hukum Indonesia dalam rangka meningkatkan kesejahteraan warga setempat.
Pulau-pulau kecil bersetatus sebagai tanah negara yaitu tanah yang langsung dikuasai oleh negara. Secara yuridis pulau pulau kecil adalah aset negara, namun secara administratif, pengelolaannya berada di tangan Pemda kabupaten atau kota. Contoh mudah dalam hal ini adalah pulau-pulau kecil di wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu di DKI Jakarta. Berikut ini adalah rincian pengelola pulau-pulau kecil:
1.       Pemerintah pusat
2.       Pemerintah kab/kota/prov
3.       Badan otorita
4.       Perorangan
5.       Instansi ppemerintah (Kementrian Kehutanan, Kementrian perhubungan, Bea Cukai, dll)
6.       Masyarakat (pulau kecil yang dihuni oleh beberapa kepala keluarga)
7.       Perusahaan (pertamina dll)

Beberapa kemungkinan jika akan mengembangkan potensi pulau-pulau kecil yang belum dikuasai oleh pihak lain untuk tujuan investasi. Suatu kementrian mengajukan permohonan hak atas tanah sesuai dengan keperluannya kepada Pejabat yang berwenang memberikan hak atas tanah. Tanah di pulau-pulau kecil atau bagiannya yang akan digunakan oleh pihak ketiga, sebaiknya diajukan penguasaan atas tanas berdasarkan Hak Pengelolaan (HPL), namun apabila akan digunakan oleh kementriannya, maka seyogyanya diajukan Hak Pakai dengan jangka waktu yang tidak terbatas (pasal 35 s/d 43 UUPA, PP. No. 40 Tahun 1996 dan PMNA/Ka BPN No. 9 Tahun 1999).

Jika pulau-pulau kecil itu akan dimanfaatkan untuk pengembangan investasi atau peruntukan lainnya, maka perlu memperhatikan peruntukan sesuai dengan RTRW yang telah ditetapkan oleh Kab/kota setempat, sesuai dengan UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Itupun yang berkaitan dengan daratnya, untuk wilayah perairannya tetap harus dibuatkan Rencana Zonasinya, sesuai kaidah dalam UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil. Sedangkan pulau-pulau kecil yang belum memiliki RTRW, maka perlu dibuatkan Rencana Zonasinya secara keseluruhan, baik wilayah daratnya maupun perairainnya. Dengan hal tersebut pemanfaatan pulau-pulau kecil akan lebih terarah dengan tetap memperhitungkan pemanfaatan secara berkelanjut.
    

Jumat, 11 Maret 2011

Peta Itu, Penting Untuk Penyusunan Rencana Zonasi Laut

Pengertian Peta
>       Menurut Internasional Cartographic Association (1973), peta adalah suatu representasi/gambaran unsur-unsur atau kenampakan-kenampakan abstrak yang dipilih dari permukaan bumi atau yanga ada kaitannya dengan permukaan bumi atau benda-benda angkasa dan umumnya digambarkan pada suatu bidang datar dan diperkecil/diskalakan.
>       Menurut Aryono Prihandito (1988), peta adalah gambaran permukaan bumi dengan skala tertentu, digambarkan pada bidang datar melalui sistem proyeksi tertentu.
>       Menurut Erwin Raisz (1948), peta adalah gambaran konvensional dari ketampakan muka bumi yang diperkecil seperti ketampakan kalau dilihat vertikal dari atas, dibuat pada bidang datar dan ditambah tulisan-tulisan sebagai penjelas.

Fungsi Peta
1.     Sebagai media informasi bereferensi geografis dari suatu wilayah, contoh : peta sebaran mangrove
2.     Sebagai sumber infogragis, contoh : peta administrasi
3.     Sebagai alat analisis, contoh : Peta Analisis Kesesuaian Perairan untuk Budidaya Perikanan dan Kelautan
4.     Sebagai alat navigasi, contoh : peta pelayaran



Kategori Peta
1.  Peta berdasarkan skala
a.     peta skala besar, contoh : skala 1 : 5000 – 1 : 250.000
b.     peta skala sedang, contoh : skala 1 : 250.001 – 1 : 500.000
c.      peta skala kecil, contoh : skala 1 : 500.001 – 1 : 1.000.000
2. Peta berdasarkan cakupan wilayah kajian
a.     peta global, contoh : peta dunia
b.     Peta regional, contoh : peta Indonesia
c.      Peta lokal, contoh : peta provinsi Jawa Barat
3. Peta berdasarkan format
a.     peta hardcopy adalah peta yang telah tersaji dalam bentuk cetakan/printout
b.     Peta digital adalah File Digital Pemetaan dalam bentuk Sistem Informasi Geografis dengan format vektor seperti SHP dan Lyr (ESRI Product) dan dalam bentuk raster seperti JPEG dan PNG
4. Peta berdasarkan sumber data
a.     peta kadastral, contoh peta persil tanah
b.     Peta foto udara/citra satelit, contoh : peta citra ikonos, peta quickbird
5. Peta berdasarkan jenis data
a.     peta kualitatif, contoh : peta kepadatan penduduk
b.     Peta  kuantitatif, contoh : peta curah hujan

Simbolisasi peta
  Fiture Titik/Point
            disajikan oleh lokasi diskret yang menentukan obyek peta yang batas atau bentuknya terlalu kecil untuk ditunjukkan sebagai fiture garis atau area. Menyajikan titik yang tidak mempunyai area, seperti Lokasi Pelabuhan dll
  Fiture Garis/Line
            Merupakan kumpulan koordinat berurutan yang bila dihubungkan akan menyajikan bentuk linier dari obyek yang terlalu sempit untuk ditampilkan sebagai area. Atau, berupa fiture yang tidak mempunyai lebar, seperti garis kontur, seperti Garis Pantai, Kontur Laut, Alur Pelayaran dll
  Fiture Area / Polygon
            merupakan bentuk gambar tertutup yang batasnya melingkupi area homogen, seperti Danau, Kawasan Pemukiman, Lapangan, Kawasan Lindung dll

Kamis, 10 Maret 2011

Bagaimana MengantisipasiI Fenomena Pemanasan Global Terhadap Keberadaan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia?

1.    Latar belakang

Ramalan tentang bakal terjadinya pemanasan global serta dampaknya sudah diketahui belasan tahun silam. Saat itu para pakar dari berbagai negara telah melakukan penelitian di beberapa tempat. Hasilnya, pemanasan global bukan lagi sekadar desas-desus, tetapi secara perlahan-lahan mulai menggerogoti hidup manusia. Pada awal Februari 2007 yang lalu Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) melaporkan hasil pengamatan dan proyeksi dampak perubahan iklim dunia. Laporan tersebut juga memaparkan sejauh mana kontribusi manusia dalam perubahan iklim tersebut.

Pemanasan global telah menjadi isu utama lingkungan telah mulai menyadarkan masyarakat yang telah menduduki dunia ini akan eksistensinya di muka bumi ini. Dampaknya bahkan lebih besar sebelum manusia menyadari perubahan lingkungan akibat ancaman pemanasan global. Tidak hanya manusia yang akan terkena dampak dari fenomena alam ini, tapi banyak ekosisten lainnya yang mengalamai gangguan  hingga kepunahan pada species yang hidup didalamnya.

Pulau-pulau kecil merupakan ekosistem yang ada di muka bumi ini yang merupakan bagian dari ekosistem yang unik, memiliki kerentanan terhadap perubahan lingkungan akibat dari perubahan iklim. Salah satu ancaman untuk ekosistem pulau-pulau kecil adalah pemanasan global yang menyebabkan naiknya permukaan air laut karena ekosistem pulau-pulau kecil yang sangat rentan. Apabila kondisi ini terjadi dapat dibayangkan bahwa Indonesia yang memiliki ribuan pulau kecil akan mengalami masalah besar terhadap ekosistem dan kehidupan manusia yang tinggal di pulau-pulau kecil tersebut.

Fenomena kenaikan muka air laut (sea Level Rise) pada dasarnya disebabkan oleh dua faktor utama yaitu :

1.    Perubahan topografi dasar lautan yang diakibatkan oleh efek tektonik dengan kecepatan kenaikan muka air lautnya yang relative sangat lambat.
2.    Naiknya suhu atmosfir secara global akan juga meningkatkan suhu lapisan atas lautan. Hal ini akan mengakibatkan air laut mengembang. Kecepatan naiknya muka iar laut lebih besar dibandingkan dengan disebabkan oleh efek tektonik. Selain itu suhu atmosfir yang lebih tinggi juga mengakibatkan mencairnya es di kutub yang berkontribusi terhdap fenomena naiknya permukaan air laut.

Pada masa sekarang ini, fenomena naiknya permukaan air laut telah menjadi issu internasional yang mempunyai dampak terhadap kehidupan manusia  dan lingkungan. Dampak langsung dari fenomena ini adalah :

v  Terjadi erosi pantai
v  Tergenangnya daratan di wilayah pesisir
v  Banjir yang semakin meluas
v  Kerusakan ekosistem wilayah pesisir dan
v  Berbagai dampak tidak langsung lainnya.

Indonesai sebagai Negara kepulauan yang terdiri dari 17.504 pulau dan sebagian besar adalah pulau-pulau kecil akan merasakan dampak langsung dari fenomena ini, terutama di daerah yang mempunyai dataran rendah di wilayah pesisir khususnya. Perilaku kedudukan muka laut beserta variasi temporal dan spasial di wilayah regional atau lokal Indonesia merupakan salah satu data yang diperlukan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan suatu wilayah.

Dalam satu dekade belakangan ini, fenomena peningkatan pemanasan global dan diikuti oleh adanya peningkatan muka air laut sudah mulai dirasakan. Hal ini terlihat pada beberapa daerah yang sudah merasakan kenaikan permukaan air laut tersebut. Kejadian ini tidak hanya sekedar naik pada waktu tertentu dan kemudian surut kembali.  Namun naiknya permukaan air laut ini dapat menyebabkan abrasi di daerah pantai yang menyebabkan berkurangnya daratan akibat tergerus oleh gelombang dan arus serta dikhawatirkan akan berdampak tenggelamnya pulau-pulau kecil di Indoenesia

2.    Dampak Kenaikan Permukaan Air Laut terhadap Pulau-pulau Kecil

Salah satu pengeruh potensial perubahan iklim yang sangat siknifikan adalah naiknya permukaan air laut (sea level rise) yang menyebabkan terendamnya sebagian wilayah pesisir serta terendam infrastruktur dan tenggelamnya pulau pulau kecil di Indonesia, erosi pantai, intrusi air laut, rusaknya ekosistem penting seperti  ekosistem lahan basah dan mangrove yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya  pengungsian penduduk, produktifitas perikanan akan menurun drastis, sulitnya sumber air bersih serta menurunnya produktivitas pertanian.

Dampak kenaikan permukaan air laut yaitu :
(a)  meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir,
(b)  perubahan arus laut dan meluasnya kerusakan mangrove,
(c)  meluasnya intrusi air laut,
(d)  ancaman terhadap kegiatan sosial-ekonomi masyarakat pesisir, dan
(e)  berkurangnya luas daratan atau hilangnya pulau-pulau kecil.

Dengan terjadinya curah hujan sangat tinggi (kejadian ekstrim) dan pola hujan yang acak dan musim hujan yang pendek akan dapat meningkatkan frekuensi dan intensitas banjir di suatu kawasan diperparah lagi dengan pengaruh berbaliknya air dari daerah pesisir ke daerah daratan akibat tingginya permukaan air laut dan dikhawatirkan akan menenggelamkan daratan atau pulau. Frekuensi dan intensitas banjir diprediksikan terjadi 9 kali lebih besar pada dekade mendatang dimana 80% peningkatan banjir tersebut terjadi di Asia Selatan dan Tenggara (termasuk Indonesia) dengan luas genangan banjir mencapai 2 juta mil persegi. Peningkatan volume air pada kawasan pesisir akan memberikan efek akumulatif apabila kenaikan muka air laut serta peningkatan frekuensi dan intensitas hujan terjadi dalam kurun waktu yang bersamaan.

Disamping itu, dampak naiknya permukaan air laut juga akan mengakibatkan perubahan arus laut pada wilayah pesisir yang menyebabkan rusaknya ekosistem terumbu karang dan mangrove akan diperparah lagi dengan luasnya terumbu karang yang telah rusak serta luas hutan mangrove yg hilang akibat diambil dan dirusak yang kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan.  Apabila keberadaan ekosistem ini tidak dapat dipertahankan lagi, maka abrasi pantai akan kerap terjadi karena tidak adanya penahan gelombang, pencemaran dari sungai ke laut akan meningkat karena tidak adanya filter polutan, dan zona budidaya pun akan terancam dengan sendirinya.

Kenaikan muka air laut juga akan mengakibatkan meluasnya intrusi air laut. Selain itu juga akan berdampak terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat seperti tergenangnya kawasan pemukiman penduduk dan infrastruktur yang mendukung perekonomian masyarakat dan terancam berkurangnya luasan kawasan pesisir, bahkan hilangnya pulau-pulau kecil tergantung dari kenaikan muka air laut yang terjadi karena pulau pulau kecil terutama Pulau-pulau kecil yang datar (low-lying islands) yang memiliki ketinggian rata-rata 1 meter di atas permukaan laut sangat rentan terhadap perubahan iklim seperti naiknya permukaan air laut ini.

Kerusakan ekologis di pulau kecil cukup mengkhawatirkan. Dari hasil survei penamaan pulau di 22 provinsi sejak tahun 2005, ditemukan 24 pulau yang telah hilang secara fisik. Mereka tersebar di delapan provinsi, 10 kabupaten, dan 12 kecamatan.

Sejak tahun 1990-an, laju kerusakan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Kerusakan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut berdampak langsung terhadap penurunan kualitas habitat ikan dan mengurangi produktivitas perikanan untuk berkembang serta mengurangi fungsi estetika lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil. Penurunan kualitas lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil antara lain diakibatkan oleh faktor alam, seperti gempa bumi, tsunami, perubahan iklim (global warming), banjir, gangguan atmosferik (El Nino), dan bencana biologis, seperti munculnya satwa asing (invasive species). Penurunan kualitas ekosistem pesisir yang lebih cepat terjadi karena kegiatan manusia yang bersifat destruktif, seperti pemanfaatan berlebihan, praktek-praktek penangkapan ikan yang  destruktif,

3.    Kegiatan antisipasi kenaikan muka air laut

Dampak kenaikan muka air laut (sea level rise) terhadap pulau-pulau kecil merupakan faktor dominan dari pemansan global secara keseluruhan. Untuk mengetahui kerentanan pulau-pulau kecil di indonesia dalam rangka mengantisipasi pemasan global, khususnya dampak naiknya permukaan air laut maka diperlukan berbagai jenis data baik sekunder, primer serta data hasil verifikasi di lapangan. Kebutuhan data  serta perkiraan sumber-sumber data :

Data :  TOPOGRAFI, BATIMETRI, SEA LEVEL RISE, SEA SURFACE TEMPERATURE. PASANG SURUT AIR LAUT, ARUS LAUT, GELOMBANG LAUT, LAND SUBSIDANCE/UPLIFT, ABRASI PANTAI, PEMBENTUKAN MORFOLOGI PANTAI, KEPENDUDUKAN, EKOSISTEM MANGROVE, TERUMBU KARANG DAN LAMUN, FLORA DAN FAUNA ENDEMIS.

Perkiraan sumber data : CITRA SATELIT, DISHIDROS TNI-AL, GPS, DATA GEOLOGI, PETA GEOLOGI, BKSDA, STATISTIK, DKP DAN SURVEY LAPANGAN

a.    Geomorfologi pulau. Data yang menyangkut informasi tentang geologi
b.    Coastal slope, data dan informasi topografi pulau-pulau kecil yang dapat diperoleh dari citra satelit beresolusi tinggi yang menggambarkan pulau-pulau kecil secara menyeluruh di indonesia dengan skala besar.
c.    Relative sea level rise rate. Nilai kecepatan kenaikan muka air laut yang cukup akurat di wilayah pulau-pulau kecil yyang bias diperoleh  dari data citra satelit. Disamping itu juga dapat diperoleh dari data pasang surut air laut yang telah diamati di seluruh Indonesia.
d.    Shoreline erosion / accretion rate. Informasi kecepatan erosi pantai dapat diestimasi melalui pemodelan berdasarkan data geologi, data oseanografi/ meteorology (arus, angina dan lain-lain), data vegetasi di sekitar pantai, serta data topografi/batimetri sekitar pulau-pulau kecil. selain itu informasi dapat diperoleh melalui tinjauan lapangan dan data histories.
e.    Mean tide range. Informasi mengenai nilai perbedaan kedudukan pasang surut tertinggi dan terendah rata-rata di wiloayah pulau-pulau kecil dapat diperoleh berdasrkan data tide gauge atau model pasut regional.
f.     Mean wave height. Informasi mngenai tinggi gelombang rata-rata di wilayah pulau-pulau kecil dapat diestimasikan berdasarkan data oseanografi, meteorology, dan data batimetri, atau data yang ada di Badan Meteorogi dan Geofoiska.
g.    Land subsidence/uplift. Informasi naik atau turunnya pulau-pulau kecil sebagai akibat dari aktifitas tektonik dapat diperoleh dari analisis geologi. Disamping itu informasi ini dapt juga diperoleh secara akurat melalui teknik GPS yang teliti dengan pengamatan secara periodik, namun membutuhkan waktu yang lama.
h.    Dan data lainnya.

Data-data yang diperoleh tentunya harus dilakukan pengolahan secara menyeluruh, karakteristik fenomena fisis setiap variable dapat diestimasikan dan dideskripsikan. Selanjutnya dilakukan pengambilan keputusan variable-variabel mana saja yang paling signifikan sebagi variable utama dalam rangka menetukan peringkat dampak dari setiap variable.

Prediksi terhadap dampak pemanasan global di masa datang dapat dilakukan secara simulatif melalui model-model simulasi seperti ekstrapolasi berdasrkan data histories, static inundation modeling dan lain-lain Proses pemodelan dan simulasi dibantu dengan teknologi system informasi geografis (GIS). Hasil pemodelan harus diuji kualitas serta validitasnya. Proses pengujian akan dilakukan melalui perbandingan atau pengkorelasian antara hasil pemodelan dengan informasi-informasi terkait yang bersifat independen,.

Pada akhirnya adalah dengan melakukan interpretasi dan menyajikan dalam suatu sistem informasi geografis karena proses ini menjadi penting jika pengolahan data dilakukan dengan benar untuk memudahkan dalam pengambilan keputusan. Informasi dan pemodelan yang akan dihasilkan dapat memberikan masukan bagi pemerintah dalam menentukan arah pembangunan dan perencanaan pulau-pulau kecil dalam menghadapi pemansan global, khususnya dampak kenaikan permukaan air laut. Sehingga pemerintah mengeluarkan pernyataan tentang pulau-pulau kecil yang hilang atau tenggelam berdasarkan data dan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Disamping itu diharapkan pemerintah dapat membuat kebijakan yang terukur untuk mengantisipasi masalah tersebut. Kebijakan yang dimaksud adalah strategi perencanaan nasional jangka pendek, menengah, dan panjang disertai urutan prioritas penanganannya serta berbasis pada data yang akurat.  Masalah pemanasan global dan kenaikan muka air laut bukan urusan satu atau dua departemen, tetapi menjadi persoalan nasional. Karena itu, dibutuhkan kemauan politik pimpinan negara untuk penanganan masalah ini secara optimal.